Rose is love

Mawar identik dengan cinta karena mawar bisa mengungkapkan betapa indahnya cinta, betapa romantisnya cinta.

Wanita

Wanita ibarat kelembutan yang rapuh, namun wanita memiliki kekuatan yang dasyat tak terkira.

Solo

Solo atau Surakarta merupakan kota eks karesidenan di Jawa Tengah. Solo adalah kota yang sangat berkembang tak kalah bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia.

Embun Pagi

Embun menetes tiap pagi hari, menyentuh dedaunan, bunga-bunga, dan segala permukaan di bumi. Embun sungguh menyejukkan hati kita, membeningkan pikiran kita.

Kucing

Kucing adalah hewan yang paling menyenangkan. Tingkah polahnya yang lucu bisa menghalau galau dan menggantikannya dengan senyum bahkan tawa.

Wednesday, June 25, 2014

Sejak Mengenalmu

Sejak Mengenalmu

Aku belum pernah memandang langsung wajahmu, belum pernah melihat seberapa tinggi badanmu, dan belum pernah melihat gayamu dalam berbicara, namun aku telah dengan nekad menaruh kamu di hatiku. Aku tak lagi berpikir panjang untuk melakukan hal ini. Seolah radar dalam hatikulah yang membawaku untuk mantap mencintaimu. Kamu adalah bagai air yang akan menghilangkan jejaknya, mantanku itu. Tak kuragukan lagi. 

Sejak mengenalmu, sedikit demi sedikit ingatanku akan dia terkikis olehmu. Tak tersedia lagi ruangan di hatiku untuk menampung keberadaannya. Percayalah. Sejak kemarin dulu kamulah yang mengisi hatiku sepenuhnya. Aku berani mengatakan hal ini karena aku jujur pada semua yang membaca tulisanku ini. 

Sekarang aku benar-benar menunggu kehadiranmu di sini, dalam beberapa waktu lagi. Bener ya, jangan ada alasan lagi untuk menundanya. Ingat bahwa waktu terus berjalan. Waktu tak sudi menunggu barang sedetik pun. 

Salam kangen dari Solo.

Tuesday, June 24, 2014

Menulis Ya Menulis Saja

Menulis Ya Menulis Saja

Menulis ya menulis saja, tetapi ketika aku dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa aku harus menjaga perasaan banyak orang, tidak boleh menulis yang bersifat sara dan saru, tidak boleh curhat berlebihan, dan sebagainya..........itu sangat membatasi imaginasiku dalam menulis. Pada akhirnya aku kehilangan banyak ide yang seharusnya bisa kutuliskan di sini. Semua ini gara-gara aku berusaha mematuhi aturan-aturan baik tertulis dan terutama yang tidak tertulis.

Seandainya saja menulis adalah sesuatu kebebasan pribadi dalam artian dibebaskan menulis apa saja, maka alangkah banyaknya ide yang bisa dituangkan ke dalam bentuk tulisan di sini di blog ini, paling tidak. 

Begitu sulitnya mendapatkan sebuah ide cerita yang ditugaskan kepadaku untuk diterbitkan ramai-ramai bersama teman-temanku yang perempuan. Ketika kudapatkan suatu ide, tapi setelah kupikir panjang ternyata ide itu terasa tak pantas untuk dikedepankan, dalam bentuk cerpen sekalipun. Batasan-batasan itu telah membelengguku. Bagaimana ini? Memang batasan-batasan itu tak tertulis secara implisit, tetapi aku tahu dan merasakan sendiri dampak bila aku menuliskannya.

Ancaman gugatan secara hukum dari mantanku yang tak terima dengan tulisan-tulisanku baik di facebook maupun di blog telah menjadikan pertimbangan bagiku dalam menulis di media apapun, kini.
Walau apa yang aku tulis berupa kebenaran tetapi bisa dikalahkan secara hukum oleh bukti-bukti pencemaran nama baik yang telah kutuliskan. Apa daya bila curhatanku bermasalah? Kini, tak lagi banyak curhatan yang kutulis yang hanya akan menjadikan masalah saja. Hubungan dengan teman bahkan kerabat bisa berantakan karenanya.

Menulis di media sosial itu ternyata penuh syarat. Yang lebih menjadikanku  pusing adalah tentang batasan-batasan tersebut, bukan pada ide dan pengembangan dari ide tersebut.

Benar tidak? Atau hanya aku yang merasakan belenggu ini?
Kehati-hatian itu penting. Di sinilah letak masalahnya. Karena aku menjadi berhati-hati maka banyak ide yang berseliweran di kepala menjadi tak tertuliskan. Rasanya tak pantas saja untuk dituliskan. Banyak yang tak pantas, kukira.

Friday, June 20, 2014

Aksesori Buatan Sendiri


Aksesori merupakan pelengkap wanita dalam berbusana. Oleh karena itu wanita dan aksesori adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun wanita sederhana sekalipun tetap mengenakan aksesosi walaupun itu hanyalah berupa sepasang anting atau giwang sederhana. Aksesori tak harus terbuat dari emas dan berlian yang mahal. Aksesori bisa saja terbuat dari apa saja yang mudah kita temui bahannya, misalnya batuan, kain batik, mutiara tiruan, kawat, dan sebagainya.


Aksesori Buatan Sendiri

Aksesori wanita tak selalu identik dengan perhiasan seperti anting/giwang, cincin, kalung, dan gelang, namun bisa juga berupa syal, tas, topi, kacamata, ikat pinggang, bros, selendang, dan sebagainya.


Aksesori Buatan Sendiri

Adalah suatu kesenangan tersendiri apabila kita dapat mengenakan aksesori hasil buatan kita sendiri. Untuk itu akan aku tunjukkan bagaimana membuat sebuah bros mungil cantik yang terbuat dari batuan kerang.

Mari kita mulai saja tutorial cara membuat bros mungilnya. Bros ini adalah hasil kreasiku sendiri, memodifikasi dari bros yang sudah ada sebelumnya.


Aksesori Buatan Sendiri

Bahan-bahan yang dibutuhkan :
  1. Kawat;
  2. Batuan kerang;
  3. Parel;
  4. Tang penarik kawat;
  5. Tang pemotong kawat.
Cara membuatnya :


Aksesori Buatan Sendiri

Masukkan kawat dari belakang sarangan di baris kedua dari luar kemudian dari depan masukkan kembali kawat ke lubang di sebelahnya. Jangan lupa sisakan sedikit kawat di bagian belakang sarangan yang nantinya untuk mengikat. Ulangi langkah ini sampai dua atau tiga kali. Tarik kawat dengan tang agar kencang.


Aksesori Buatan Sendiris

Ambil sebuah batuan, masukkan kawat melalui lubang batuan ke arah atas. Masukkan kembali kawat lewat belakang batuan kembali ke lubang yang sama, tembus ke bawah sarangan.

Aksesori Buatan Sendiri

Masukkan batuan lainnya satu demi satu sambil ditata agar nampak bagus.

Aksesori Buatan Sendiri

Tata kembali agar batuan-batuan tersebut nampak seperti rekahan bunga.


Aksesori Buatan Sendiri

Masukkan parel di bagian tengah bunga sambil ditata agar nampak alami dan rapi.

Aksesori Buatan Sendiri

Balik sarangan dan satukan kedua kawat, caranya kawat yang satunya diselipkan di bawah kawat-kawat yang ada di belakang sarangan. Bila kedua kawat sudah berdekatan, ulir kedua kawat tersebut dengan menggunakan tang.

Aksesori Buatan Sendiri

Potong kawat-kawat yang tersisa.

Aksesori Buatan Sendiri

Pasang tutup sarangan dengan cara terapkan tutup pas di sarangan kemudian lipat ujung-ujungnya.

Aksesori Buatan Sendiri

Demikian tutorial cara membuat bros. Semoga bermanfaat.

http://blogsusindra.blogspot.com/2014/06/sweetzees-giveaway-hobi-prakaryaku.html


Thursday, June 19, 2014

Surga Belanja di Solo : Beteng Trade Center (BTC)

Surga Belanja di Solo : Beteng Trade Center (BTC)
Beteng Trade Center (BTC)
BTC atau Beteng Trade Center Solo merupakan salah satu pusat perdagangan di Solo yang sudah terkenal sejak tahun 1992. Pusat perdagangan yang dikelola oleh PT Andalan Propertindo ini terletak di Jalan Mayor Sunaryo, Pasar Kliwon Solo. BTC bersebelahan dengan PGS (Pusat Grosir Solo), sementara Pasar Klewer terletak beberapa ratus meter di sebelah selatannya. 

