Rose is love

Mawar identik dengan cinta karena mawar bisa mengungkapkan betapa indahnya cinta, betapa romantisnya cinta.

Wanita

Wanita ibarat kelembutan yang rapuh, namun wanita memiliki kekuatan yang dasyat tak terkira.

Solo

Solo atau Surakarta merupakan kota eks karesidenan di Jawa Tengah. Solo adalah kota yang sangat berkembang tak kalah bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia.

Embun Pagi

Embun menetes tiap pagi hari, menyentuh dedaunan, bunga-bunga, dan segala permukaan di bumi. Embun sungguh menyejukkan hati kita, membeningkan pikiran kita.

Kucing

Kucing adalah hewan yang paling menyenangkan. Tingkah polahnya yang lucu bisa menghalau galau dan menggantikannya dengan senyum bahkan tawa.

Showing posts with label curahan hati. Show all posts
Showing posts with label curahan hati. Show all posts

Tuesday, September 16, 2014

Terluka Lagi


Mengapa kamu katakan hal itu bila hanya untuk mengecewakanku? Ibarat kamu telah menerbangkanku ke awan kemudian membiarkanku jatuh mencium bumi. Tak sedikit pun kamu berusaha menangkap tubuhku. Seharusnya kamu tahu bahwa hal ini menyebabkan hatiku terluka parah. Bilur-bilur luka kembali menganga. Sungguh kamu telah berbuat tega padaku. Mengapa kamu lakukan hal ini? 

Kamu katakan ingin menikahiku, hanya bercanda ya? Padahal kamu tahu bahwa hatiku tidak sedang bercanda. Hal itu sudah melambungkan anganku akan sebuah keluarga yang bahagia dan normal. Aku teramat sangat kecewa akan banyolanmu yang tak lucu, yang kamu katakan dengan kesungguhan. 

Jarak kita hanyalah 571 KM, jadi sangat mengherankan kalau kamu belum juga mengunjungiku dengan jarak yang sedekat itu. Katanya jarak bukanlah penghalang. Kamu bisa menempuhnya hanya sekitar satu jam terbang. Lagi pula kamu sudah dua kali berjanji akan mengunjungiku. Dan, kedua janjimu itu kamu ingkari sendiri. 

Kini, aku benar-benar tak lagi mengharapkanmu datang, terlebih menikahiku. Teganya kamu memberiku harapan palsu. Hidupku sedang merana, jadi sekecil apapun harapan tentu bisa mencerahkanku. Namun apabila harapan tinggal harapan, maka timbullah kekecewaan yang dalam. 

Aku mencoba mengerti tentang kamu, tentang perbedaan agama, tentang perbedaan suku, tentang perbedaan usia, dan tentang perbedaan yang lainnya. Yang tak aku mengerti adalah janji-janji palsumu. Bila ku ingatkan hanya kata maaf yang terucap, itupun sekedar permintaan maaf basa-basi. Tak sungguh-sungguh minta maaf. Satu kata lagi yang sering kamu katakan adalah agar aku bersabar. Sabar bisa saja menunggu tapi usia tak bisa menunggu. 

Balasan sms yang pendek-pendek darimu mengindikasikan adanya kebosanan dan rasa ilfil. Balasan sms yang sekedarnya lebih bagus daripada tidak membalas sms sama sekali, dan lebih bagus daripada sms yang gagal terkirim. 

Sekarang kukatakan bahwa aku belum pernah bahagia dalam cinta. Ini untuk kesekian kalinya aku terjerembab dalam kubangan cinta. .

Friday, September 12, 2014

Jangan Risaukan Aku ... Bapak, Ibu, Nenek

Jangan Risaukan Aku .... Bapak, Ibu, Nenek

Tadi malam aku baru berangkat tidur pukul 02.00 dini hari. Aku langsung tertidur pulas dan bermimpi. Dalam mimpiku, ketika aku mau masuk ke kamar ada tiga orang yang berdiri kaku, yaitu bapak, ibu dan nenek. Aku sadar bahwa mereka bertiga telah dipanggil Tuhan belasan bahkan puluhan tahun lampau. Aku buru-buru dengan sekuat tenaga membuka mataku. Ketika kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02.30, artinya aku baru tertidur setengah jam lalu. Aku sudah lupa dan tepatnya berusaha melupakan cerita dalam mimpiku semalam. Aku takut, itu jelas. Kemudian aku melanjutkan tidurku kembali, kali ini aku menghadap yang berlawanan dengan hadap tidurku semula. Jam 05.00 pagi harus bangun lagi, dan aku tak terlambat bangun. Ada alarm yang mengingatkan.

Tadi siang aku sudah tidur siang dua jam, tapi kepenatan pikiranku memaksaku untuk tidur lagi setelah terdengar acara Rising Star di RCTI. Dan, lagi-lagi aku bermimpi didatangi bapak. Ceritanya di rumah di sebuah kamar terlihat ada seseorang sedang tidur tapi kakinya diikat kain putih, kain kafan mungkin. Wajahnya menghadap ke kiri. Aku kira itu adalah teman wanitaku, tapi ternyata itu adalah bapak. Buru-buru aku ke rumah teman di depan rumah yang kebetulan sedang berkumpul beberapa temanku. Aku meminta mereka datang ke rumah karena aku takut sendirian. Mereka termasuk seorang teman spesial yang sedang mendiamkanku ikut datang ke rumah. Kami langsung masuk ke kamar, ternyata bapak sedang berada di bawah di samping tempat tidur. Dengan tertatih-tatih bapak menaiki tempat tidur dan tidur menelungkup seperti tadi di sampingku. Bapak sangat senang melihatku. Mungkin bapak kangen aku (itu jelas) atau ingin membantuku. Teman-temanku pun sangat ramah menyambut bapak seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya. Aku pegang jemari bapak yang ternyata sangat dingin sedingin es. Bau melati seolah menyergap hidungku ketika aku terbangun. Jam dinding menunjukkan pukul 22.05.

Biasanya mimpiku tak seperti ini. Hanya dulu sewaktu aku habis memperbaiki makam bapak dan nenek, kemudian aku bermimpi tentang bapak dan nenek yang sedang berjalan-jalan di sebuah taman. Mungkin mereka ingin mengucap terima kasih. Apa karena postinganku yang ini yang menyebabkan mereka merasa?

Bapak, ibu dan nenek, aku tidak apa-apa kok, aku baik-baik saja. Kalian tak perlu merisaukanku lagi. Tenang-tenanglah kalian di sana. Maafkan aku yang telah memposting cerita tentang kalian. Aku hanya ingin curhat saja di blog, bukan maksudku ingin menjelek-jelekkan kalian. 
Memang keadaanku sekarang sudah bercerai, didiamkan orang spesial dan sedang terpuruk. Bapak, ibu dan nenek tak perlu memikirkanku seperti ini, cukup doakan aku saja. Aku pasti akan melewati semua ujian ini dengan baik. Aku berjanji akan berusaha semaksimal mungkin agar hidupku sejahtera dan bahagia. Maafkan aku yang belum berhasil menjadi orang yang bisa dibanggakan.

Terima kasih untuk bapak, ibu dan nenek. 
Sungkem dan peluk dariku.

