Rose is love

Mawar identik dengan cinta karena mawar bisa mengungkapkan betapa indahnya cinta, betapa romantisnya cinta.

Wanita

Wanita ibarat kelembutan yang rapuh, namun wanita memiliki kekuatan yang dasyat tak terkira.

Solo

Solo atau Surakarta merupakan kota eks karesidenan di Jawa Tengah. Solo adalah kota yang sangat berkembang tak kalah bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia.

Embun Pagi

Embun menetes tiap pagi hari, menyentuh dedaunan, bunga-bunga, dan segala permukaan di bumi. Embun sungguh menyejukkan hati kita, membeningkan pikiran kita.

Kucing

Kucing adalah hewan yang paling menyenangkan. Tingkah polahnya yang lucu bisa menghalau galau dan menggantikannya dengan senyum bahkan tawa.

Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Wednesday, June 4, 2014

Rasa Yang Salah

Rasa Yang Salah

Langit cerah siang ini, tetapi bagi Minah langit terasa mendung kelabu. Perjalanan panjang telah dilalui sejak semalam dari kota hingga sampai ke desanya. Turun dari angkot, Minah masih harus melanjutkan perjalanan dengan naik ojek. 

Suasana desa masih sama seperti ketika Minah meninggalkan desanya dua tahun lalu. Sawah-sawah masih nampak subur, ada yang baru saja ditanam, ada juga yang sudah siap dipanen. Sungguh berbeda dengan suasana di kota di mana sawah-sawah telah beralih fungsi dengan dibangunnya beragam perumahan di atasnya. Jalanan desa masih ditutup bebatuan bercampur tanah, entah kapan pemerintah akan mengaspal jalan ini. 

Sesampai di rumah didapatinya rumah tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Minah meletakkan tas besarnya kemudian duduk di bangku bambu panjang yang ada di teras rumah. Terlihat ibunya pulang dengan membawa sebilah pisau. Oh tahulah Minah bahwa ibunya baru saja rewangan atau membantu orang yang sedang punya hajat. 

Ibunya heran melihat Minah tiba-tiba sudah ada di rumah. Lebih heran lagi tatkala melihat raut muka Minah yang tak biasa. Biasanya Minah selalu ceria menceritakan apa saja yang sedang dipikirkan, tapi kali ini mukanya tampak pucat dan tak sepatah kata pun yang terucap begitu melihat ibunya pulang. 

“Kapan pulang? Ada apa Minah? Kok tumben-tumben ndak biasanya lho”, ibunya menyapa sambil duduk di sebelah Minah. 

Minah masih diam saja, sekarang tatap matanya kosong. Pandangannya hanya lurus ke depan seperti orang ling-lung. 

“Ada apa Minah? Katakan sama ibu kenapa kamu pulang tiba-tiba tanpa kabar dulu? Lagi pula ini kan bukan hari libur”, Bu Nando semakin khawatir dengan keadaan anaknya. 

Diperhatikannya Minah lekat-lekat dari kepala sampai ke kaki. 

“Kamu sekarang tambah gemuk. Enak ya kerja di Jakarta?”. Ditanya seperti itu Minah tetap diam saja. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada perut Minah yang tampak lebih besar. Tanpa disadari kaus yang dipakai Minah mencetak lekat ke perutnya sehingga nampak jelas perutnya yang membulat seperti orang hamil. 

“Apa yang terjadi Minah? Kamu hamil ya? Siapa yang melakukan? Katakan pada ibu nduk!”, ibunya menggoncang-goncang kedua bahu Minah. Lagi-lagi Minah diam seribu bahasa. 

Ibunya teringat dua tahun lalu Minah pamit mau kerja di Jakarta. Ini karena Tito tetangganya yang menjadi satpam di sebuah perumahan mewah di Jakarta mengatakan bahwa ada seorang ibu yang sangat membutuhkan asisten rumahtangga secepatnya. Ditawari gaji yang menggiurkan membuat Minah tanpa pikir panjang menyetujui untuk menjadi asisten rumah tangga di sana. 

Minah memasuki sebuah rumah besar dan mewah dengan diantar Tito, tentu saja. 