Surga Belanja di Solo : Beteng Trade Center (BTC)
Sepatu

Lokasi BTC sangat strategis karena berseberangan langsung dengan Benteng Vastenburg, dekat dengan alun-alun Kota Solo, Keraton Kasunanan Solo, dan tentu saja karena berada di pusat Kota Solo. Sementara Benteng Vastenburg sendiri adalah tempat berbagai even budaya digelar. 

Surga Belanja di Solo : Beteng Trade Center (BTC)
Tas
Beteng Trade Center terdiri dari dua lantai, lantai dasar untuk pusat perdagangan kain dinamakan Pusat Kain Solo, sementara lantai satu untuk pusat perdagangan tas dan sepatu dinamakan Pusat Tas dan Sepatu. Akan segera dibuka lantai dua untuk Pusat perdagangan batik dinamakan Pusat Batik Solo. Selain menyediakan produk kain, tas,sepatu dan batik, di BTC juga dapat dijumpai sprei, baju muslim, kebaya, kaos kaki, makanan, minuman, dan lain sebagainya. 

Surga Belanja di Solo : Beteng TradeCenter (BTC)
Baju batik dan muslim
Kemarin aku dan Dinda, anakku yang sedang liburan menyempatkan jalan-jalan ke BTC. Selain sekedar jalan-jalan, ya siapa tahu ada barang bagus, diinginkan dan murah. Setelah putar-putar, akhirnya dapat juga beberapa barang yang memang diinginkan dan tentu saja murah. 

Surga Belanja di Solo ; Beteng Trade Center (BTC)
Sprei dan bed cover
Barang yang pertama dibeli adalah sebuah tas suede imitasi warna coklat dengan penutup motif bunga-bunga yang cocok untuk remaja. Harga tasnya Rp. 60.000,- Tas ini persis seperti yang dijual di toko online. Ketika memasuki kios sepatu, mata Dinda tertumbuk pada sepasang sepatu model crocs motif leopard, harga banderolnya Rp. 150.000,- tapi boleh dibawa pulang dengan harga Rp. 50.000,- saja. Karena Dinda sedang getol naik motor, maka dibelinya juga sepasang sarung tangan seharga cuma Rp. 12.000,-, tiga pasang kaos kaki seharga Rp. 10.000,- dan sepasang kaos kaki muslim Rp. 7.000,-

Surga Belanja di Solo : Beteng Trade Center (BTC)
Belanjaan Dinda
Beteng Trade Center adalah salah satu pusat perdagangan yang direkomendasikan. Kalau membeli barang di sini harap menawar ya biar dapat harga yang lebih oke lagi.

Tuesday, June 17, 2014

Hebohnya Pengumuman Kelulusan



Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Pukul 11.00 Dinda sudah bersiap menuju rumah si perias pengantin yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari rumah. Seorang laki-laki dengan gaya yang feminim dan istrinya menyambut kedatangan kami. Dengan cekatan Mas Dedi mulai merias wajah Dinda, kemudian menyanggul rambut Dinda. Rambut tidak memakai sanggul tiruan, namun hanya rambut asli saja yang dibentuk seperti sanggul dan diberi hiasan rambut berbentuk bunga-bunga di bawahnya. Kuakui hasil karya Mas Dedi sangat bagus, sanggulnya bagus, riasan wajahnya pun nampak alami dengan warna riasan yang soft.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Dinda dan papanya

Pukul 12.00 selesai sudah Dinda dirias dan didandani dengan kain Jogjanan yang dominan warna putih dan kebaya berwarna biru pastel. Kalung dan giwang pun dipakai untuk melengkapi penampilannya. Kami pulang ke rumah dulu sekalian Dinda belajar berjalan dengan mengenakan pakaian adat karena nanti ada acara lomba keluwesan yang harus diikuti semua siswa-siswi.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Papanya Dinda akhirnya bersedia pulang juga menemani anaknya menerima pengumuman kelulusan. Baru saja kami sampai rumah, ketika papanya datang. Lama juga tak bertemu dengannya, kucium tangannya. Tapi percayalah perasaanku biasa saja. Kemudian Dinda dan papanya menyempatkan diri untuk foto-foto dulu sebelum berangkat ke sekolah. Acara dimulai pukul 13.00, jadi masih ada waktu.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Setelah mengantar Dinda ke sekolah, kami mencari tempat makan dulu. Aku merasa perjalanan agak memutar, kemungkinan dia sudah lupa dengan jalanan di Kota Solo, kotanya kuliah dulu. Kami menghabiskan waktu di rumah makan. Ketika waktu menunjukkan pukul 16.30 kami menuju ke sekolah Dinda di SMPN 27 Solo. Acara pengumuman kelulusan dimulai pukul 16.00. Orangtualah yang menerima hasil UN.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Suasana sekolah berbeda kali ini. Warna-warni pakaian adat Jawa (terutama) yang dikenakan siswa-siswi kelas IX memberi nuansa tersendiri. Suara musik masih terdengar ketika kami memasuki kelas yang terletak di lantai tiga. Baru ada seorang ibu yang datang, maklumlah waktu belum menunjukkan pukul 16.00.
 
Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Keharusan mengenakan pakaian adat ini adalah ketentuan dari Dinas Pendidikan Kota Solo. Dinas mengharuskan semua siswa mengenakan pakaian adat saat mengambil hasil kelulusan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah para siswa berkonvoi dengan kendaraan, mencegah euforia berlebihan, sekaligus untuk memupuk rasa kecintaan terhadap pakaian adat pada generasi muda.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Bersama wali kelas

Baru ada 4 orangtua yang hadir dan waktu pun belum menunjukkan pukul 16.00, tapi wali kelas sudah masuk kelas dan memulai acara. Diumumkan bahwa di kelas ini ada yang mendapatkan nilai 10 untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Aku merasa pasti bahwa Dinda lah yang dimaksud. Begitu suamiku, eh maaf mantanku maju dan duduk di depan guru wali kelas, diberitahu bahwa Dinda mendapatkan nilai tertinggi (10) di mata pelajaran Bahasa Inggris. Wow! Aku senang banget. Dan, kata gurunya, Dinda akan mendapatkan hadiah dari sekolah.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Bersama Kepala Sekolah
Sesampai di bawah kami menyalami Dinda. Seolah ini membuktikan bahwa aku bisa mendidik anak meski dalam keterbatasan materi dan kasih sayang. Dan, aku yakin hal ini bisa membuka mata hatinya untuk kami. Bagaimana pun anak adalah investasi untuk masa depan. Bagaimana pun orangtua akan teringat pada anak kandungnya.

Friday, June 13, 2014

Kegelisahanku

Kegelisahanku

Rasanya senang bila ada grup yang mau menampung penulis atau calon penulis yang ingin berkontribusi di buku yang akan diterbitkan. Tentu saja ini merupakan buku karya bersama belasan atau bahkan puluhan penulis. Profit atau royalti istilahnya tak menjadi masalah, bahkan bila tidak mendapatkan royalti sekalipun. Aku anggap ini sebagai ajang pembelajaran di bidang kepenulisan buku.

Oleh karena itulah aku menggabungkan diriku ke grup tersebut, dan diterima. Namun kemudian timbul masalah ketika sepertinya diharuskan mengisi biodata penulis atau profil penulis. Waduh!!!
Aku keberatan tentu saja, karena tak ada apa-apa yang bisa aku tuliskan tentang diriku yang pantas dijual. 

Lihatlah tampang-tampang meyakinkan itu dan bacalah biodata mereka yang hebat-hebat itu. Ohh! Tak ada apa-apanya aku ini dibandingkan dengan mereka. Apa yang bisa aku banggakan dari diriku yang gagal ini? Seketika itu juga aku malu. Seketika timbul kegelisahan dalam diriku yang amat sangat. Nantilah kalau aku sudah berhasil menerbitkan beberapa buku, baru aku akan bergabung lagi dengan mereka. Setidaknya aku sudah memiliki buku-buku karya sendiri yang bisa aku banggakan.