 

Thursday, September 11, 2014

Tanpa Judul

Tanpa Judul
Di saat aku mulai beranjak memulai usaha baruku secara real, ada telpon dari bagian kartu kredit yang menanyakan kesanggupanku untuk melunasi hutangku. Memang tagihanku tidak besar hanya dua belas juta saja, dan bila dilunasi hanya disuruh membayar lima juta saja. Namun sejujurnya dana untuk pos itu belum ada. Hanya dua kartu kredit saja yang belum kulunasi, yang satu lagi sebesar itu juga. Ah sunggguh berat nasibku kini. Sebagai mantan istri jaksa yang sudah bertugas selama lima belas tahun, mestinya dia bisa membantuku secara ekonomi. Entah untuk apa dan untuk siapa semua uangnya. Sampai satu setengah tahun lalu dia menyembunyikan semua asetnya. Mobil itupun tak diakuinya, begitu juga keluarganya yang tidak tahu-menahu. Baru belakangan, ketika untuk urusan sekolah harus mengisi data-data, anakku menanyakan tentang kendaraan ayahnya, dan dia mengaku mempunyai sebuah mobil. Hanya mobilkah? Kukira tidak. Mungkin aku harus istirahat dulu, kepalaku jadi pusing karena omelan debt collector tadi. Aku dengan keadaan yang seperti ini semakin merasa tak pantas untuk berdampingan dengan siapa pun juga. Aku miskin kok .......... Betapa dia, mantanku itu tak pernah sekali pun memberiku modal kerja, ketika usahaku hampir jatuh dan benar-benar jatuh waktu itu. Padahal waktu itu kata saudaranya dia sedang banyak uang, karena usaha sampingannya. Betapa dia juga tak pernah memberiku nafkah untuk istri, yang diberikan hanyalah nafkah untuk anak. “Sing penting Dinda”, begitu kata mantan mertuaku, sehingga dia benar-benar mengabaikanku. Mengapa dia suka menyiksaku secara ekonomi maupun secara batin (perempuan2 itu). Aku sudah bosan dengan semua ini. Apalagi bila orang-orang menganggapku banyak uang karena sebagai istri jaksa, waktu itu. Ini adalah sedih yang tak terkira. Sudah seringkali aku memintanya untuk ikut melunasi hutangku tapi dia tak bergeming. Toh hutangku hanya sedikit menurut ukurannya. Mengapa dia setega itu padaku? Omelan debt collector itu benar-benar membuatku terpuruk, sementara. Aku menangis dan marah-marah. Orang itu mendoakanku semakin miskin. Dia tak mengerti aku, bagaimana mungkin dia mengerti aku? Kenal juga enggak. Mungkin besok atau lusa aku akan datangi BI untuk melakukan BI cheking. Aku yakin hanya dua tagihan yang tersisa. Bila harus ada barang-barang yang dijual, apa ya? Aku butuh kedua laptop ini, aku butuh motor ini.

Saturday, September 6, 2014

Ijinkan Aku Untuk Berbahagia

Ijinkan Aku Untuk Berbahagia

Kata orang, orangtua adalah wakil Tuhan di dunia. Jadi bagaimana Tuhan memperlakukan kita adalah seperti bagaimana orangtua memperlakukan kita. Itu bila aku tidak salah tangkap maknanya. 

Aku menulis ini karena aku ingin mengungkapkan perasaanku terhadap kedua ornagtuaku yang kini sudah di Surga. Aku merasa bahwa Tuhan memperlakukanku selama ini sama seperti orangtua memperlakukanku sewaktu mereka masih hidup. 

Bukan maksudku untuk mengritik mereka atau menjelek-jelekkan mereka, namun ini lebih agar aku dapat mengeluarkan uneg-unegku yang terpendam selama ini. Bahkan hal ini barangkali tidak diketahui mereka selama hidupnya. Sebelumnya mohon maafkan aku. 

Bapak dan ibuku di Surga, 

Aku tahu bahwa kalian telah berbahagia di sana, semoga demikian. Namun berbahagiakah kalian melihat keadaanku sekarang ini? 

Bahwa pendidikan semasa kecil dan remaja sangat penting bagi perkembangan seorang anak demi masa depannya itu benar adanya. Pendidikan itu tidak hanya berasal dari keluarga namun juga dipengaruhi oleh lingkungan dan tentu saja oleh sekolah. 

Bila kalian merasa sudah mendidikku secara benar, aku rasa itu pendapat yang salah. Bukan maksudku melawan kalian, tidak sama sekali. Ingatkah bahwa kalian telah mengekangku selama itu? Kalian melarangku bermain dengan teman-teman sebayaku seolah kalian mensterilkan diriku. 

Di rumah aku hanya berteman dengan kucing-kucing. Itulah mengapa kucing sangat berarti bagiku. Aku sebenarnya tak bisa lepas dari keberadaan kucing-kucing. Terimakasih bahwa kalian memperbolehkanku bermain dengan kucing-kucing. 

Suatu saat saat SMP, kucing satu-satunya yang kumiliki saat itu mati. Aku menjerit meraung-raung merasa ditinggalkan dan kehilangan. Aku protes pada nenekku yang menguburnya di depan rumah, aku bilang bahwa kucing itu belum mati. Nenekku menyuruhku agar tidak teriak-teriak nanti dikiranya orangtua yang meninggal. Aku sedih bukan kepalang. 

Nyatanya saat bapak dan ibuku meninggal hampir tak setetes pun airmata yang yang keluar. Aku sangat sulit menangis waktu itu. Aku menganggap itu kejadian yang biasa saja. Aku bukanlah pemain sinetron yang dengan mudah menumpahkan airmatanya. Airmataku keluar tentu karena kesedihan. 

Entah mengapa aku tidak boleh berteman, bersosialisasi. Aku ingat di suatu petang, aku yang berada dalam gendongan nenek hanya boleh melihat teman-teman sebayaku yang sedang riang bermain dari dalam rumah dari balik kaca jendela. Bukankah aku sudah TK tapi mengapa aku masih digendong? 

Ijinkan Aku Untuk Berbahagia
Aku saat 6 thn

Aku merasakan kesedihan itu sejak kecil sejak kelas nol kecil. Tentu saja aku menjadi anak yang pemurung, pendiam dan pemalu. Tapi apakah kalian peduli terhadap perkembanganku? Jawabnya adalah tidak. Bagi kalian yang terpenting adalah bahwa aku berada di rumah. Aku memang berada di rumah, tetapi batinku meronta. 

Waktu SD ketika anak-anak lain sepedaan di jalanan di taman depan rumah, aku tidak boleh keluar. Kalau aku ikut sepedaan maka tidak akan kebagian rujak. Rujak adalah makanan kesukaanku jadilah aku menyerah kalah. 

Aku kesepian, tidakkah kalian mengerti? Mengapa tak kalian tempatkan saja aku di panti asuhan, agar aku bisa bersosialisasi, bermain, belajar dari lingkungan dan tidak kesepian? Aku pernah berpikir tentang hal ini. Bahkan aku pernah berpikir, apakah aku ini benar-benar anak kedua orangtuaku. 

Di suatu kesempatan aku yang berumur sekitar 10 tahun pergi piknik bersama orangtua, nenek dan bawahan bapakku yang para pns beserta keluarganya di Rembang-Jepara.Di lokasi piknik tak ada satu pun foto diriku, hanya pas sebelum berangkat saja aku berfoto bareng nenek di dekat bus. Namun beberapa hari kemudian aku membuka-buka album piknik ternyata aku melihat orangtuaku berfoto bersama para bawahannya sebagai latar, dan seorang anak perempuan centil di tengah-tengah orangtuaku. Aku tak berani bertanya pada mereka, yang pasti aku sangat kecewa, sedih tak dianggap. Aku memastikan bahwa orangtuaku malu mempunyai anak jelek sepertiku. Itukah juga sebabnya aku tidak diperbolehkan bermain bersama teman-temanku? Aku tak tahu pasti. 

Bapak ibuku sering memuji temanku yang pintar atau yang nampak dewasa.Aku mendengar mereka memperbincangkannya, namun aku diam saja. Di balik semua itu sebenarnya aku berontak. Kalian tidak berpikir tentang bagaimana orangtuanya mendidiknya sehingga menjadi seperti itu. Ada prosesnya, tak terjadi begitu saja. 

Di rumah tak banyak mainan yang kupunya, aku lebih suka bermain dan bercanda dengan kucing-kucingku. Hampir di setiap tahapan usiaku aku memiliki kucing yang berganti-ganti tentu saja, bisa karena mati atau karena kami pindah rumah. Kucign kuanggap sebagai teman sejatiku tempat aku berkeluh-kesah. Kucing bisa mengerti saat kuajak bicara, terkadang memandangku atau diam di pangkuanku. 

Suatu ketika aku berulangtahun, mungkin yang ke-10. Ada seorang dokter Puskesmas yang suaminya seorang pelaut AL yang sering berdinas keluar negeri. Saat itu bu dokter itu memberikan hadiah berupa sebuah boneka. Bapak mau membuka hadiah itu tapi paman bilang kalau aku sudah besar jadi lebih baik hadiahnya untuk anaknya saja yang notabene adalah saudara sepupuku. Aku hanya bisa mengiyakan saja.Jelas aku tak berani melawan. Sementara bapak sepertinya diam saja dan memberikan boneka itu pada keponakannya. Boneka itu belum sempat kusentuh sedikit pun tapi sudah diberikan pada orang lain. Di kelak kemudian hari aku tak begitu menghargai milikku, bila diminta orang lain ya aku berikan begitu saja. 