“Bagaimana Tito, sudah dapat orangnya?” Bu Soraya langsung bertanya begitu melihat ada seorang perempuan dibawa Tito ke rumahnya. 

“Sudah bu. Ini namanya Minah” jawab Tito mantap. 

“Baiklah Tito, tolong tinggalkan Minah sendirian dulu ya. Makasih ya” berkata demikian Bu Soraya mengeluarkan lima lembar uang ratusan ribu rupiah dan menyerahkannya pada Tito. 

“Makasih bu”, Tito pamit keluar. 

Setelah dilakukan wawancara secukupnya akhirnya Bu Soraya menerima Minah sebagai asisten rumah tangga. Di rumah yang besar ini sudah ada lima pegawai lainnya, yaitu Barno tukang kebun, Pak Sukir sopir, Tito dan Yadi satpam, dan Yu Siti bagian kebersihan rumah. Sementara tugas Minah adalah di bagian dapur, belanja, memasak dan menyajikannya. 

Sebenarnya Minah adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya akibat kecelakaan lalu lintas. Umurnya pun baru 20 tahun, masih muda. Tubuhnya sintal dan wajahnya pun menarik, maka tak heran kalau banyak pemuda di desanya yang menaruh hati padanya. Minah tak menanggapi pemuda-pemuda tersebut. Minah masih teringat pada Maman, suaminya yang telah meninggalkannya setahun lalu. Perkawinan yang dijalaninya baru empat bulan sebelum dia ditinggalkan suaminya selamanya. 

Ajakan kerja di Jakarta sangat menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang langsung saja disanggupi tawaran Tito. Dan, sekarang dia berada di rumah mewah ini. 
Minah mengagumi rumah beserta perabotan yang ada di dalam rumah. Minah baru selesai mengelap seperangkat sofa berlapis kulit asli ketika seorang pria memasuki rumah. Tak didengarnya suara mobil, tiba-tiba saja ada orang masuk. Minah mengangguk pelan yang disambut dengan senyuman Pak Bram. 

“Orang baru?” tanya Pak Bram 

“Iya pak, baru tadi pagi” jawab Minah sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Pak Bram adalah seorang perwira polisi, maka tak heran bila tubuhnya tinggi besar, tatap matanya berwibawa dan senyumnya ramah. Saat berjabat tangan tadi menimbulkan suatu rasa yang lain bagi Minah. Minah jarang bersalaman dengan lawan jenis, apalagi ini adalah majikannya sendiri. Maklumlah di desanya tak diperbolehkan berjabat tangan antar lawan jenis kecuali bila sudah mukhrim. 

Sudah dua bulan Minah bekerja di rumah ini, perlakuan Pak Bram dan Bu Soraya baik sekali terhadap semua pegawai. Hal ini membuat Minah kerasan apalagi hubungannya dengan pegawai lainnya sudah seperti saudara, sering bercanda dan saling bantu. 

Ini Hari Minggu, Tito pulang kampung, Barno yang tukang taman juga libur. Yu Siti juga ijin karena anaknya sedang sakit. Pak Sukir sedang mengantar Bu Soraya arisan. Hanya ada Yadi, satpam yang jaga di depan. Minah masih sibuk memukul-mukul daging yang akan dibuatnya rendang nanti sore. 

Tanpa sepengetahuannya, Pak Bram memperhatikan Minah dari ruang tengah. Sejak berjabattangan dulu, Pak Bram sudah menaruh simpati pada Minah. Waktu berduaan di rumah seperti inilah yang ditunggu-tunggu Pak Bram. 

Segera dipanggilnya Minah :”Minah tolong buatkan teh panas gak pake gula” 
“Ya pak” Minah dengan cekatan membuat teh panas tawar dan mengantarkannya ke ruang tengah. 
“Silahkan pak” kata Minah sopan sambil membungkuk. 
“Makasih Minah” 
“Eh sini sebentar Minah” seru Pak Bram begitu melihat Minah buru-buru mau berlalu. Minah membalikkan badannya. 
“Duduklah di sini” tangan Pak Bram menunjuk sebelah sofa yang didudukinya. 
“Tapi pak ....” 
“Sudahlah ayolah duduk di sini tidak apa-apa”, kali ini Pak Bram bangkit dari sofa dan memegang bahu Minah menuntunnya untuk duduk di dekatnya. 
“Nah begini kan lebih baik” kata Pak Bram begitu Minah sudah duduk di dekatnya. 
“Bagaimana ...... emm kamu kerasan kerja di sini?” 
“Iya pak saya kerasan kerja di sini” Minah menjawab dengan kepala menunduk untuk menutupi detak jantungnya yang berdegub-degub. Disembunyikannya dadanya agar tak terlihat gejolak hatinya yang memburu. 

