Thursday, March 27, 2014

Jodoh Bertingkat-tingkat


Jodoh Bertingkat-tingkat


"Jadi adik iparku aja gimana, mau?" itu kata Ndari tetanggaku di saat aku bertandang ke rumahnya. Heri suaminya menimpali: 
"He'e" sambil senyum-senyum melirik istrinya. 
Aku mengenal Ndari sewaktu ada pertemuan di perkumpulan RW, sementara Heri sering aku lihat karena sering main ke rumah Pak Saman si pemilik rumah ini. Meskipun begitu aku baru berbicara dengan Heri sehari sebelumnya, karena dia mengajakku untuk mendatangi sebuah acara.

Nampaknya mereka tidak main-main.  Ditambah lagi Jeki, asisten Pak Saman yang ikut-ikutan berkomentar dan berpromosi: 
"Dia kaya lho mbak rumah warisannya udah ditawar 1,5 M dibagi lima orang. Mau aja mbak. Dia duda, anak-anaknya di Jakarta tapi dia kerja di sini". Aku cuma cengengesan. Emang kekayaan bisa membuatku jatuh cinta?

Aku baru mau menjemput Dinda dari tempat les, ketika kulihat Heri duduk-duduk ngobrol dengan Pak Saman di depan rumah. Aku ketawa aja melihatnya. 
"Mau ke mana?" tanya Heri
"Mau yang-yangan ha ha ha .... ya Pak Saman?" aku menggodanya. 
Heri langsung mendekatiku sepertinya mau bicara rahasia, aku mengelak:
" Emoh moh!" 
Aku tahu apa yang mau dibicarakannya, pastilah mau mengajakku kenalan dengan Rudi, adiknya.
Sepulang dari menjemput Dinda, kudapati kali ini Ndari, istri Heri yang sedang duduk-duduk ngobrol dengan Pak Saman di ruang tamu rumahnya.
Jeki menyusulku masuk rumah :
"Mbak ke rumah Ndari sebentar yok, ada yang penting pokoknya penting"
"Gaklah mbak, mau apa?
Belum lagi Jeki menjawab, Ndari sudah ada di ambang pintu:
" Ayolah mbak ke rumahku sebentar aja" sambil matanya berkedip-kedip. 
Melihat kesungguhan mereka bertiga, hatiku luluh juga. Okelah, toh hanya berkenalan. Apa salahnya? Meski sebenarnya hatiku tak terima dan tak bisa menerima. Aku belum melihatnya yang katanya ganteng itu, aku baru mendengar tentang pekerjaannya dan gajinya. Itu sudah cukup bagi hatiku untuk menolak. Tapi demi menghormati mereka, aku jalan juga ke rumah Ndari-Heri.

Aku memasuki sebuah rumah kuno berbentuk limasan yang kelihatannya sudah direnovasi pada bagian atapnya dan bagian lainnya. Rumah ini sangat besar dan mobil bisa masuk, pantaslah bila harganya mencapai 1,5 M.

Aku benar-benar dikenalkan dengan Rudi, adik mereka. Bagiku tak ada yang istimewa. Mereka berpromosi tentang Rudi, padahal orangnya ada di sebelahku, bukan persis di sebelahku lho. Jeki terang-terangan bilang:
"Mbak minta nomor HP-nya. Yang satu duda yang satu janda kan cocok. Udah mau aja mbak".
"Dari biasa kan bisa menjadi cinta", Heri menimpali.
"Ini orangnya rajin bekerja dan mau disuruh apa aja", Ndari menambahi.
Wah wah yang menilai itu kan hatiku, apalagi ketika Rudi bilang:
"Aku itu mencari wanita yang bisa ngertiin aku, tidak yang neko-neko, yang bisa terima apa adanya", rasanya nilainya semakin jatuh saja di mata hatiku.

Akhirnya kami berempat pergi ke wedangan terdekat di pinggir jalan besar dengan berjalan kaki. Mereka membiarkan kami duduk di tikar berdua, sementara mereka duduk di bangku panjang depan hik. Nampaknya Rudi benar-benar tertarik padaku. Hal ini terlihat ketika dia mencondongkan badannya ke dekat badanku, berbicara dekat sekali dengan telingaku.