Ijinkan Aku Untuk Berbahagia
Frater, paman dan kakak tertua
Suatu ketika orangtuaku membuat pesta natal besar-besaran di rumah dinas. Romo, suster, pejabat daerah beserta jajarannya dan para tetangga diundang. Semua famili dari pihak bapak yang dari Muntilan pun diundang. Ketiga kakak tiriku pun datang (saat ini mereka semua sudah dipanggil Tuhan). Sementara famili dari pihak ibu hanya nenek saja mengingat ibu adalah anak tunggal. 
Kakak pertamaku yang jarak umurnya jauh dariku sibuk mempersiapkan pesta dengan menebang pohon cemara di dekat rumah sebagai pohon natalnya. Hiasan-hiasan natal pun ditata oleh mereka, termasuk patung-patung kecil pelengkapnya. Sementara aku membantu di dapur. Aku masih SD waktu itu, kira-kira berumur 10 tahun. 
Pesta pun dilaksanakan dengan meriah, kakak tertuaku ikut beryanyi di depan bersama frater. Pesta pun usai sudah. Dari tadi aku hanya berada di dapur saja. Seusai pesta aku melintasi ruang tengah dan melihat di sudut ruang tamu famili dari Muntilan berkumpul. Mereka tak seorang pun yang menyapaku atau mengajakku ikut serta. Aku langsung masuk ke kamar dan menangis. Bapak dan ibuku hanya mendiamkanku saja, tidak memberikan perhatian. 
Esoknya ketika kulihat foto-fotonya, memang tak ada satu pun foto tentang aku. Ya sudahlah. 
Aku heran mengapa aku tak mereka dekatkan dengan para famili? Aku merasa berbeda. Aku juga berpikir bahwa mereka, famili dari pihak bapak menyangka hidupku yang serba enak tidak seperti ketiga kakakku yang tinggal dengan nenek di Muntilan. Bagaimana bisa aku menjelaskan pada mereka? Mungkin saja aku terkesan sombong, tapi sebenarnya aku minder.

Bapak ibuku sangat otoriter, suka memaksakan kehendaknya tanpa melihat bagaimana reaksiku. Perasaanku sangat tak mereka pikirkan. Waktu SMA aku harus masuk jurusan IPA karena orangtua menginginkanku menjadi seorang dokter. Seharusnya aku masuk jurusan IPS atau bahkan BAHASA saja mengingat aku tak begitu pandai. Tentu saja aku gagal masuk FK UNDIP. Aku nganggur setahun sebelum aku diterima di FH UNDIP. 

Aku sering menangis sendirian di malam-malamku, terutama ketika aku sudah kuliah. Aku melihat banyaknya perbedaan antara aku dengan mereka. Aku tidak mengerti “merah hijaunya” dunia, yang kutahu hanyalah warna “hitam, putih dan kelabu”. Terkadang aku tak mengerti bagaimana aku harus menyikapi sesuatu hal, apakah harus marah atau diam saja. 

Sampai aku lulus kuliah pun, bapak (ibu meninggal saat aku lulus SMA) masih suka memaksakan kehendaknya. Aku masih ada tes wawancara di sebuah bank negeri ketika bapak memaksa aku ikut saudara yang sudah bekerja di sebuah bank swasta di Bandung. Aku kemudian diterima di sebuah bank swasta di Bandung. Aku gamang dan aku gagal di masa percobaan. Aku tak memberitahukan tentang hal ini, aku kemudian mencari kerja sebisaku asal aku bisa makan dan sewa tempat tinggal. Sebenarnya orangtua tak pernah mengajariku tentang kemandirian. Kemandiriaku adalah sesuatu yang aku paksakan karena kebutuhan yang mendesak.

Seolah sayap-sayapku telah kalian patahkan sejak dini. Aku menjadi tak bisa terbang bahkan berlari. Langkah-langkahku pun kecil tak percaya diri. Aku juga merasa sangat heran ketika akhirnya aku tmengetahui bahwa aku memang benar-benar disunat saat bayi. Aku kan non muslim dan juga aku kan perempuan. Mengapa kalian lakukan itu terhadapku? Atau paling tidak mengapa kalian biarkan hal itu terjadi? Saat aku dewasa aku menjadi sangat tidak terima kalian menyunatku, dalam arti yang sesungguhnya. 

Sewaktu masih di Magelang, aku kalau ke mana-mana diantar sama bapak ya pakai mobil, becak atau jalan kaki. Sebetulnya aku merasa jengah tapi bagaimana lagi? Bapak sering bertanya apakah aku malu punya orangtua seperti mereka, setiap kali aku agak enggan ditemani. Bukan begitu tetapi aku kan sudah SMA. Ke Muntilan pun ditemani, aku sampai dituduh bahwa sudah besar kok ke mana-mana diantar sama bapak. Aku ingin berteriak menjelaskan tapi bagaimana aku harus menjelaskan pada semua orang?Aku sedih, itu sudah jelas. Seakan ini adalah fitnah. 

Aku tak punya pacar saat SMA. Pernah ketua OSIS ku yang memang aku taksir datang ke rumah sendirian. Bukannya mempersilahkan duduk, bapak malah seakan menghardiknya. Aku sendiri pun tak tahu harus bersikap bagaimana, aku serba salah. Bapak, dia itu satu-satunya orang yang kutaksir yang seiman pak (Katolik). Sampai kini pun hanya dia yang seiman. Ya sudahlah. Bapak seakan tak merelakanku untuk bahagia. Sewaktu kecil untuk bersenang-senang atau bergembira bersama teman-teman pun orangtuaku tak mengijinkan, dan untuk bahagia apalagi. 

Aku seolah hidup dalam penjara, sendirian. Bila aku kecil banyak bertanya maka ibu menyuruhku untuk diam.Untuk bernafas pun seakan tak bebas. Pernah aku gagal ikut study tour di mana orang yang kutaksir sangat mengharapkan aku ikut. Ibu hanya membelikanku majalah saja sebagai penggantinya. Aku menghela nafas dalam-dalam, dan ibu menjadi marah-marah. Aku sangat sedih kehilangan momen berharga itu. Bukankah waktu SMA tak bisa diulang lagi. Ketika teman-teman bercerita tentang keindahan masa SMA-nya aku hanya meratapi nasib. Aku telah kehilangan masa kanak-kanak dan masa remajaku sekaligus. 

Jurusan hukum adalah salah bagiku. Aku tak bisa membela diriku sendiri, bagaimana mungkin bisa membela nasib orang lain? Jangan menjadi sarjana hukum bila untuk membela diri sendiri pun tak bisa, sepertiku. Gelarku hanya menjadi olok-olokan semata. Seharusnya sejak dini diketahui bakat dan minat seorang anak agar tidak salah jurusan. 

Seringnya pemaksaan kehendak yang diberikan orangtua terhadapku membuatku tak bisa ambil keputusan. Aku merasa pendapatku adalah salah, yang benar adalah pendapat orang lain. Kelak di kemudian hari aku menyerah saja di persidangan perceraianku. Aku menjadi tak percaya diri, mudah dipengaruhi, dipaksakan kehendak, bahkan ditipu. 

Bapak dan ibuku, berbahagiakah kalian melihatku seperti sekarang ini? Bila kalian berkenan, ijinkan aku untuk hidup berbahagia. Kalian sebagai orangtua adalah wakit Tuhan di dunia, untukku. Biarkan aku dekat dengan pria yang baik yang aku sayangi, dukunglah aku untuk bersamanya membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia, biarkan aku merintis segala usahaku untuk melanjutkan hidupku 

Bapak dan ibuku yang ada di Surga, 
Ijinkan aku untuk bahagia agar Tuhan membukakan pintu bagi kebahagiaanku. 
Ikhlaskan aku untuk hidup berbahagia. 
Terima kasih untuk bapak dan ibuku.

Sunday, July 27, 2014

Mutiara Yang Berharga

Mutiara Yang Berharga

Misa pagi jam 08.00 ini dipandu Romo Billy, seorang romo yang ganteng yang kata anakku seperti artis Sultan Jorghi. Seperti biasa Romo Billy berkotbah (homili) sambil berjalan menuruni altar mendekati umatnya. 
Beberapa pertanyaan dilontarkannya, terkadang gurauannya yang ringan membuatku tertawa. 
Banyak yang sedang mudik mengangkat tangannya saat romo menanyakannya. Ada yang dari luar kota bahkan dari luar pulau. Ada yang rela menempuh perjalanan darat selama 30 jam. Itu dilakukan semata ingin berkumpul dengan keluarganya, menengok keluarganya atau karena pengin pulang ke tempat asalnya, Solo. 