Aku merasa bahwa aku sangat tak pantas berada di komunitas seperti itu. Tampang ceria mereka, pekerjaan keren mereka, ditambah dengan buku-buku karya mereka yang telah diterbitkan ............ ahh kepalaku jadi pusing. Kegelisahan menderaku. Aku bukan bagian dari mereka. Apa yang bisa kuperbuat? Masih ketinggalan jauh dari mereka. Aku malu, sangat malu telah memberanikan diri ikut bergabung dengan mereka.

Baiknya aku ngacir saja dari grup itu. Aku merasa belum pantas.

Friday, June 6, 2014

Lima Puluh Ribu Rupiah


Lima Puluh Ribu Rupiah


Aku memasukkan contoh-contoh dress batik yang telah aku selesaikan semalam. Ada tujuh potong dress batik yang aku buat dengan desainku sendiri. Kalau sebelumnya aku memproduksi beragam sarung bantal dan segala perlengkapan interior berbahan kain jarit batik, sekarang aku beralih ke pakaian batik. Tentunya inovasi diperlukan dalam setiap usaha. 

Kubuka dompetku ada selembar uang lima puluh ribuan yang nangkring sendirian dan hanya diteman beberapa uang recehan. Telah kuputuskan untuk berangkat ke Yogya menawarkannya ke Mirota Batik, hari ini juga. Biarlah aku tak akan mengambil uang lewat ATM, biar kumaksimalkan saja uang yang ada sebaik-baiknya. 

Selasa pagi kupacu mio kesayanganku menuju Kota Yogyakarta, sendirian. Sebelumnya aku mampir ke pom bensin mengisi penuh mioku dengan bensin lima belas ribu rupiah. Dari Solo ke Yogya bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. Karena aku merasa sudah tua jadi aku agak santai saja. Dulu, begitu ada motor yang mendahului, langsung aku kejar dan gantian akulah yang mendahului, apalagi kalau yang mendahului itu perempuan, Ada rasa puas begitu bisa gantian mendahului motor-motor yang mendahuluiku. Kini, tidak lagi seperti itu. 

Pukul setengah sebelas aku sampai di Yogya, langsung aku menuju Mirota Batik yang berada di Jalan Malioboro. Aku berada di lantai tiga dengan membawa contoh-contoh dress batik. Setelah mengambil nomor antrian aku duduk di bangku yang telah disediakan. Setelah duduk barulah aku menyadari bahwa tak terlihat Bu Theresia, tetapi sudah berganti dengan seorang pria yang belakangan kuketahui bernama Pak Heru. 

Ketika tiba nomorku yang dipanggil, aku buru-buru ke meja Pak Heru. Kukatakan maksud kedatanganku untuk menunjukkan contoh-contoh dress batik sambil memperlihatkannya padanya. Rupanya Pak Heru setuju untuk menerima titipan barang dariku. Tentu saja dia setuju karena model dress-nya tidak pasaran, bahannya dari kain jarit batik asli dan harganya pun lebih murah. Tujuh puluh potong, dengan masing-masing sepuluh potong permodelnya dipesannya dariku. Sistimnya memang titip jual tapi tak apalah. Aku sangat optimis karena Mirota Batik selalu mbludak pembeli maupun pengunjungnya. 

Perut terasa lapar, maklumlah hari sudah beranjak siang. Aku makan di warung makan yang terletak di trotoar dekat Mirota Batik. Menuku siang ini adalah seporsi nasi soto, tahu bacem, segelas teh hangat dan seplastik krupuk karak. Setelah aku membayar sebelas ribu rupiah, aku melanjutkan perjalanan pulang ke Solo. 

Aku tidak membeli oleh-oleh karena misiku adalah mencukup-cukupkan uang lima puluh ribu rupiah saja. Sebelum pulang aku mampir ke pom bensin untuk mengisi tanki mioku, cukup dengan lima belas ribu saja. 

Meskipun ini Mio keluaran pertama tahun 2004, tetapi masih sangat lincah dan handal, bahkan bisa dibawa keluar kota. Aku pernah diantar dengan mio kesayanganku ini ke Semarang, ke Yogya bahkan ke Magelang lewat jalur Selo Boyolali. Bayangkan jalur Selo ini merupakan lereng Gunung Merapi yang jalannya mendaki menurun dengan belokannya yang tajam-tajam, itu berhasil dilewati mioku. Berarti sudah sepuluh tahun mio warna kuning ini setia mengantar aku. Penginnya sih memensiunkan mioku, tapi apa daya uang untuk membeli mio baru belum ada. Ya tidak apa-apa, toh mioku ini masih sangat layak dikendarai. Berandai-andai bagaimana ya rasanya bila mengendarai dan sekaligus memiliki  Yamaha Mio Fino FI?
Kalau Mio keluaran 2004 saja sangat irit pemakaian bensinnya, tentu Mio Fino FI keluaran terbaru ini lebih irit lagi.

Di jalan aku menghitung berapa uang yang telah aku keluarkan tadi. Setelah kuhitung-hitung masih ada sisa Rp. 7.000,-, dengan perincian membeli bensin 2 x Rp. 15.000,- = Rp 30.000,-; makan Rp. 11.000,-; parkir Rp. 2.000,- kalau ditotal semuanya Rp. 43.000,- Sisa uang Rp. 7.000,- ini aku gunakan untuk mengisi 1 liter bensin lagi dengan bensin eceran di pinggir jalan. 

Aku sampai rumah dengan selamat diantar mio kesayanganku. Misi ke Yogya dengan hanya membawa uang lima puluh ribu rupiah pun aku selesaikan dengan baik. Misi menawarkan produk baru ke Mirota Batik pun berhasil diterima dengan baik. 

Lima Puluh Ribu Rupiah

Kita intip yok serunya jalan-jalan dengan Mio Fino di Jakarta di sini.

Thursday, June 5, 2014

Tak Perlu Kau Ingkari



Tak perlu lagi kau ingkari rasa itu
Ketika rasa sayang membuncah tak terbendung
Ketika rasa kangen menjadi sangat kangen
Bukankah rasa adalah pemberian Sang Kuasa?

Nikmati saja bila rasa itu begitu menggoda
Hubungi aku ketika kangen menjadi sangat kangen
Temui aku ketika kau tak lagi bisa ingkari rasa itu
Peluk aku ketika rasa sayang semakin menjadi

Bukankah perasaan kita sama?
Bukankah katamu kau tak meragukanku lagi?
Lalu mengapa seolah ada kebimbangan?
Aku menunggumu dengan  rasa kangen dan sayang

Wednesday, June 4, 2014

Rasa Yang Salah

Rasa Yang Salah

Langit cerah siang ini, tetapi bagi Minah langit terasa mendung kelabu. Perjalanan panjang telah dilalui sejak semalam dari kota hingga sampai ke desanya. Turun dari angkot, Minah masih harus melanjutkan perjalanan dengan naik ojek. 

Suasana desa masih sama seperti ketika Minah meninggalkan desanya dua tahun lalu. Sawah-sawah masih nampak subur, ada yang baru saja ditanam, ada juga yang sudah siap dipanen. Sungguh berbeda dengan suasana di kota di mana sawah-sawah telah beralih fungsi dengan dibangunnya beragam perumahan di atasnya. Jalanan desa masih ditutup bebatuan bercampur tanah, entah kapan pemerintah akan mengaspal jalan ini. 

Sesampai di rumah didapatinya rumah tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Minah meletakkan tas besarnya kemudian duduk di bangku bambu panjang yang ada di teras rumah. Terlihat ibunya pulang dengan membawa sebilah pisau. Oh tahulah Minah bahwa ibunya baru saja rewangan atau membantu orang yang sedang punya hajat. 

Ibunya heran melihat Minah tiba-tiba sudah ada di rumah. Lebih heran lagi tatkala melihat raut muka Minah yang tak biasa. Biasanya Minah selalu ceria menceritakan apa saja yang sedang dipikirkan, tapi kali ini mukanya tampak pucat dan tak sepatah kata pun yang terucap begitu melihat ibunya pulang. 

“Kapan pulang? Ada apa Minah? Kok tumben-tumben ndak biasanya lho”, ibunya menyapa sambil duduk di sebelah Minah. 

Minah masih diam saja, sekarang tatap matanya kosong. Pandangannya hanya lurus ke depan seperti orang ling-lung. 

“Ada apa Minah? Katakan sama ibu kenapa kamu pulang tiba-tiba tanpa kabar dulu? Lagi pula ini kan bukan hari libur”, Bu Nando semakin khawatir dengan keadaan anaknya. 