“Kata Tito kamu pernah menikah, benar begitu Minah?” bertanya begitu sambil tangan Pak Bram memegang tangan Minah. 
“Iya memang benar pak” tangan Minah terasa bergetar. 
“Kamu takut? Ndak usah takut. Aku tak akan menerkammu. Kamu tahu kenapa aku ndak ngantar ibu?” 
Minah menggelengkan kepalanya. 
“Badanku rasanya sakit-sakit, tolong Minah .... kamu bisa pijiti kan?” Pak Bram mengharap anggukan Minah. 
“Hmm ..... tapi pak” Minah sebenarnya juga menunggu saat seperti ini, saat bisa berduaan dengan majikannya yang telah disukainya dalam hati. 

Pak Bram bangkit dari duduknya, digandengnya Minah memasuki kamarnya. Setelah mengunci kamar, Pak Bram mengganti celana panjangnya dengan sarung dan kaus singlet siap dipijit. Kebetulan Minah juga ahli memijit, jadi tak heran bila Pak Bram merasakan enaknya dipijit Minah. 

Pada saat Pak Bram membalikkan badan agar dipijil badan bagian depan, matanya tak lepas dari memandangi Minah. Minah hanya tersipu malu tapi tetap memijit. Sekarang Minah memijit tangat kirinya, tiba-tiba saja tangan kanan Pak Bram meraih Minah ke pelukannya. Minah tak meronta. Saat seperti inilah yang diinginkannya sebenarnya. 
Sekujur tubuhnya seolah meminta kehangatan dari pria segagah Pak Bram. 

Gelora keduanya sama, maka terjadilah yang tak seharusnya terjadi. Perselingkuhan antara majikan dan asisten rumah tangganya. 
Mereka melakukan di saat keadaan memungkinkan. Keduanya sama-sama bergairah melakukannya., maka tak heran bila keduanya pun ketagihan. 

Kemudian sesuatu terjadi. Tak ada yang mengetahui, sampai suatu ketika didengarnya Minah muntah-muntah di washtafel. Tanpa Minah sadari beberapa pasang mata memperhatikannya, namun tak timbul kecurigaan di antara mereka. Mereka hanya mengira Minah kurang sehat karena pekerjaan belanja dan di dapur yang melelahkan. Hanya Pak Bram dan Minahlah yang cemas. 

Sorenya Pak Bram membawakan Minah sebuah testpack. Pagi harinya Minah membuka kemasan testpack tersebut dan meletakkannya pada sebuah wadah kecil yang berisi urine-nya. Harap-harap cemas. Hatinya deg-degan tak menentu. Lalu tak sadar Minah berteriak saat melihat ada dua garis di testpack tersebut. Itu menandakan dirinya positif hamil. Bingung bercampur takut menyelimuti hatinya. 

Segera diberitahukannya hal ini pada Pak Bram, tentu saja pada saat tak ada siapapun yang melihat. Wajah Pak Bram tetap tenang, mungkin karena pendidikan kemiliteranlah yang membuatnya berlaku demikian. 

 “Bagaimana kalo kamu pulang kampung saja, Minah” Minah hanya bisa sesenggukan menahan tangis. Tak mengira bila kejadiannya sampai sedemikian pelik. Entah apa yang akan dikatakannya pada ibunya, juga pada Bu Soraya yang begitu baiknya. 
Minah merasa sangat bersalah pada mereka berdua. Pak Bram berjanji akan menikahinya di desa. 

Sebenarnya Pak Bram belum mempunyai anak kandung, Bonita adalah anak angkat yang diambilnya dari panti asuhan. Bonita sedang melanjutkan kuliah di UGM. 