Pantaslah bila di misa Minggu pagi ini banyak umat yang hadir. Beberapa orang nampak terlambat masuk gereja. Hampir semua bangku penuh dengan umat. Tua, muda dan anak-anak bercampur menjadi satu.

Berkumpul bersama keluarga adalah tujuan orang-orang mudik. Mereka rela berkorban dengan membeli segala kebutuhan, bahkan rela berdesak-desakan agar bisa sampai ke kampung halamannya. Keluarga menjadi sangat berarti dan berharga bagi mereka. Romo Billy mengibaratkannya sebagai mutiara yang berharga, yang pantas diperjuangkan dan berkorban untuk dapat menjumpai mereka.

Begitu juga pedagang yang tertarik dengan mutiara yang berharga akan rela berkorban untuk mendapatkannya. Mutiara yang berharga bisa diartikan apa saja. 
Anak jelas merupakan mutiara yang sangat berharga, di mana kita harus mendidiknya dengan baik sehingga bisa menjadikannya anak yang bisa dibanggakan. 
Seorang pria akan berkorban dan berjuang entah bagaimana caranya untuk bisa menemui kekasihnya, tentu saja bila kekasihnya dianggapnya sebagai yang spesial seperti mutiara yang berharga.

Aku jadi teringat dengan masalahku sendiri, menantikan kedatangan kekasih yang tak kunjung datang. Segalanya telah kupersiapkan untuk menyambut kedatangannya, jadi pantaslah kalau aku kecewa berat. Apalagi jarak Jakarta - Solo bukanlah jarak yang sangat jauh.

Aku juga sudah tidak punya keluarga lagi, satu-satunya keluargaku adalah Dinda, anakku. Kedua orangtuaku dan semua kakakku sudah dipanggilNya, aku pun juga sudah bercerai. Lengkaplah sudah penderitaanku, kini.

Mendengarkan lagu persiapan persembahan “Ambillah, Tuhan” yang dinyanyikan secara perlahan dan syahdu membuat airmataku menetes deras. 

"Hanya rahmat dan kasih dariMu yang kumohon menjadi hartaku 
Hanya rahmat dan kasih dariMu kumohon menjadi hartaku"

Kurasakan beratnya hidupku .............................. 
Kapan ya berakhir, Tuhan ?

Saturday, July 26, 2014

Katakan Alasanmu


Katakan Alasanmu

Memang sakit bila sesuatu yang udah aku nantikan sekian lama tak terwujud atau tepatnya belum terwujud. Impian itu masih berupa mimpi di siang bolong. Begitu bangun hanya rasa kecewa yang kurasakan. Sesuatu itu masih tergantung di awan, dan belum turun menjejak bumi. Apa lagi yang menghalangimu menginjakkan kaki di bumi ini? Aku tak mengerti dengan semua alasan yang tak kau ucap. Diam beribu bahasa adalah sikapmu belakangan ini. Mengapa tak kau katakan saja terus terang? Barangkali saja aku bisa mengerti. Toh selama ini aku penuh pengertian seperti yang kau kenal.

Aku tak menyesal menyayangimu (mencintaimu). Cinta bagiku cuma ada satu dan bulat. Tak bisa aku 'tuk mendua atau mentigakan cinta. Aku tak bisa mengkhianati cintaku sendiri. Katamu kamu juga bersikap yang sama denganku. Aku membutuhkan bukti dari semua itu, sekarang atau dalam waktu dekat ini. Aku tak berharap lebih, aku takut lebih kecewa lagi. Aku mengerti tentang dirimu yang mempesonakan wanita, apalagi ketika sedang mengenakan baju seragammu itu dan berada di balik kemudi mobil sedan mulusmu. Barangkali saja aku sama terpesonanya seperti mereka.

Tak bisakah kau katakan apa alasanmu sehingga kau tak jadi datang menemuiku, saat yang telah lama kunantikan? Sikapmu yang hanya diam atas semua pertanyaanku sangat membungungkanku. Katakan sajalah apa adanya. Atau kamu memang sedang dalam perjalanan darat ke sini? Yah, libur bersamanya ternyata baru dimulai hari ini. Aku masih menunggumu.

Bila tidak bisa datang saat-saat ini kuharap kamu bisa datang di kesempatan libur week end mendatang. Jarak Jakarta-Solo bukanlah jarak yang jauh. Kamu yang ke sini atau aku yang ke Jakarta, tak masalah. Yang sangat kusesalkan adalah janjimu sejak beberapa bulan lalu untuk berlibur di sini. Dan, janjimu itu sangat kupegang erat. Bila kenyataannya kamu tak jadi datang menemuiku, tentu aku sangat kecewa.

Sayang, katakan saja sejujurnya apa masalahmu. Aku bukanlah manusia pemaksa kehendak. Cuma masalahnya apakah aku masih pantas 'tuk menyayangimu? Itu saja.

Wednesday, July 23, 2014

Inikah Akhir Penantian ?

Inikah Akhir Penantian

Beberapa bulan lalu kamu tak jadi datang karena sesuatu hal yang bisa kumaklumi. Dan, hari ini kamu janji datang menemuiku namun sampai detik ini belum ada kabar apapun darimu. Pesan singkat terkirim, tapi tak terbalas, begitu pun telponku yang selalu bernada sibuk. Haruskah kumaklumi semua ini? Haruskah kumaklumi setelah penantian panjang? 

Terus terang aku tak mengerti semua ini. Pertemanan kita memanglah bersifat maya selama ini, namun aku punya kesetiaan untukmu. Konyolkah sikapku? Katamu kamu sayang aku, sejak kemarin sore tak ada kabar darimu. Terutama hari ini kamu pun mengabaikan semua pesan singkatku. Beginikah perlakuanmu? Pantaskah?

Seolah ada sesuatu yang tercabut dari hatiku secara tiba-tiba. Itu karena kamu adalah belahan jiwaku. Benarkah kamu adalah belahan jiwaku? Mengapa kamu tega perlakukanku seperti ini? 

Terus terang aku mengkhawatirkanmu, apalagi karena kamu sedang sakit. Tapi kenapa tak kamu balas pesan singkatku sekedar memberitahu tentang keadaanmu dan rencanamu?

Bila memang kamu tak jadi menemuiku di sini, tolong katakan terus terang agar aku tak begitu lama menantimu. 
Barangkali benar kata mantanku bahwa aku cuma "ngimpiiiiiiii". Ah kasihannya diriku. Adalah pantas aku mengasihani diriku sendiri. Kesetiaan hati dan tubuhku yang hanya untukmu terasa tercampakkan.
Kamu adalah teman sejawat mantanku. Kalian tentu saling kenal, tapi mantanku tak mengetahui tentang hal ini. Bila mantanku bilang aku cuma bermimpi, ya mungkin benar juga. 

Jodoh memang rahasia Tuhan dan Tuhanlah yang menentukan. Kata Pak Mario Teguh kira-kira begini: "Tentukanlah pilihanmu akan jodohmu biar Tuhan yang menyetujui". Aku sudah lakukan hal itu. Kurasa usahaku sudah maksimal. Yang kunantikan sekarang adalah persetujuan dari Tuhan. Aku pasrah dengan ketentuan atau ketetapan dari Tuhan. 

Katanya manusia dilahirkan untuk hidup berpasang-pasangan, pertanyaanku adalah siapa ya pasangan hidupku? Hampir setengah abad aku menantikan jodohku, belum kutemukan juga. Apa yang salah dengan diriku?

Tuhan, 
Setelah sekian lama aku hidup dengan berbagai cobaan, sekarang ijinkan aku hidup berbahagia selamanya.
Berikanlah aku bahagia seperti yang lainnya, dapat hidup berdampingan dengan pasangan hidupnya.
Segera pertemukan aku dengan pangeran cintaku, belahan jiwaku, pasangan hidupku.
Bahagiakan kami selamanya. Amin.