Diperhatikannya Minah lekat-lekat dari kepala sampai ke kaki. 

“Kamu sekarang tambah gemuk. Enak ya kerja di Jakarta?”. Ditanya seperti itu Minah tetap diam saja. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada perut Minah yang tampak lebih besar. Tanpa disadari kaus yang dipakai Minah mencetak lekat ke perutnya sehingga nampak jelas perutnya yang membulat seperti orang hamil. 

“Apa yang terjadi Minah? Kamu hamil ya? Siapa yang melakukan? Katakan pada ibu nduk!”, ibunya menggoncang-goncang kedua bahu Minah. Lagi-lagi Minah diam seribu bahasa. 

Ibunya teringat dua tahun lalu Minah pamit mau kerja di Jakarta. Ini karena Tito tetangganya yang menjadi satpam di sebuah perumahan mewah di Jakarta mengatakan bahwa ada seorang ibu yang sangat membutuhkan asisten rumahtangga secepatnya. Ditawari gaji yang menggiurkan membuat Minah tanpa pikir panjang menyetujui untuk menjadi asisten rumah tangga di sana. 

Minah memasuki sebuah rumah besar dan mewah dengan diantar Tito, tentu saja. 

“Bagaimana Tito, sudah dapat orangnya?” Bu Soraya langsung bertanya begitu melihat ada seorang perempuan dibawa Tito ke rumahnya. 

“Sudah bu. Ini namanya Minah” jawab Tito mantap. 

“Baiklah Tito, tolong tinggalkan Minah sendirian dulu ya. Makasih ya” berkata demikian Bu Soraya mengeluarkan lima lembar uang ratusan ribu rupiah dan menyerahkannya pada Tito. 

“Makasih bu”, Tito pamit keluar. 

Setelah dilakukan wawancara secukupnya akhirnya Bu Soraya menerima Minah sebagai asisten rumah tangga. Di rumah yang besar ini sudah ada lima pegawai lainnya, yaitu Barno tukang kebun, Pak Sukir sopir, Tito dan Yadi satpam, dan Yu Siti bagian kebersihan rumah. Sementara tugas Minah adalah di bagian dapur, belanja, memasak dan menyajikannya. 

Sebenarnya Minah adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya akibat kecelakaan lalu lintas. Umurnya pun baru 20 tahun, masih muda. Tubuhnya sintal dan wajahnya pun menarik, maka tak heran kalau banyak pemuda di desanya yang menaruh hati padanya. Minah tak menanggapi pemuda-pemuda tersebut. Minah masih teringat pada Maman, suaminya yang telah meninggalkannya setahun lalu. Perkawinan yang dijalaninya baru empat bulan sebelum dia ditinggalkan suaminya selamanya. 

Ajakan kerja di Jakarta sangat menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang langsung saja disanggupi tawaran Tito. Dan, sekarang dia berada di rumah mewah ini. 
Minah mengagumi rumah beserta perabotan yang ada di dalam rumah. Minah baru selesai mengelap seperangkat sofa berlapis kulit asli ketika seorang pria memasuki rumah. Tak didengarnya suara mobil, tiba-tiba saja ada orang masuk. Minah mengangguk pelan yang disambut dengan senyuman Pak Bram. 

“Orang baru?” tanya Pak Bram 

“Iya pak, baru tadi pagi” jawab Minah sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Pak Bram adalah seorang perwira polisi, maka tak heran bila tubuhnya tinggi besar, tatap matanya berwibawa dan senyumnya ramah. Saat berjabat tangan tadi menimbulkan suatu rasa yang lain bagi Minah. Minah jarang bersalaman dengan lawan jenis, apalagi ini adalah majikannya sendiri. Maklumlah di desanya tak diperbolehkan berjabat tangan antar lawan jenis kecuali bila sudah mukhrim. 

Sudah dua bulan Minah bekerja di rumah ini, perlakuan Pak Bram dan Bu Soraya baik sekali terhadap semua pegawai. Hal ini membuat Minah kerasan apalagi hubungannya dengan pegawai lainnya sudah seperti saudara, sering bercanda dan saling bantu. 

Ini Hari Minggu, Tito pulang kampung, Barno yang tukang taman juga libur. Yu Siti juga ijin karena anaknya sedang sakit. Pak Sukir sedang mengantar Bu Soraya arisan. Hanya ada Yadi, satpam yang jaga di depan. Minah masih sibuk memukul-mukul daging yang akan dibuatnya rendang nanti sore. 

Tanpa sepengetahuannya, Pak Bram memperhatikan Minah dari ruang tengah. Sejak berjabattangan dulu, Pak Bram sudah menaruh simpati pada Minah. Waktu berduaan di rumah seperti inilah yang ditunggu-tunggu Pak Bram. 

Segera dipanggilnya Minah :”Minah tolong buatkan teh panas gak pake gula” 
“Ya pak” Minah dengan cekatan membuat teh panas tawar dan mengantarkannya ke ruang tengah. 
“Silahkan pak” kata Minah sopan sambil membungkuk. 
“Makasih Minah” 
“Eh sini sebentar Minah” seru Pak Bram begitu melihat Minah buru-buru mau berlalu. Minah membalikkan badannya. 
“Duduklah di sini” tangan Pak Bram menunjuk sebelah sofa yang didudukinya. 
“Tapi pak ....” 
“Sudahlah ayolah duduk di sini tidak apa-apa”, kali ini Pak Bram bangkit dari sofa dan memegang bahu Minah menuntunnya untuk duduk di dekatnya. 
“Nah begini kan lebih baik” kata Pak Bram begitu Minah sudah duduk di dekatnya. 
“Bagaimana ...... emm kamu kerasan kerja di sini?” 
“Iya pak saya kerasan kerja di sini” Minah menjawab dengan kepala menunduk untuk menutupi detak jantungnya yang berdegub-degub. Disembunyikannya dadanya agar tak terlihat gejolak hatinya yang memburu. 

“Kata Tito kamu pernah menikah, benar begitu Minah?” bertanya begitu sambil tangan Pak Bram memegang tangan Minah. 
“Iya memang benar pak” tangan Minah terasa bergetar. 
“Kamu takut? Ndak usah takut. Aku tak akan menerkammu. Kamu tahu kenapa aku ndak ngantar ibu?” 
Minah menggelengkan kepalanya. 
“Badanku rasanya sakit-sakit, tolong Minah .... kamu bisa pijiti kan?” Pak Bram mengharap anggukan Minah. 
“Hmm ..... tapi pak” Minah sebenarnya juga menunggu saat seperti ini, saat bisa berduaan dengan majikannya yang telah disukainya dalam hati. 

Pak Bram bangkit dari duduknya, digandengnya Minah memasuki kamarnya. Setelah mengunci kamar, Pak Bram mengganti celana panjangnya dengan sarung dan kaus singlet siap dipijit. Kebetulan Minah juga ahli memijit, jadi tak heran bila Pak Bram merasakan enaknya dipijit Minah. 

Pada saat Pak Bram membalikkan badan agar dipijil badan bagian depan, matanya tak lepas dari memandangi Minah. Minah hanya tersipu malu tapi tetap memijit. Sekarang Minah memijit tangat kirinya, tiba-tiba saja tangan kanan Pak Bram meraih Minah ke pelukannya. Minah tak meronta. Saat seperti inilah yang diinginkannya sebenarnya. 
Sekujur tubuhnya seolah meminta kehangatan dari pria segagah Pak Bram. 

Gelora keduanya sama, maka terjadilah yang tak seharusnya terjadi. Perselingkuhan antara majikan dan asisten rumah tangganya. 
Mereka melakukan di saat keadaan memungkinkan. Keduanya sama-sama bergairah melakukannya., maka tak heran bila keduanya pun ketagihan. 

Kemudian sesuatu terjadi. Tak ada yang mengetahui, sampai suatu ketika didengarnya Minah muntah-muntah di washtafel. Tanpa Minah sadari beberapa pasang mata memperhatikannya, namun tak timbul kecurigaan di antara mereka. Mereka hanya mengira Minah kurang sehat karena pekerjaan belanja dan di dapur yang melelahkan. Hanya Pak Bram dan Minahlah yang cemas. 