Namun pada akhirnya berita kehamilan Minah sampai ke telinga Bu Soraya juga. Bu Soraya marah besar. Dimaki-makinya Minah, kemarahannya tak terkira apalagi mengetahui bahwa yang menghamili Minah adalah suaminya sendiri. Saat itu juga Minah diusirnya keluar rumah begitu saja. 
Minah terpaksa meminjam uang dari Tito untuk pulang ke desanya. Tito yang kasihan mengantar Minah sampai ke terminal. 

Sore hari, Bu Soraya sudah menunggu suaminya di dekat pintu masuk, tentu saja dengan muka yang geram. Begitu dilihatnya suaminya pulang langsung dihampirinya, kemarahannya tumpah ruah. 

“Kenapa papi tega berbuat kayak binatang seperti ini? Dia itu cuma pembantu pi. Mestinya papi tahu. Kenapa sih pi? Kamu tega banget sama mami yang tak bisa punya anak ini. Mami memang mandul pi ndak bisa kasih papi anak, tapi kenapa papi tega .....? Kemarahan Bu Soraya berapi-api. 

“Ma .. af ...kan papi .... maafkan papi mi ....... “ Pak Bram memeluk istrinya untuk meredakan kemarahannya. Pak Bram memeluk istrinya sambil berlinangan airmata, antara kasihan dan merasa bersalah. Dipeluk begitu kemarahan istrinya luruh, berganti tangis yang keras seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangannya. 

Minah masih belum bisa diajak bicara. Bu Nando memapah anaknya masuk ke dalam rumah langsung menuju kamarnya. Bu Nando membawa masuk segelas teh panas beserta pisang goreng yang digorengnya tadi pagi. Dibiarkannya Minah sendirian. Bu Nando ke dapur memasak sebentar. 

Malamnya ketika dilihatnya Minah sudah bisa diajak bicara, kembali ditanyakannya pertanyaan tadi siang :”Siapa yang menghamilimu nak? Ibu tidak marah, tapi tolong katakan siapa laki-laki itu nak?” Minah tersadar dari kebingungannya, air matanya menetes deras ke pipinya. 

“Pak Bram ....... “ Minah menjawab lirih hampir tak terdengar. Namun bagi Bu Nando, berita itu bagai sambara petir di siang hari. 

“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Mengapa kamu mau diperlakukan semena-mena seperti itu sama Pak Bram?. Oalah nduk nduk, kenapa akhirnya malah jadi seperti ini?” Minah hanya membisu. Rasa bersalah itu jelas kentara di wajahnya. Makian Bu Soraya tadi pagi masih jelas di telinganya. Belum sempat dia meminta maaf pada Bu Soraya, sudah diusirnya keluar rumah tanpa membawa apa pun. Rasa sedih dan nelangsa menghinggapi dirinya. 

“Entah bagaimana nasibku nanti. Jelas Bu soraya tidak mau memperkerjakan aku lagi. Lalu bagaimana aku menghidupi anakku kelak? Bagaimana dengan persalinanku? Di mana? Aku merasa malu bila harus melahirkan di sini tanpa suami. Pak Bram yang tunduk pada istrinya, mana mungkin akan memenuhi janji untuk menikahiku?” Minah hanya membatin. Tak tega dia membagi beban pada ibunya yang tak tahu-menahu tentang hal ini. Rasanya kepulangannya hanya untuk menambah beban ibunya saja, beban mental, beban malu sekaligus beban ekonomi. 

“Ini adalah rasa yang salah, sangat salah. Bagaimana mungkin aku membiarkan perasaanku liar mencintai majikanku sendiri?” batin Minah tak habis-habis. Hari demi hari Minah hanya berdiam diri di rumah saja. Dia merasa malu kalau harus keluar rumah, perutnya sudah makin membesar saja. Hal yang bisa dilakukan hanyalah membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Hari Minggu pagi yang cerah, Bu Nando terburu-buru masuk rumah memberitahu Minah kalau ada sebuah mobil sedan bagus memasuki halaman rumahnya. Diberitahu begitu, Minah malah ketakutan, takut kalau Bu Soraya yang datang dan jadi menuntutnya ke pengadilan seperti makinya dulu itu. Minah berusaha membesarkan hatinya, jikalau dia memang dituntut dan dihukum rajam sekali pun, Minah bersedia. Dia ingin menebus dosanya terutama terhadap Bu Soraya dan ibunya. 