Wednesday, June 25, 2014

Sejak Mengenalmu

Sejak Mengenalmu

Aku belum pernah memandang langsung wajahmu, belum pernah melihat seberapa tinggi badanmu, dan belum pernah melihat gayamu dalam berbicara, namun aku telah dengan nekad menaruh kamu di hatiku. Aku tak lagi berpikir panjang untuk melakukan hal ini. Seolah radar dalam hatikulah yang membawaku untuk mantap mencintaimu. Kamu adalah bagai air yang akan menghilangkan jejaknya, mantanku itu. Tak kuragukan lagi. 

Sejak mengenalmu, sedikit demi sedikit ingatanku akan dia terkikis olehmu. Tak tersedia lagi ruangan di hatiku untuk menampung keberadaannya. Percayalah. Sejak kemarin dulu kamulah yang mengisi hatiku sepenuhnya. Aku berani mengatakan hal ini karena aku jujur pada semua yang membaca tulisanku ini. 

Sekarang aku benar-benar menunggu kehadiranmu di sini, dalam beberapa waktu lagi. Bener ya, jangan ada alasan lagi untuk menundanya. Ingat bahwa waktu terus berjalan. Waktu tak sudi menunggu barang sedetik pun. 

Salam kangen dari Solo.

Sunday, June 1, 2014

Cinta Sendirian


Cinta Sendirian


Ada apa ya dengan Si Tampubolon ini, sehingga Syahrini mengajaknya berduet? Mereka menyanyikan sebuah lagu cinta dengan gerak tubuh yang lumayan romantis. Teman duetnya kali ini adalah Marully Tampubolon, putra pengacara kondang Juan Felix Tampubolon. Hmm ....... 

Lagu yang mereka nyanyikan berjudul "Cinta Sendirian" menceritakan tentang seseorang yang sangat mengagumi sang pujaan hatinya, sampai tak merasa bosan memandangi fotonya tiada henti. Namun dia hanya memendam rasa saja karena tidak berani mengungkapkannya. 

Kurasa lagu ini setelah dinyanyikan berdua agak tak sesuai dengan liriknya. Nyatanya sang pujaan hati telah mengetahui isi hatinya, bukan? Tapi mengapa judulnya masih cinta sendirian, harusnya menjadi cinta berduaan, he he he .... ngarep ya?

Lirik lagu ini tak beda jauh dengan apa yang kurasakan terhadap seseorang. Seseorang itu kukenal lewat facebook, makanya sesuai benar liriknya tentang foto (profil) itu:

"tahukah kamu aku memiliki fotomu
ku pandang-pandangi, ku pandang-pandangi tak henti-henti"

Pernah kuungkapkan cerita ini di awal-awal aku ngeblog lewat persembahan sekeranjang anggur. 
Yang dimaksud "beranda rumahmu" adalah beranda facebook, sementara "rumahmu" adalah halaman profilnya. Dan "sekeranjang anggur" dimaksudkan sebagai pembicaraan yang menyenangkan namun bukan tentang cinta. 

Sekarang kita renungi lirik lagunya :


tahukah kamu aku mengagumimu
dengan sepenuh hati, hati yang tak bernyali
tahukah kamu aku memiliki fotomu
ku pandang-pandangi, ku pandang-pandangi tak henti-henti


bila saja engkau tahu betapa besar rasaku
rasa cintaku padamu di kejauhan hatimu


inikah namanya cinta sendirian yang kurasakan
tiada keberanian menyatakan aku cinta
hatiku yang malang teruslah bertahan jangan kau hilang
buktikan cintamu teramat dalam meski harus cinta sendirian

tahukah kamu aku memiliki fotomu
ku pandang-pandangi, ku pandang-pandangi tak henti-henti


bila saja engkau tahu betapa besar rasaku
rasa cintaku padamu di kejauhan hatimu


inikah namanya cinta sendirian yang ku rasakan
tiada keberanian menyatakan aku cinta
hatiku yang malang teruslah bertahan jangan kau hilang
buktikan cintamu teramat dalam meski harus cinta sendirian


tiada pernah ku ingin di keadaan ini
melihatmu di pelukan hati yang lain
namun apa daya bibirku tak bisa suarakan hati ini 


inikah namanya cinta sendirian yang ku rasakan
tiada keberanian menyatakan aku cinta
hatiku yang malang teruslah bertahan jangan kau hilang
buktikan cintamu teramat dalam meski harus
meski harus aaah cinta sendirian


Sementara untuk menikmati videonya dapat dilihat di sini.

Tuesday, May 27, 2014

L.D.R.

L.D.R.

Kalo ini dibilang luka, iya ini memang luka. Bagaimanapun aku tak bisa lagi menerima torehan luka sekecil apapun. Telah kupahami tentang rasanya sakit hati. Sakit hati ini masih belum sembuh benar, kamu tahu? Mengapa kau campakkan aku kemarin seharian? Tak ada kabar darimu sebentar pun. Aku galau, kamu tahu? Di mana kamu kemarin? Dengan siapa kamu kemarin? Dan, apa yang kamu lakukan kemarin? Berbagai pertanyaan di benakku yang tak bisa aku jawab sendiri. 

Aku telah menitipkan hati ini padamu, hampir dua tahun lalu. Sebenarnya hanyalah robekan-robekan hati yang tak tertata. Kuharap denganmu aku bisa menata kembali hatiku yang terobek-robek karenanya, dahulu. Jadi mohon jangan kau tambahi dengan luka-luka baru. Ini sudah cukup bagiku merasa kesakitan. 

Beberapa pesan singkatku yang gagal terkirim telah mengindikasikan bahwa ada yang tak beres antara kita, tapi apa? Aku merasa tak bersalah apapun. Kita memang berada dalam kondisi LDR, kita berjarak oleh tempat. Aku tak bisa melihat langsung, hanya mata hatikulah yang mencoba untuk melihatmu. Entah benar entah salah, ini kesimpulanku. 

Benarkah kamu mencintaiku dan menyayangiku dengan sungguh? Bila aku bertanya demikian, kamu menjadi agak gusar menjawab. Ya, aku mencoba memahami tentangmu. Aku mencoba mengerti tentangmu. Namun hari-hari libur tanpa kabarmu membuatku berpikir yang tidak-tidak. Terus terang aku tak rela bila kamu pergi dengan yang lain. LDR ini menyiksaku. 

Kapan ya tak ada lagi LDR antara kita? Mohon Tuhan berkenan mempersatukan kami bertiga sebagai satu keluarga kecil yang bahagia. Kapan ya Tuhan? Aku menunggu. . . . . .

Tuesday, April 29, 2014

Cerita Yang Tertunda

Cerita Yang Tertunda

Rasanya ingin dapat kuceritakan kepadamu tentang sebuah perasaan, tapi aku tak bisa. Beberapa kali aku mengotak-atik kata demi kata, namun selalu saja kutemui jalan buntu. Barangkali karena cerita ini terlalu dini untuk aku bagikan ke kamu. Namun demikian, ada rasa yang menyentak-nyentak ingin segera metuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Tapi sekali lagi, aku merasa belum pantas menceritakannya sekarang. 

Aneh, tak ada satupun puisi yang bisa kutulis, juga tak ada rangkaian kalimat yang bisa kujadikan cerita. Usut punya usut barangkali karena aku merasa trauma. Dahulu aku begitu blak-blakan tentang perasaanku kepadanya lewat status-status facebook. Dan, itu sempat membuatnya marah dan mendiamkanku. Jadi kini aku sangat berhati-hati tentang hal ini. 

Jelas aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi. Masalah pantas tak pantas menjadi prioritasku sekarang. Aku tahu perasaannya halus, demikian juga diriku. Terkadang dibutuhkan jeda sejenak dari menulis tentangnya. Walau sebenarnya sangat banyak yang ingin aku ceritakan tentangnya. 

Kupikir ini adalah buah dari kesetiaanku padanya selama ini. Setia pada sebuah fatamorgana sekian lama. Kini fatamorgana hampir menjelma menjadi kenyataan. Dia bagaikan seorang dewa yang akan menghampiriku ‘tuk menjadi pasangan hidupku.Takkan kuusik dengan ceritaku yang lebay. Aku sangat mengharapkannya, demikian juga dia sangat mengharapkanku. Begitulah adanya. 

Semoga segera terwujud keinginan kami ini. Amin.