Sorenya Pak Bram membawakan Minah sebuah testpack. Pagi harinya Minah membuka kemasan testpack tersebut dan meletakkannya pada sebuah wadah kecil yang berisi urine-nya. Harap-harap cemas. Hatinya deg-degan tak menentu. Lalu tak sadar Minah berteriak saat melihat ada dua garis di testpack tersebut. Itu menandakan dirinya positif hamil. Bingung bercampur takut menyelimuti hatinya. 

Segera diberitahukannya hal ini pada Pak Bram, tentu saja pada saat tak ada siapapun yang melihat. Wajah Pak Bram tetap tenang, mungkin karena pendidikan kemiliteranlah yang membuatnya berlaku demikian. 

 “Bagaimana kalo kamu pulang kampung saja, Minah” Minah hanya bisa sesenggukan menahan tangis. Tak mengira bila kejadiannya sampai sedemikian pelik. Entah apa yang akan dikatakannya pada ibunya, juga pada Bu Soraya yang begitu baiknya. 
Minah merasa sangat bersalah pada mereka berdua. Pak Bram berjanji akan menikahinya di desa. 

Sebenarnya Pak Bram belum mempunyai anak kandung, Bonita adalah anak angkat yang diambilnya dari panti asuhan. Bonita sedang melanjutkan kuliah di UGM. 

Namun pada akhirnya berita kehamilan Minah sampai ke telinga Bu Soraya juga. Bu Soraya marah besar. Dimaki-makinya Minah, kemarahannya tak terkira apalagi mengetahui bahwa yang menghamili Minah adalah suaminya sendiri. Saat itu juga Minah diusirnya keluar rumah begitu saja. 
Minah terpaksa meminjam uang dari Tito untuk pulang ke desanya. Tito yang kasihan mengantar Minah sampai ke terminal. 

Sore hari, Bu Soraya sudah menunggu suaminya di dekat pintu masuk, tentu saja dengan muka yang geram. Begitu dilihatnya suaminya pulang langsung dihampirinya, kemarahannya tumpah ruah. 

“Kenapa papi tega berbuat kayak binatang seperti ini? Dia itu cuma pembantu pi. Mestinya papi tahu. Kenapa sih pi? Kamu tega banget sama mami yang tak bisa punya anak ini. Mami memang mandul pi ndak bisa kasih papi anak, tapi kenapa papi tega .....? Kemarahan Bu Soraya berapi-api. 

“Ma .. af ...kan papi .... maafkan papi mi ....... “ Pak Bram memeluk istrinya untuk meredakan kemarahannya. Pak Bram memeluk istrinya sambil berlinangan airmata, antara kasihan dan merasa bersalah. Dipeluk begitu kemarahan istrinya luruh, berganti tangis yang keras seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangannya. 

Minah masih belum bisa diajak bicara. Bu Nando memapah anaknya masuk ke dalam rumah langsung menuju kamarnya. Bu Nando membawa masuk segelas teh panas beserta pisang goreng yang digorengnya tadi pagi. Dibiarkannya Minah sendirian. Bu Nando ke dapur memasak sebentar. 

Malamnya ketika dilihatnya Minah sudah bisa diajak bicara, kembali ditanyakannya pertanyaan tadi siang :”Siapa yang menghamilimu nak? Ibu tidak marah, tapi tolong katakan siapa laki-laki itu nak?” Minah tersadar dari kebingungannya, air matanya menetes deras ke pipinya. 

“Pak Bram ....... “ Minah menjawab lirih hampir tak terdengar. Namun bagi Bu Nando, berita itu bagai sambara petir di siang hari. 

“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Mengapa kamu mau diperlakukan semena-mena seperti itu sama Pak Bram?. Oalah nduk nduk, kenapa akhirnya malah jadi seperti ini?” Minah hanya membisu. Rasa bersalah itu jelas kentara di wajahnya. Makian Bu Soraya tadi pagi masih jelas di telinganya. Belum sempat dia meminta maaf pada Bu Soraya, sudah diusirnya keluar rumah tanpa membawa apa pun. Rasa sedih dan nelangsa menghinggapi dirinya. 

“Entah bagaimana nasibku nanti. Jelas Bu soraya tidak mau memperkerjakan aku lagi. Lalu bagaimana aku menghidupi anakku kelak? Bagaimana dengan persalinanku? Di mana? Aku merasa malu bila harus melahirkan di sini tanpa suami. Pak Bram yang tunduk pada istrinya, mana mungkin akan memenuhi janji untuk menikahiku?” Minah hanya membatin. Tak tega dia membagi beban pada ibunya yang tak tahu-menahu tentang hal ini. Rasanya kepulangannya hanya untuk menambah beban ibunya saja, beban mental, beban malu sekaligus beban ekonomi. 

“Ini adalah rasa yang salah, sangat salah. Bagaimana mungkin aku membiarkan perasaanku liar mencintai majikanku sendiri?” batin Minah tak habis-habis. Hari demi hari Minah hanya berdiam diri di rumah saja. Dia merasa malu kalau harus keluar rumah, perutnya sudah makin membesar saja. Hal yang bisa dilakukan hanyalah membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Hari Minggu pagi yang cerah, Bu Nando terburu-buru masuk rumah memberitahu Minah kalau ada sebuah mobil sedan bagus memasuki halaman rumahnya. Diberitahu begitu, Minah malah ketakutan, takut kalau Bu Soraya yang datang dan jadi menuntutnya ke pengadilan seperti makinya dulu itu. Minah berusaha membesarkan hatinya, jikalau dia memang dituntut dan dihukum rajam sekali pun, Minah bersedia. Dia ingin menebus dosanya terutama terhadap Bu Soraya dan ibunya. 

Tapi ternyata yang datang adalah Pak Bram ditemani Tito. Pak Bram mengutarakan maksud kedatangannya kepada Bu Nando bahwa dia ingin menikahi Minah secara siri. Seketika kelegaan nampak di wajah Bu Nando dan Minah, tentu saja. Bu Nando menarik nafas panjang seolah sudah terlepas segala beban hidupnya. 

Acara pernikahan siri dilakukan di rumah Minah secara sederhana dengan dihadiri kerabat dekat Minah dan para tetangga dekat. Pak Bram yang seorang PNS tentu tidak bisa sembarangan untuk menikah yang kedua kalinya. Untuk itulah dilakukan pernikahan siri ini. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk tanggungjawab Pak Bram terhadap Minah. 

Pernikahan inipun belum diketahui Bu Soraya. Entah apakah pernikahan siri ini akan diberitahukan kepada Bu Soraya ataupun tidak. Entah bagaimana nanti saja. Semua akan mengalir dengan berjalannya waktu.

Tuesday, June 3, 2014

Sebuah Keputusan


Sebuah Keputusan

Asti menunduk lesu, tak berani mendongakkan wajah menatap bapaknya. Kedua tangannya memainkan ujung bajunya, melipat dan meluruskan, melipat dan meluruskan lagi. Sementara Pak Burhan menatap lekat-lekat ke arah Asti seolah ingin menerkamnya bulat-bulat.

“Kenapa tak bilang dari dulu-dulu kalau kamu punya anak gadis secantik ini?” Itu kalimat yang didengar Asti pertama kali dari Pak Burhan. Matanya tak sedetik pun beralih ke tempat lain, selain hanya sibuk memandangi Asti.
Pak Burhan memandang dari kepala sampai ke kaki seolah menelanjangi tubuh Asti.

Asti tidak tahu tentang isi pembicaraan antara bapaknya dengan Pak Burhan tadi sebelum dirinya dipanggil masuk ke ruang tamu.
Dulu Asti hanya mendengar nama Pak Burhan saja, itupun dulu sewaktu masih kecil. Melihat langsung ya baru kali ini, di rumahnya pula. Yang Asti tahu Pak Burhan telah menikah dan dikaruniai dua anak, laki-laki dan perempuan. Umur anak-anak Pak Burhan tak beda jauh dengan dirinya.

Dipandangi begitu Asti merasa jengah. Ingin rasanya Asti segera keluar dari ruangan yang menyesakkan ini, pergi ke Yogya menemui Aryo, kekasihnya.
Sementara bapaknya hanya tertawa-tawa mendengar penuturan kagum dari Pak Burhan. Betapa bangganya Pak Kasmo mendengar hamburan pujian orang lain terhadap anak perempuannaya. Apalagi pujian itu diucapkan oleh Pak Burhan, orang terkaya di desanya.