Dia mulai bercerita tentang perkawinannya yang kandas, tentang anak-anaknya dan tentang pekerjaannya. Dia sekarang pegang bus Nusa, bus yang sering ditumpangi Dinda sepulang sekolah. Sekarang Dinda jarang naik bus karena akulah yang mengantar dan menjemputnya, baik ke sekolah maupun ke tempat lesnya.

Dia mengharapkan wanita yang akan menjadi istrinya kelak bisa mengatur ekonomi keluarga, tidak meminta yang muluk-muluk, yang terpenting adalah bisa "nrimo". Aku tak menanggapi perkataannya, aku hanya diam dan berpikir:
"Selama ini aku sudah sangat nrimo diperlakukan sembarangan oleh mantanku dulu dan sampai kini. Lantas bila aku masih disuruh nrimo lagi bagi pasangan berikutnya, sampai kapan aku prihatin? Aku butuh mengubah nasibku, bukan seperti ini yang sabar dan nrimo terus".
Tapi tentu saja aku tak mengatakannya secara terus terang. Dari semula, dari sebelum aku melihatnya langsung, aku sudah tidak tertarik. 

Dia juga sempat bertanya tentang pekerjaanku, justru itulah kalimat awal yang keluar dari mulutnya ketika pertama kali bertemu di rumahnya. Tentu saja setelah saling menyebutkan nama masing-masing. Mendengarnya aku "agak berpikir". Nyatanya tadi dia juga mengusulkan agar aku buka warung atau menjahit saja.
"Hmm ...", aku pikir betapa sederhananya cara berpikirnya.
"Tidak bisa menjahit?" tanyanya.
"Dulu aku punya beberapa penjahit tapi usahanya sekarang udah bangkrut", aku buru-buru menjelaskan.

Kenyataan ini membuatku agak shock. Mukaku seperti ditampar agar aku serius dalam mencapai keinginanku, meningkatkan kualitas diriku.
Aku ingat kata-kata Pak Mario Teguh : 
"Jodoh itu banyak dan bertingkat-tingkat. Maksudnya adalah wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan wanita dengan kelas yang lebih tinggi akan mendapatkan laki-laki dengan kelas yang lebih tinggi pula. Sekarang pertanyaannya adalah di mana Anda tumbuh dan di mana Anda akan berhenti tumbuh?? Apakah Anda puas dengan kondisi sekarang atau Anda masih ingin meningkatkan diri??                   
Karena jodoh itu bertingkat-tingkat dan banyak, tentu saja yang seharusnya kita lakukan adalah meningkatkan kualitas diri. Jadi bukan menuntut orang di kelas bawah dimarahi karena dia tidak bisa di kelas tinggi tetapi kita harus meningkatkan diri untuk bisa menjadi kelas yang lebih tinggi dengan menganggunkan diri sendiri. Jika kita bisa analogikan, seorang ratu tidak mungkin akan dinikahkan dengan seorang yang pemalas, penunda, dan juga sombong karena kelasnya sudah berbeda.
   Jodoh itu bukan satu tapi banyak hanya saja yang boleh dipilih hanya satu tidak boleh diambil semuanya akan tetapi ambillah sesuai dengan impian Anda. Jika Anda ingin memiliki jodoh yang mulia, yang harus kita lakukan tentu saja memuliakan diri kita dahulu agar bisa terlihat pantas dihadapannya".

Aku harus lebih serius dan fokus lagi dalam mewujudkan segala keinginanku. Sebagai ibu rumah tangga, maka waktu terasa kurang. Bayangkan aku harus bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk Dinda, mengantar jemput ke dan dari sekolah dan tempat les, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, ngeblog, ngurusi kedua toko online-ku, dsb. 

Sehat Ala Boyke 



2 comments:

tantiamelia.com said...

aduuh aku jadi ga rela mendengarnya mbak,

mentang2 janda lantas MAU AJA gitu nerima siapapun? IIhh.... ya mending buat membesarkan anak2 aja deh waktunya,

satu saat pasti ada yang sreg ya mbak, ga usah maksain harus sekarang :)

sabar yaa

Unknown said...

mksh ya mbak atas kepeduliannya