Thursday, March 27, 2014

Jodoh Bertingkat-tingkat


Jodoh Bertingkat-tingkat


"Jadi adik iparku aja gimana, mau?" itu kata Ndari tetanggaku di saat aku bertandang ke rumahnya. Heri suaminya menimpali: 
"He'e" sambil senyum-senyum melirik istrinya. 
Aku mengenal Ndari sewaktu ada pertemuan di perkumpulan RW, sementara Heri sering aku lihat karena sering main ke rumah Pak Saman si pemilik rumah ini. Meskipun begitu aku baru berbicara dengan Heri sehari sebelumnya, karena dia mengajakku untuk mendatangi sebuah acara.

Nampaknya mereka tidak main-main.  Ditambah lagi Jeki, asisten Pak Saman yang ikut-ikutan berkomentar dan berpromosi: 
"Dia kaya lho mbak rumah warisannya udah ditawar 1,5 M dibagi lima orang. Mau aja mbak. Dia duda, anak-anaknya di Jakarta tapi dia kerja di sini". Aku cuma cengengesan. Emang kekayaan bisa membuatku jatuh cinta?

Aku baru mau menjemput Dinda dari tempat les, ketika kulihat Heri duduk-duduk ngobrol dengan Pak Saman di depan rumah. Aku ketawa aja melihatnya. 
"Mau ke mana?" tanya Heri
"Mau yang-yangan ha ha ha .... ya Pak Saman?" aku menggodanya. 
Heri langsung mendekatiku sepertinya mau bicara rahasia, aku mengelak:
" Emoh moh!" 
Aku tahu apa yang mau dibicarakannya, pastilah mau mengajakku kenalan dengan Rudi, adiknya.
Sepulang dari menjemput Dinda, kudapati kali ini Ndari, istri Heri yang sedang duduk-duduk ngobrol dengan Pak Saman di ruang tamu rumahnya.
Jeki menyusulku masuk rumah :
"Mbak ke rumah Ndari sebentar yok, ada yang penting pokoknya penting"
"Gaklah mbak, mau apa?
Belum lagi Jeki menjawab, Ndari sudah ada di ambang pintu:
" Ayolah mbak ke rumahku sebentar aja" sambil matanya berkedip-kedip. 
Melihat kesungguhan mereka bertiga, hatiku luluh juga. Okelah, toh hanya berkenalan. Apa salahnya? Meski sebenarnya hatiku tak terima dan tak bisa menerima. Aku belum melihatnya yang katanya ganteng itu, aku baru mendengar tentang pekerjaannya dan gajinya. Itu sudah cukup bagi hatiku untuk menolak. Tapi demi menghormati mereka, aku jalan juga ke rumah Ndari-Heri.

Aku memasuki sebuah rumah kuno berbentuk limasan yang kelihatannya sudah direnovasi pada bagian atapnya dan bagian lainnya. Rumah ini sangat besar dan mobil bisa masuk, pantaslah bila harganya mencapai 1,5 M.

Aku benar-benar dikenalkan dengan Rudi, adik mereka. Bagiku tak ada yang istimewa. Mereka berpromosi tentang Rudi, padahal orangnya ada di sebelahku, bukan persis di sebelahku lho. Jeki terang-terangan bilang:
"Mbak minta nomor HP-nya. Yang satu duda yang satu janda kan cocok. Udah mau aja mbak".
"Dari biasa kan bisa menjadi cinta", Heri menimpali.
"Ini orangnya rajin bekerja dan mau disuruh apa aja", Ndari menambahi.
Wah wah yang menilai itu kan hatiku, apalagi ketika Rudi bilang:
"Aku itu mencari wanita yang bisa ngertiin aku, tidak yang neko-neko, yang bisa terima apa adanya", rasanya nilainya semakin jatuh saja di mata hatiku.

Akhirnya kami berempat pergi ke wedangan terdekat di pinggir jalan besar dengan berjalan kaki. Mereka membiarkan kami duduk di tikar berdua, sementara mereka duduk di bangku panjang depan hik. Nampaknya Rudi benar-benar tertarik padaku. Hal ini terlihat ketika dia mencondongkan badannya ke dekat badanku, berbicara dekat sekali dengan telingaku.

Dia mulai bercerita tentang perkawinannya yang kandas, tentang anak-anaknya dan tentang pekerjaannya. Dia sekarang pegang bus Nusa, bus yang sering ditumpangi Dinda sepulang sekolah. Sekarang Dinda jarang naik bus karena akulah yang mengantar dan menjemputnya, baik ke sekolah maupun ke tempat lesnya.

Dia mengharapkan wanita yang akan menjadi istrinya kelak bisa mengatur ekonomi keluarga, tidak meminta yang muluk-muluk, yang terpenting adalah bisa "nrimo". Aku tak menanggapi perkataannya, aku hanya diam dan berpikir:
"Selama ini aku sudah sangat nrimo diperlakukan sembarangan oleh mantanku dulu dan sampai kini. Lantas bila aku masih disuruh nrimo lagi bagi pasangan berikutnya, sampai kapan aku prihatin? Aku butuh mengubah nasibku, bukan seperti ini yang sabar dan nrimo terus".
Tapi tentu saja aku tak mengatakannya secara terus terang. Dari semula, dari sebelum aku melihatnya langsung, aku sudah tidak tertarik. 

Dia juga sempat bertanya tentang pekerjaanku, justru itulah kalimat awal yang keluar dari mulutnya ketika pertama kali bertemu di rumahnya. Tentu saja setelah saling menyebutkan nama masing-masing. Mendengarnya aku "agak berpikir". Nyatanya tadi dia juga mengusulkan agar aku buka warung atau menjahit saja.
"Hmm ...", aku pikir betapa sederhananya cara berpikirnya.
"Tidak bisa menjahit?" tanyanya.
"Dulu aku punya beberapa penjahit tapi usahanya sekarang udah bangkrut", aku buru-buru menjelaskan.

Kenyataan ini membuatku agak shock. Mukaku seperti ditampar agar aku serius dalam mencapai keinginanku, meningkatkan kualitas diriku.
Aku ingat kata-kata Pak Mario Teguh : 
"Jodoh itu banyak dan bertingkat-tingkat. Maksudnya adalah wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan wanita dengan kelas yang lebih tinggi akan mendapatkan laki-laki dengan kelas yang lebih tinggi pula. Sekarang pertanyaannya adalah di mana Anda tumbuh dan di mana Anda akan berhenti tumbuh?? Apakah Anda puas dengan kondisi sekarang atau Anda masih ingin meningkatkan diri??                   
Karena jodoh itu bertingkat-tingkat dan banyak, tentu saja yang seharusnya kita lakukan adalah meningkatkan kualitas diri. Jadi bukan menuntut orang di kelas bawah dimarahi karena dia tidak bisa di kelas tinggi tetapi kita harus meningkatkan diri untuk bisa menjadi kelas yang lebih tinggi dengan menganggunkan diri sendiri. Jika kita bisa analogikan, seorang ratu tidak mungkin akan dinikahkan dengan seorang yang pemalas, penunda, dan juga sombong karena kelasnya sudah berbeda.
   Jodoh itu bukan satu tapi banyak hanya saja yang boleh dipilih hanya satu tidak boleh diambil semuanya akan tetapi ambillah sesuai dengan impian Anda. Jika Anda ingin memiliki jodoh yang mulia, yang harus kita lakukan tentu saja memuliakan diri kita dahulu agar bisa terlihat pantas dihadapannya".

Aku harus lebih serius dan fokus lagi dalam mewujudkan segala keinginanku. Sebagai ibu rumah tangga, maka waktu terasa kurang. Bayangkan aku harus bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk Dinda, mengantar jemput ke dan dari sekolah dan tempat les, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, ngeblog, ngurusi kedua toko online-ku, dsb. 

Sehat Ala Boyke 



Tuesday, March 25, 2014

Pengin Pergi

Pengin Pergi


Kalo ada GA tentang perjalanan ke mana yang kamu inginkan atau perjalanan yang pernah dilakukan yang mengesankan ...................... aku pasti gak ikutan. Pengin ikutan, itung-itung buat ngisi blogku, tapi apa yang mau diceritakan? 

Bukannya aku tak pernah pergi, tapi ..... rasanya semua perjalanan yang aku lakukan tak berkesan dan tak pantas buat diceritakan. 
Di dalam negri, tempat paling jauh di mana aku pernah menjejakkan kaki adalah Pulau Bali, sementara di luar negri adalah Singapura dan Malaysia. Tak ada yang berkesan, semua terasa biasa-biasa saja. 