Pak Burhan berperawakan tinggi besar dengan kumis tebal bertengger di atas bibirnya. Kulitnya sawo matang, rambutnya cepak. Meskipun umurnya sudah genap enam puluh tahun, namun masih tampak gagah berwibawa.
Dulu Pak Burhan adalah lurah di desa Wisanggeni ini, maka pantas bila warga desa masih menghormatinya. Begitupun Pak Kasmo sangat menghormati Pak Burhan.

Sudah sepuluh tahun Pak Burhan meninggalkan desanya untuk mengadu nasib di kota propinsi, Semarang. Sebuah rumah makan ayam goreng terkenal telah berhasil dikelolanya. Oleh karena itulah maka pantas bila Pak Burhan jarang pulang kampung. Sampai-sampai tidak tahu bahwa Pak Kasmo sahabatnya mempunyai anak gadis yang cantik. Maklumlah Asti termasuk kembang desa di Desa Wisanggeni ini.

Asti nampak semakin mengkerut di kursinya, kentara sekali bahwa dia dilanda keresahan. Berkali-kali Asti memperbaiki letak duduknya yang tak nyaman.
Duduk dengan hanya menekuri lantai di sekitar kakinya membuatnya jengah. Asti bangkit berdiri hendak keluar ruangan, namun bapak mencegahnya: “Mau ke mana kamu? Temani dulu Pak Burhan. Beliau kan ingin mengenal kamu lebih dekat”
Asti kembali duduk di kursi kayu, sekarang kedua tangannya bertumpu pada pegangan kursi di kanan dan kiri, namun matanya tetap menunduk. Kini bapaknyalah yang keluar, dihembuskannya asap rokok kuat-kuat.

“Okelah Pak Kasmo, aku pergi dulu ada janji dengan teman bisnis” begitu pamit Pak Burhan.
“Oh iya iya Pak Kasmo monggo silahkan. Sugeng tindak. Jangan sungkan-sungkan untuk mampir kembali”
“Aku pergi dulu ya Asti, besok kita ketemu lagi”
Asti hanya mendengus tanpa menatap Pak Burhan.
Rasa tak suka itu kentara benar, namun Pak Burhan mengacuhkannya. Dia pikir dengan iming-iming kekayaan maka semua bereslah.

Sepulang Pak Burhan, bapak kembali menegaskan pada Asti : “Kamu mau kan menjadi istri Pak Burhan? Dia orang kaya di desa ini dan cukup terpandang” Asti tak menjawab, hanya menunduk lesu. “Kamu bisa minta apa saja darinya. Kamu pasti sejahtera hidupmu nak”
Kali ini Asti menjawab lemah :”Aku tak mau pak”
“Apa kamu bilang? Tidak mau? Kamu ini kudidik untuk menjadi anak yang baik, bukannya melawan kehendak orangtua seperti ini”
“Tapi pak .....”
“Kamu bilang bahwa kamu sudah punya pacar, begitu? Aryo itu hanya pegawai rendahan, mana bisa dia mencukupi kebutuhan hidupmu? “.
Tapi kami saling mencintai pak” Asti berusaha menjelaskan maksudnya.
“Ah omong kosong sama yang namanya cinta. Memangnya kalo kamu lapar kamu cukup dengan makan cinta? Seperti itu? Dengar ya Asti, semakin lama harga-harga semakin mahal, itu namanya hidup semakin susah saja dari hari ke hari. Ini ada orang kaya yang mampu memenuhi semua keinginanmu malah kamu tolak”.
Asti tetap tak bergeming. Pendiriannya masih tetap sama, menolak perjodohan bapaknya.
Pak Kasmo menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Diminumnya kopi yang tak lagi panas.

Di luar rumah, ibunya tergopoh-gopoh pulang dari pasar. Segera diletakkannya keranjang belanjaannya, diambilnya bahan-bahan masakan untuk hari ini. Masaknya harus cepat karena hari sudah siang. Cucian terlalu banyak tadi, sehingga ke pasarnya agak siang.
“Asti sini bantu ibu memasak”, ibunya memanggil. Tak seperti biasanya, Asti kali ini nampak lesu tak bersemangat. Ibunya tak begitu hirau tentang hal ini. Yang terpenting masakan hari ini harus segera siap tersaji. Oseng kangkung dengan lauk tempe dan tahu goreng serta sambal terasi kesukaan suaminya. Tidak lupa krupuk bulat yang tadi dibelinya di pasar.

Asti mulai memetik kangkung tanpa kata, kemudian mencucinya di dekat sumur. Setelah itu Asti masuk ke dapur yang letaknya dekat dengan sumur. Dapur yang terbuat dari anyaman bambu ini terpisah dari rumah induk. Dengan cekatan diambilnya tempe-tempe yang berbungkus daun pisang, kemudian dilepasnya bungkusan-bungkusan tersebut.

Sementara ibunya sibuk membuat bumbu untuk tempe dan tahu goreng. Ketika mulai menggoreng, Bu Kasmo mulai melihat tanda-tanda yang tak biasa dari anaknya. Di matanya, Asti nampak pucat dan hanya diam seribu bahasa. Namun demikian tangannya tetap cekatan menggoreng tempe dan tahu lauk makan siang mereka.
Bu Kasmo mulai berpikir, “Apakah ini disebabkan karena kedatangan Pak Burhan? Apakah Pak Burhan sudah datang? “ begitu pikirnya.
Hal ini hanya dipikirkan saja, tak berani dia bertanya pada anaknya takut Asti mengurungkan niat membantunya memasak.

Seperiuk besar nasi, sayur oseng kangkung, lauk tahu dan tempe, krupuk bulat serta sepiring pisang ambon dan minuman telah tersaji rapi di meja makan. Saatnya makan siang untuk keluarga Pak Kasmo. Pak Kasmo, istrinya, Asti dan Didit yang baru pulang sekolah telah duduk dan siap untuk bersantap siang, ketika ada tamu datang.

Seorang perempuan terlihat di pintu masuk dengan membawa sesuatu yang entah apa.
Kulo nuwun ..... Bu Kasmo!” teriak perempuan itu.
Buru-buru Bu Kasmo keluar menemui tamunya:”Eh Yu Darsi ada apa kok tumben?”
“Ini bu ada titipan dari Pak Burhan” jawab Yu Darsi sambil menyerahkan bawaannya. Langsung tercium bau harum ayam goreng.
Satu dos besar berisi seekor ayam goreng lengkap dengan sambal dan lalap beralih ke tangan Bu Kasmo.

Setelah Bu Kasmo berucap terima kasih dan Yu Darsi pulang, segera dibukanya dos itu. Bau harum ayam goreng semakin membangkitkan selera makan mereka.
“Hore menu kali ini ayam goreng ya bu. Ibu bikin dong yang kayak gini. Tiap hari makan kayak gini juga boleh” Didit nampak kegirangan sambil mengambil nasi yang lebih banyak dari biasanya.
“Huss uang dari mana kalo tiap hari harus makan ayam?”, ibunya mendengus.
“Kan sebentar lagi anak kita jadi orang kaya bu, kok ibu lupa sih?” Pak Kasmo menimpali.
Bu Kasmo serba salah, mau menjawab apa tak ada ide di kepalanya. Di satu sisi dia setuju dengan suaminya, namun di sisi lain dia juga mengerti perasaan anaknya.
Sementara Asti nampak semakin murung saja, tak bersemangat untuk makan kali ini meski lauknya adalah ayam goreng kesukaannya.


Mereka jarang makan ayam goreng, maklumlah Pak Kasmo hanyalah buruh serabutan. Dia bekerja di kebun jeruk milik tetangga desanya. Menyiangi rumput-rumput liar, memanen jeruk, memberi pupuk, menyemai benih adalah bagian dari tugasnya. Terkadang dia juga membantu orang yang sedang membangun atau memperbaiki rumah. Pokoknya segala pekerjaan yang menghasilkan akan dikerjakannya, karena Pak Kasmo terkenal ringan tangan suka membantu.
Sementara istrinya selain mengurusi rumah tangga juga sesekali membantunya saat memanen jeruk.