Bicara tentang perjalanan, maka aku pasti teringat waktu aku masih SMA. Waktu itu akan diadakan semacam karya wisata ke Kediri. Yossie, ketua OSIS yang waktu itu naksir aku, demikian juga aku sebaliknya, mendatangi kelasku. Dia menyatakan kegirangannya saat tahu kalo aku mau ikutan. Tetapi ternyata orangtuaku tak membolehkan aku ikut. Dan, acara itupun juga bukanlah merupakan kewajiban bagi seluruh siswa. 

Tibalah waktu untuk pergi ke Kediri, aku gak jadi ikut. Rasa kecewa mendalam sangat kurasakan sampai detik ini bila mengingatnya. Ibuku hanya memberiku sebuah majalah remaja. Aku membaca tapi cemberut, kuhela nafas panjang beberapa kali. Melihat itu ibuku marah-marah. 

Sementara di sana, Yossie selalu mendekati teman sekelasku Evi, bertanya-tanya tentang aku. Hal ini aku ketahui karena Evi menceritakan semuanya. Tetapi tentu Evi tak bercerita tentang fitnah-fitnah tentangku yang diceritakan pada Yossie. Sejak itu Yossie tak mendekatiku lagi. Cinta pertamaku kandas sudah. 

Padahal Yossie adalah satu-satunya "orang dekat" yang seiman. Setelahnya belum pernah aku temukan "teman dekat" yang seiman lagi. Kabar terakhir beberapa tahun yang aku tahu lewat facebook, dia sekarang bekerja di Mabes Polri Jakarta. Lagi-lagi orang hukum, dan lagi-lagi Jakarta. Betapa Jakarta banyak menyimpan cinta.

Cukup, aku tak mau cerita lagi tentang hal itu. Hidup itu harus berjalan, sementara aku tak pernah merasakan adanya cinta pertama. Aku melewatinya begitu saja, tapi ini bukan mauku. 

Betapa iriku saat mendengar mereka dengan riangnya menceritakan tentang pengalaman mereka bepergian dengan yang dicinta. Meskipun tempat tujuannya bukanlah tempat-tempat yang mewah tapi “bersama dengan siapa” nya itulah yang membuat mereka gembira. 

Pernah aku pergi ke Bali dengan “seseorang”, tapi aku tahu bahwa dia mengenang “seseorang”-nya. Aku lirik, matanya menutup, tapi ketika matanya terbuka, matanya nampak sembab. Jadi buat apa aku pergi “dengannya” jauh-jauh kalo dia memikirkan yang lain yang jauh? Kurasa itu cuma hal percuma. 

Bepergian atau travelling sebenarnya adalah hobiku, tapi apa daya belum ada hal yang mendukung. Ya sudah terima dulu kenyataan ini. 

Suatu saat aku ingin menjejakkan kaki di negri orang–orang lain. Semoga. Dan, tentu bersama “yang dicinta”. Semoga. 

Artikel Terkait :


 <iframe frameborder="0" src="http://kumpulblogger.com/machor.php?b=214763" width="100%" height="200px" marginwidth=0 marginheight=0 ></iframe>
                

Saturday, March 22, 2014

Bila Bertemu Denganmu

Bila Bertemu Denganmu

Bila bertemu denganmu, hal pertama yang kulakukan adalah berucap terima kasih padamu. Kamu telah membantu aku yang gaptek dan menjagaku dari kesan yang buruk. Itu semua lewat media online. Kamu memang hebat, kuakui hal itu. Hampir 2 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dan selama itulah aku mengharapkanmu hadir nyata di sisiku. 

Tentang perasaanku padamu, kukira kamu pun telah tahu. Namun yang pasti bahwa aku mencoba untuk menghapus segala pesonamu dari hatiku. Aku merasa hal itu sangat tak pantas untuk kulakukan. Karena bila aku menikah muda, maka aku akan dapatkan anak seumurmu, he he he .... tua bener ya aku? Itulah yang membuatku malu bila bertemu kamu yang masih sangat muda. 

Namun entah perasaan ini datangnya dari mana, begitu tiba-tiba, begitu sekonyong-konyong koder .... he he he. Percayalah bahwa aku akan bisa melupakanmu bila sudah bertemu nanti. Aku hanya dipenuhi rasa penasaran yang membabi buta dalam dadaku. Ini salah, ini jelas salah. Tatapan matamu di Photo Profile facebook itu begitu menghunjam ke dalam dadaku menembus masuk ke relung-relung hatiku. Wow puitisnya! 

Mungkin segalanya tak akan pernah sama lagi jika kita bertemu. Kita negosiasikan hubungan kita, mau seperti apa. Aku tak berharap banyak, sungguh!. Jika boleh berteman pun aku sangat senang. Mempunyai teman sepertimu yang jaksa muda tentu membanggakan. Sama seperti mempunyai mantan yang seorang jaksa juga. Aih aih. Oh bukan itu maksudku. Aku tak terlalu melihat profesi kok, yang penting mempunyai pekerjaan yang baik. 

Tahukah, bahwa kamu ibarat ombak yang menderu di tepian pantai? Sekali di atas sekali di bawah. Sekali good mood sekali bad mood. Itulah kamu. Seperti beberapa hari belakangan ini, kamu terlihat sangat bad mood terhadapku. Mengapa? Aku tak merasa salah apapun. Barangkali kamu sedang kepincut pada pesona wanita Jakarta yang glamor dan berkarier. Tak masalah sebenarnya. 

Yang tak bisa aku mengerti adalah begitu kontrasnya sikapmu terhadapku dalam beberapa hari saja. Seolah kamu melambungkan anganku terbang tinggi di awan, tetapi setelah itu kamu menghempaskanku ke tanah, hingga aku kesakitan. Namun seolah kamu tak pedulikanku karenanya. Kamu bilang akan menemuiku di sini suatu saat nanti, tetapi beberapa hari tak ada kabar darimu. Semua akses ke kamu dimatikan. Banyak pertanyaan tentang hal ini yang belum terjawab. Aku hanya bisa meraba-raba, karena apa dan kenapa. 

Jangan pernah berpikir bahwa aku ingin memilikimu selamanya. Tidak. Tidak seperti itu. Bila aku ingin berteman atau bersaudara denganmu selamanya, apa salahnya? Tetapi untuk soal jodoh, itu rahasia Ilahi. Saat ini komunikasi kembali terputus. Aku merasa sedih, seolah ada yang hilang dari jiwaku. Tak ada yang bisa kuperbuat untuk memperbaiki bila aku salah. Nyatanya tak kutemukan kesalahanku. Jadi tolong tunjukkan apa salahku. 

Di sini di Kota Solo ini kita pasti bertemu, biar Tuhan berkenan pertemukan kita. Bukankah Tuhan juga yang telah perkenalkan kita, meskipun itu lewat dunia maya? Pasti ada maksud Tuhan yang tersembunyi yang belum kita ketahui. Jangan takut, aku tak akan memakanmu he he he. Jadilah temanku, paling tidak. Temanku yang nyata. Eh ngarep ya? 

Artikel Terkait :


 

Monday, March 17, 2014

RASA ITU LAGI

PATAH HATI


Kini kudapati rasa itu lagi
Sebuah rasa yang merobek-robek hati
Ah, sepertinya aku  tidak dapat menulis
Mataku buram oleh deraian air mata
Ku saksikan air mataku jatuh satu satu
Pilu, sedih, sepi, dan sendiri 

Apakah kau dengar?
Bunyi air mataku yang jatuh 
Kakiku basah oleh air mataku
Kenyataan ini mengoyak hatiku
Mencabik-cabik batinku
Teganya kamu memberiku harapan palsu

Kini kudapati rasa itu lagi 
Mengapa ya ini terjadi lagi padaku?
Aku merasa tak rela dibohongi
Ketika kukatupkan mataku
Sepertinya memeras air mataku 
Keluar lebih banyak lagi

Aku tak sanggup dengan rasa sakit ini
Seakan mengoyak luka-luka lama
Menaburi dengan garam-garam baru
Pedih, perih, sepi, dan sendiri
Pernahkah kau rasakan yang seperti ini?
Mengapa kau timpakan rasa ini padaku?

Saturday, March 15, 2014

Untukmu, my EX

Untukmu, my EX

Mantan ....... haruskah kita memusuhi mantan kita? Bagaimana bila mantan selalu saja membuat jarak dan memusuhi kita? Bukankah berbaikan adalah cara yang elegan untuk melanjutkan hidup, apalagi bila karena perpisahan ada anak yang menjadi korban?

Memang kamu sekarang adalah mantanku. Terus terang kukatakan bahwa sekarang tak terbersit sedikitpun untuk kembali memilikimu. Tak ada pemikiran seperti itu, percayalah. Lagi pula dahulu pun aku tak sepenuhnya memilikimu. 

Barangkali keluargamu lebih berhak daripada aku. Sepertinya begitu. Diakui atau tidak, itulah yang terjadi tanpa mereka merasa dan sadari. 
Waktu kepulanganmu yang hanya sekali atau dua kali setahun, tetapi waktumu tersita lebih banyak untuk mereka. Lihatlah bahwa kamu harus mengantar mereka pergi ke rumah nenekmu di Madiun beberapa hari,  mengantar keponakan-keponakanmu jalan-jalan ke mall atau nonton bioskop. Memang di saat pergi dengan keponakan-keponakan itu juga ada aku, tetapi sepertinya tak ada ruang untuk kita bertiga sebagai sebuah keluarga kecil yang "bahagia". 

Bukankah kita juga butuh berkumpul bertiga, apalagi keluarga ini sedang ada masalah, waktu itu. Terus terang aku tak bisa protes tentang apapun, takut menimbulkan masalah dengan keluargamu. Mengalah dan selalu mengalah, itulah yang kulakukan. Dan, kamu sendiri seolah tak lagi memandang kami, istri dan anakmu sebagai suatu hal yang bersifat prioritas. Kamu perlakukan anakmu dan keponakanmu sama. Tak ada istimewanya Dinda di matamu, bukanlah itu darah dagingmu satu-satunya? Ataukah ada yang lain lagi?

Protes pada mereka adalah salah. Pernah aku protes tentang kepergianmu ke Madiun, jadi mereka pergi tanpa kamu. Tetapi setelah itu aku disalahkan oleh salah satu keluargamu. Aku merasa tak berhak apapun atas dirimu. Barangkali karena aku "berbeda". Tak terkatakan tapi terasakan.

Sudahlah, itu semua sudah berlalu. Satu hal yang kuharap darimu selalu, tetap ingat pada Dinda, anak kita, tetap peduli pada kesejahteraannya dan segera penuhi semua janjimu padaku yang belum selesai.


Saturday, February 22, 2014

Belahan Jiwa

Belahan Jiwa

Mencoba berjalan dengan digelayuti cinta terlara 
Kangen dan sayang itu hanyalah sekedar tipuan 
Aku bukanlah aku yang sesungguhnya 
Separoh jiwaku sirna terbang melayang 

Betapa berat segala yang kulakukan 
Berat seberat memikul separoh jiwaku 
Aku sedang berada di titik zero kini 
Tak berarah dan tak bertujuan pasti 

Hanya dapat kulihat orang-orang berpasangan 
Tanyaku yang tak pernah berhenti, mengapa bisa? 
Bagaimana cara jiwa menemukan belahannya? 
Di manakah Engkau sembunyikan belahan jiwaku?

TAK LAGI KU BERHARAP

TAK LAGI KU BERHARAP


Aku berjalan di tengah rintik hujan 
Berharap hujan dapat meluruhkan asaku padamu 
Tak perlu sedu sedan tangis pilu 
Aku hanya ingin pergi 

Hati yang terbakar telah menjadi abu
Teronggok di sisi jalan terhapus hujan semalam 
Ini tentang lara sedih luka perih 
Hapuskan ini dariku 

Hujan seakan mengerti hatiku 
Mewakili air mataku yang tak jatuh 
Aku tak mau terjatuh lagi dengan luka 
Cukup sudah semua ini 

Hapuskan kau dari ingatanku
Sekian lama rasa telah terpendam 
Tak perlu lagi berharap bertemu 
Sisakan pedih ini yang kurasa

Thursday, February 20, 2014

Rinduku Terpasung


Rinduku terpasung pada kamar yang pengap ini
Menyiksaku pada malam-malam senyap sendirian
Bintang-gemintang seolah tertawa menyeringai
Tak mengerti mengapa ada rasa rindu ini

Rinduku terpasung pada hilir mudik kendaraan
Yang tak mau menungguku barang sebentar saja
Rinduku padamu tergantung pada awan-gemawan
Rindu ini berwarna biru bercampur putih dan kelabu.

Bilakah kau lepas pasung kerinduan ini?
Nyatanya Tuhan telah memperpendek jarak antara kita
Tak perlu lagi pergi melintasi gelombang lautan
Cukuplah beberapa jam untuk dapat berjabat tangan 

Saturday, February 15, 2014

Ingin aku ke Jakarta menemuimu


Suatu pagi aku mendapatkan pesan singkat dari nomor tak kukenal berbunyi :"Kapan kamu ke Jakarta?" Langsung aku balas :"Kok aku? Aku males ke Jakarta". 
Itu pesan singkat dari siapa, aku pun tak tahu pasti. 

Jakarta, sebuah kota yang menyimpan "seseorang" atau lebih. Namun satu hal yang pasti, aku tidak suka Jakarta. Bagiku Jakarta itu semrawut, tidak nyaman sebagai tempat tinggal, penuh masalah, dan satu hal lagi ada cerita cintaku teronggok di sana. 

Kalo dibilang aku tak bangga terhadap ibukotaku sendiri, ya memang iya. Maafkan aku warga negara yang tak loyal ini.

Lalu aku harus menemuimu di Jakarta? Emang siapa kamu? 
Aku sudah bisa meraba-raba siapa kamu tapi itu belum bisa dipastikan. 
Beberapa pesan singkat-mu terdahulu mengindikasikan sebuah nama. Tapi aku terlalu GR (gede rasa) bila menyangka bahwa itu adalah kamu.

Semakin hari semakin aku tahu seiring dengan semakin banyaknya komunikasi antara kita. 
Pengirim pesan singkat itu adalah benar-benar kamu. Setelah sekian lama ternyata kamu masih mengingatku, demikian juga aku sejujurnya. 

Meski sudah diperlakukan bagamana pun juga aku masih setia menantimu. Ini bentuk kebebalan atau apa ya? Nyatanya kamu masih tersimpan rapi di hatiku, tak tergoyahkan oleh siapa pun.

Sesungguhnya aku pun bingung dengan perasaanku sendiri. Sudah seharusnya aku tak memikirkanmu lagi, sejak peristiwa itu. Aku merasa tak berharga sama sekali sebagai wanita. Kenapa aku yang disalahkan dan merasa merugi? 
Pantaslah bila kamu berbuat begitu, apalah aku ini, siapalah aku ini.

Dan, kini kamu memintaku datang ke Jakarta, tentu saja untuk menemuimu. Hmm .....
Bila kamu yang "pulang" ke Solo, kamu bilang belum bisa. "Pulang" adalah istilahmu sendiri.  

Apakah aku akan mengulangi cerita yang sama dengan sosok yang berbeda?
Mengapa banyak orang yang terjebak dalam situasi yang sama dan sama lagi? Entahlah.
Bukankah ada yang namanya takdir? Bukankah semua yang terjadi adalah atas kuasaNya 
Bila ini bagian dari rencana indah dari Tuhan, tentu dengan senang hati aku menerimanya.

Kamu adalah sosok yang aku idamkan selama ini. Tak perlulah aku menyebut kriteriamu.
Apalagi bila kamu dalam balutan seragam coklat kehijauan itu, betapa gagah dan gantengnya dirimu.
Dengan seragam keren itu dan berada di balik stir mobil sedanmu (?) itu, hmm ....wanita mana yang tak melirikmu? Wah, ada rasa cemburu menjeratku. Oh tidak tidak tidak!
Aku sangat tahu diri. Kamu siapa dan aku siapa. Hanya perasaanlah yang menjembatani.

Memang kamu berjanji akan "pulang" ke Solo, tapi mungkin juga aku yang akan datang ke Jakarta.
Tentu tidak saat-saat ini karena Jakarta sedang dilanda banjir, sedangkan Solo dilanda hujan abu.

Hampir tak dapat kupercaya saat kamu bilang :"Aku kangen kamu".
 Terlebih saat kamu bilang :"Aku sayang kamu", wow itu keren banget!
Aku bukanlah paranormal yang bisa membaca isi hati dan pikiranmu
Kita lihat nanti sajalah bagaimana perkembangannya.