Malam menjelang udara semilir tertiup angin, dilihatnya ayah dan ibunya sedang berbicara di teras rumah. Baru saja Asti akan masuk ke kamarnya, ketika ayahnya memanggil:”Asti ke sini sebentar nak”. Asti melangkah gontai mendekati orangtuanya.
“Bagaimana sudah kamu pikirkan maksud baik Pak Burhan?” ayahnya membuka percakapan.
“Kan Asti sudah bilang tadi pak. Keputusan Asti tetap sama” jawab Asti.
Kekecewaan mewarnai wajah Pak Kasmo.
“Kamu harus tahu Asti, bahwa bapak pernah meminjam uang sepuluh juta dari Pak Burhan. Dan, bapak belum bisa mengembalikannya sampai saat ini. Bila kamu mau menikah dengan Pak Burhan, bukan hanya hutang saja yang dilunasi tetapi juga bapak akan diberi modal”, suata Pak Kasmo memelan.
Asti baru tahu duduk persoalannya. Dia mengerti tetapi hatinya telah tertambat pada Aryo semata.
 “Tapi Asti tidak bisa menerima Pak Burhan. Maafkan Asti pak, bu ....”
Tak ada keputusan yang bisa diambil oleh ayahnya. Ibunya pun tak turut urun rembug, hanya diam dalam kebingungan.

Malam kian larut, Asti sulit memejamkan mata. Teringat pada janji manis Aryo, membuat keputusannya bulat untuk meninggalkan desanya dan pergi menyusul Aryo ke Yogyakarta. Asti berniat mencari pekerjaan di sana.
Sudah saatnya dia bisa menghasilkan uang sendiri, toh sebagai lulusan SMK jurusan busana dia memiliki keahlian yang mumpuni. Namun di sisi lain Asti juga bingung ketika harus meninggalkan kedua orangtuanya dan adiknya. Mereka telah terbiasa hidup bersama. Tapi untuk maju bukankah dibutuhkan pengorbanan. Toh semua ini dilakukan demi mereka juga.

Asti berjanji akan membantu keuangan orangtuanya bila sduah berpenghasilan nanti. Keputusan bulat telah diambilnya tadi malam. Asti bangun pagi-pagi benar sebelum semua penghuni rumah bangun. Diambilnya travelling bag yang terbuat dari kain batik perca yang disambung-sambung. Dimasukkannya beberapa pakaian dan segala perlengkapan pribadi lainnya. Semua sudah siap, kini saatnya mandi.

Pikirannya terus berputar, bagaimana dia akan tinggal di Yogya nanti. Ingatannya langsung mengarah pada seorang temannya yang sudah terlebih dulu diterima kerja di Yogya. Ya, dia akan menghubungi Nani, temannya itu. Barangkali Nani bisa menunjukkan peluang kerja untuknya.

Asti tidak mempunyai handphone, makanya dia tidak bisa memberitahu Aryo saat ini. Tetapi soal alamat kos dan tempat kerjanya Asti sudah mencatatnya. Ibunya yang baru saja bangun terlihat bingung menatap anaknya. “Mau ke mana As sudah rapi begitu?”
Bukannya menjawab pertanyaan, tapi Asti malah menghambur ke pelukan ibunya sambil berbisik:”Asti akan ke Yogya bu menyusul Mas Aryo dan cari pekerjaan di sana ..... “
“Apa bapakmu sudah tahu?” tanya ibunya pelan juga.
“Belum bu” sahut Asti.

Bersamaan dengan itu bapak dan Didit bangun juga dan terheran-heran melihat ibu dan anak berpelukan sambil menangis. ‘Ada apa?” ayah dan Didit bertanya berbarengan.
“Ini Asti mau ke Yogya katanya.......” kalimat ibu menggantung, mau diteruskan tapi tidak jadi.
Asti langsung bersujud di kaki ayahnya sambil berkata mengiba :”Pak Asti minta maaf, Asti tidak bisa menikah dengan Pak Burhan apalagi menjadi istri kedua. Pak, Asti minta maaf. Maafkan Asti ya pak .....”

Pak Kasmo tidak bisa berkata apa-apa. Keputusan anaknya telah diambil. Bukankah seorang ayah hanya bisa tut wuri handayani? Apapun kemauan anak asal itu baik, orangtua sebaiknya mendorong dan memotivasi dari belakang. Itu yang kini akan dilakukan Pak Kasmo. Memaksa anak adalah tindakan yang kurang baik, apalagi bila itu hanya untuk kepentingan orangtua.

Setelah sarapan, ibu mengantar Asti sampai ke jalan desa. Distopnya angkuta desa yang akan menuju ke terminal di kota. Asti memeluk ibunya erat sambil menangis, demikian pula Bu Kasmo melakukan hal yang sama. Ini adalah perpisahan pertama yang mereka lakukan. Di dalam angkuta terlihat Asti melambai-lambaikan tangannya. Ibunya menunggu sampai angkuta belok ke kiri dan tak terlihat lagi, tertutup oleh rimbunnya pepohonan.

Di Yogya Asti segera menghubungi Nani temannya. Beruntunglah bahwa Nani masih berada di kos, belum berangkat kerja. Asti diperbolehkan beristirahat dan menunggu di kos sampai Nani pulang sore harinya. Nani segera mengirim pesan singkat ke Aryo. Nani adalah juga teman Aryo sedesa, jadi Nani memiliki nomor handphone Aryo. Aryo yang mengetahui Asti, kekasihnya berada di kotanya sangat girang.

Pagi sebelum berangkat kerja Aryo menyempatkan diri mampir ke kos Nani. Mereka berbincang sebentar baru kemudian Aryo dan Nani pergi bekerja. Ternyata di tempat Nani bekerja ada lowongan pekerjaan, sehingga Asti yang cerdas dapat diterima langsung di perusahaan tempat Nani bekerja. Dan, Asti pun tinggal bersebelahan dengan kos Nani. Mereka berangkat dan pulang kerja bersama-sama.

Aryo yang tadinya bekerja di perusahaan sablon keluar dari pekerjaannya dan memulai usaha sablon sendiri. Kini Aryo mengontrak sebuah rumah sederhana namun luas untuk usaha sablonnya. Aryo yang memang berbakat wirausaha, sangat jeli melihat pangsa pasar. Musim kampanye dan tahun ajaran baru lumayan mendongkrak penghasilannya.

Atas kebaikan hati Aryo, Asti mendapat pinjaman lunak dari bank untuk melunasi hutang orangtua Asti ke Pak Burhan. Pak Kasmo terharu dan merasa sangat bersalah telah bermaksud menjodohkan anaknya dengan Pak Burhan yang sudah beristri.
Pak Kasmo juga terbuka mata hatinya terhadap Aryo, yang meskipun masih muda tetapi dapat diandalkan.

Setiap bulan Asti juga mengirim uang untuk ibunya di desa.

Hubungan Asti dengan Aryo semakin lengket saja. Nampaknya Aryolah jodoh yang diberikan Tuhan untuknya. Mereka bersama-sama menata dan merencanakan hidup berkeluarga. Asti memegang tangan Aryo, sementara Aryo memeluk Asti dengan mesra. Pasir di Pantai Parangtritis menjadi saksinya. Bulan tersenyum menyembul di antara awan gemawan.

Cerpen yang lain : Kucing Yang Baik Hati

Monday, June 2, 2014

Selamat Ulang Tahun Anakku

Selamat Ulang Tahun Anakku


25 Mei 1999 pukul dua dini hari tangismu memecah keheningan malam 
Segala rasa sakit karena melahirkanmu sirna sudah berganti bahagia 
Meski kau menangis namun dunia tersenyum menyambut kehadiranmu 
Kamu adalah pelengkap sempurnanya aku sebagai istri dan perempuan 

 Dan kini, lima belas tahun sudah berlalu sejak saat itu 
Kamu tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar 
Memang kenyataan tak selalu seperti yang kau harap 
Bertahanlah dan kuatkan hatimu hadapi semua 

Gelap akan berganti terang, malam akan berganti siang 
Bersabarlah anakku bila kenyataan belum seindah anganmu 
Jalan kehidupan memang tak selalu mulus untuk dilalui
Tetaplah rajin belajar dan berdoa agar tercapai cita-citamu 

Ya Tuhan, 
Mohon dampingi anakku menuju kesuksesan hidup 
Mohon jauhkanlah anakku dari pengaruh buruk dan sesat 
Hanya kepada-Mu aku berharap demi kebaikan anakku 

Selamat ulang tahun anakku, ini yang ke-lima belas 
Semakin dewasalah kamu nak dalam berpikir dan bertindak 
Doaku selalu menyertaimu dalam langkah-langkah kecilmu 
Semoga tercapai segala yang kau dambakan dan inginkan 

Selamat ulang tahun buat anakku Adinda Kinanthi 
25 Mei 2014

Sunday, June 1, 2014

Fatamorgana

Fatamorgana

Masihkah kau berupa fatamorgana .......... 
yang melayang-layang di antara awan gemawan? 
Turunlah ke sini menginjakkan kaki di bumi ini 
Di depanku memelukku dan menciumku 

Masihkah kau janjikan itu untukku .......... 
Menemuiku di antara riak-riak kegelisahanku? 
Di sini aku menunggumu dalam kehampaan hati 
Penuhilah relung-relung hatiku ini oleh cintamu 

Betapa telah lama aku berharap hanya denganmu 
Memandangi wajahmu dan tidur di pangkuanmu 
Tidakkah kau dengar suara hatiku ini, kekasih? 
Tak kuasa lagi kutanggung segala rindu ini padamu

Perhatian Seorang Papa

Perhatian Seorang PAPA

Membaca status di facebook yang aku bagikan di bawah ini mengingatkanku pada hari ultah anakku yang jatuh pada tanggal 25 Mei 2014 tepat di Hari Minggu.  Itu merupakan ultahnya yang ke-lima belas, sudah remaja. Tak ada perayaan apapun. Papanya berada di Jakarta dan kami berdua tinggal di Solo. Meskipun kami sudah bercerai, namun di hari ultah anak seharusnya dia paling tidak mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi sekedar ucapan pun tak ada, apalagi kedatangannya ataupun hadiahnya. Aku sungguh prihatin dengan hal ini, juga kasihan pada anakku. 

Sebagai seorang remaja puteri tentu perhatian dari ayahnya sangat dibutuhkan. Meski tak teucapkan tetapi aku paham bahwa dia membutuhkan figur seorang ayah. Dulu sewaktu masih kecil bila ada tamu pria, maka dia akan bertindak caper (cari perhatian). Maklumlah papanya bertugas di luar kota bahkan luar pulau, jadi kehadirannya di rumah sangat jarang. Namun sekarang, aku sangat menjaga diriku dari fitnah bila ada teman pria yang datang ke rumah. Untuk itu sebisa mungkin aku batasi kedatangan tamu pria.

Kembali ke masalah ultah tadi. Alasannya kenapa papanya tidak menelpon adalah karena HP anakku tidak bisa dihubungi, maklumlah kehabisan pulsa langganan. Dia, papanya tak sudi bila harus menelpon lewat HP-ku. Ya sudahlah, sebuah alasan yang tak masuk di akal sehat. 

Beruntunglah bahwa di hari ultahnya ada seorang yang baik hati mengucapkan bahkan menyanyikan "Happy Birthday" lewat HP ke anakku. Anakku sampai tertawa-tawa mendengar temanku menyanyikan lagu ultah. Temanku yang dipanggil oom oleh anakku  ini tinggal di Jakarta juga, cukup sering menelpon anakku. Aku dan anakku berucap terima kasih padanya.

Status facebook tersebut adalah sebagai berikut:

SAYA INGIN BELI WAKTU PAPA

Steven adalah seorang karyawan perusahaan yang cukup terkenal di Jakarta, memiliki dua putra. Putra pertama baru berusia 6 tahun bernama Leo dan putra kedua berusia dua tahun bernama Kristian. Seperti biasa jam 21.00 Steven sampai di rumahnya di salah satu sudut Jakarta, setelah seharian penuh bekerja di kantornya. Dalam keremangan lampu halaman rumahnya dia melihat Leo putra pertamanya di temani Bik Yati, pembantunya menyambut digerbang rumah.

“Kok belum tidur Leo?” sapa Steven sambil mencium anaknya. Biasanya Leo sudah tidur ketika Steven pulang dari kantor dan baru bangun menjelang Steven berangkat ke kantor keesokan harinya.
“Leo menunggu papa pulang, Leo mau tanya, gaji papa itu berapa sih Pa?” kata Leo sambil membuntuti papanya.
“Ada apa nih,kok tanya gaji papa segala?”
“Leo cuma pingin tahu aja kok pah?”
“Baiklah coba Leo hitung sendiri ya. Kerja papa sehari di gaji Rp.600.000,-, nah selama sebulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Nah berapa gaji papa sebulan?”
“Sehari papa kerja berapa jam Pa?”
“Sehari papa kerja 10 jam Leo, nah hitung sana, Papa mau melepas sepatu dulu.”

Leo berlari ke meja belajarnya dan sibuk mencoret-coret dalam kertanya menghitung gaji papanya. Sementara Steven melepas sepatu dan meminum teh hangat buatan istri tercintanya.
“Kalau begitu,satu bulan Papa di gaji Rp.15.000.000,-,yah Pa? Dan satu jam papa di gaji Rp.60.000,-.” Kata Leo setelah mencoret-coret sebentar dalam kertasnya sambil membuntuti Steven yang beranjak menuju kamarnya.

“Nah, pinter kamu Leo. Sekarang Leo cuci kaki lalu bobok.” Perintah Steven,namun Leo masih saja membuntuti Steven sambil terus memandang papanya yang berganti pakaian.
“Pah, boleh tidak Leo pinjam uang Papa Rp.5.000,- saja?” tanya Leo dengan hati-hati sambil menundukkan kepalanya.
“Sudahlah Leo,nggak usah macam-macam, untuk apa minta uang malam-malam begini. Kalau mau uang besok aja, Papa kan capek mau mandi dulu. Sekarang Leo tidur supaya besuk tidak terlambat ke sekolah!”
“Tapi Pah…”
“Leooo!!! Papa bilang tidur!” bentak Steven mengejutkan Leo.

Segera Leo beranjak menuju kamarnya. Setelah mandi Steven menengok kamar anaknya dan menjumpai Leo belum tidur. Leo sedang terisak pelan sambil memegangi sejumlah uang. Steven nampak menyesal dengan bentakannya. Dipegangnyalah kepala Leo pelan dan berkata: “Maafkan Papa ya nak. Papa sayang sekali pada Leo.” ditatapnya Leo anaknya dengan penuh kasih sambil ikut berbaring di sampingnya.

“Nah katakan pada Papa,untuk apa sih perlu uang malam-malam begini. Besok kan bisa, jangankan Rp.5.000,- lebih banyak dari itupun akan papa kasih.”
“Leo nggak minta uang Papa kok, Leo cuma mau pinjam. Nanti akan Leo kembalikan, kalu Leo udah menabung lagi dari uang jajan Leo.”
“Iya, tapi untuk apa Leo?” tanya Steven dengan lembut.
“Leo udah menunggu papa dari sore tadi, Leo nggak mau tidur sebelum ketemu Papa. Leo pingin ngajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang bahwa waktu papa berharga. Jadi Leo ingin beli waktu Papa.”

“Lalu.” tanya Steven penuh perhatian dan kelihatan belum mengerti.
“Tadi Leo membuka tabungan, ada Rp. 25.000,-. Tapi karena Papa bilang satu jam papa dibayar Rp.60.000,- maka untuk setengah jam berarti Rp. 30.000,-. Uang tabungan Leo kurang Rp. 5.000,-. Maka Leo ingin pinjam pada Papa. Leo ingin membeli waktu papa setengah jam saja, untuk menemani Leo main ular tangga. Leo rindu pada papa.” Kata Leo polos dengan masih menyisahkan isakannya yang tertahan.

Steven terdiam, dan kehilangan kata-kata. Bocah kecil itu dipeluknya erat-erat, bocah kecil yang menyadarkan bahwa cinta bukan hanya sekedar ungkapan kata-kata belaka, namun berupa ungkapan perhatian dan kepedulian.

Menurut cerita di atas si anak ingin ditemani main ular tangga tiga puluh menit saja karena selama ini ayahnya tidak ada waktu untuk anaknya. Untuk itu si anak ingin membeli waktu ayahnya yang tiga puluh menit itu. Ini tentang kehadiran.  

Bagaimana dengan masalah telpon? Apakah sebelum ultah anakku harus kirim pulsa dulu ke papanya agar saat anakku ultah papanya bisa menelpon? Lalu di mana letak perhatian seorang PAPA?


Inspirasi dari sini.