Tapi ternyata yang datang adalah Pak Bram ditemani Tito. Pak Bram mengutarakan maksud kedatangannya kepada Bu Nando bahwa dia ingin menikahi Minah secara siri. Seketika kelegaan nampak di wajah Bu Nando dan Minah, tentu saja. Bu Nando menarik nafas panjang seolah sudah terlepas segala beban hidupnya. 

Acara pernikahan siri dilakukan di rumah Minah secara sederhana dengan dihadiri kerabat dekat Minah dan para tetangga dekat. Pak Bram yang seorang PNS tentu tidak bisa sembarangan untuk menikah yang kedua kalinya. Untuk itulah dilakukan pernikahan siri ini. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk tanggungjawab Pak Bram terhadap Minah. 

Pernikahan inipun belum diketahui Bu Soraya. Entah apakah pernikahan siri ini akan diberitahukan kepada Bu Soraya ataupun tidak. Entah bagaimana nanti saja. Semua akan mengalir dengan berjalannya waktu.

Tuesday, June 3, 2014

Sebuah Keputusan


Sebuah Keputusan

Asti menunduk lesu, tak berani mendongakkan wajah menatap bapaknya. Kedua tangannya memainkan ujung bajunya, melipat dan meluruskan, melipat dan meluruskan lagi. Sementara Pak Burhan menatap lekat-lekat ke arah Asti seolah ingin menerkamnya bulat-bulat.

“Kenapa tak bilang dari dulu-dulu kalau kamu punya anak gadis secantik ini?” Itu kalimat yang didengar Asti pertama kali dari Pak Burhan. Matanya tak sedetik pun beralih ke tempat lain, selain hanya sibuk memandangi Asti.
Pak Burhan memandang dari kepala sampai ke kaki seolah menelanjangi tubuh Asti.

Asti tidak tahu tentang isi pembicaraan antara bapaknya dengan Pak Burhan tadi sebelum dirinya dipanggil masuk ke ruang tamu.
Dulu Asti hanya mendengar nama Pak Burhan saja, itupun dulu sewaktu masih kecil. Melihat langsung ya baru kali ini, di rumahnya pula. Yang Asti tahu Pak Burhan telah menikah dan dikaruniai dua anak, laki-laki dan perempuan. Umur anak-anak Pak Burhan tak beda jauh dengan dirinya.

Dipandangi begitu Asti merasa jengah. Ingin rasanya Asti segera keluar dari ruangan yang menyesakkan ini, pergi ke Yogya menemui Aryo, kekasihnya.
Sementara bapaknya hanya tertawa-tawa mendengar penuturan kagum dari Pak Burhan. Betapa bangganya Pak Kasmo mendengar hamburan pujian orang lain terhadap anak perempuannaya. Apalagi pujian itu diucapkan oleh Pak Burhan, orang terkaya di desanya.

Pak Burhan berperawakan tinggi besar dengan kumis tebal bertengger di atas bibirnya. Kulitnya sawo matang, rambutnya cepak. Meskipun umurnya sudah genap enam puluh tahun, namun masih tampak gagah berwibawa.
Dulu Pak Burhan adalah lurah di desa Wisanggeni ini, maka pantas bila warga desa masih menghormatinya. Begitupun Pak Kasmo sangat menghormati Pak Burhan.

Sudah sepuluh tahun Pak Burhan meninggalkan desanya untuk mengadu nasib di kota propinsi, Semarang. Sebuah rumah makan ayam goreng terkenal telah berhasil dikelolanya. Oleh karena itulah maka pantas bila Pak Burhan jarang pulang kampung. Sampai-sampai tidak tahu bahwa Pak Kasmo sahabatnya mempunyai anak gadis yang cantik. Maklumlah Asti termasuk kembang desa di Desa Wisanggeni ini.

Asti nampak semakin mengkerut di kursinya, kentara sekali bahwa dia dilanda keresahan. Berkali-kali Asti memperbaiki letak duduknya yang tak nyaman.
Duduk dengan hanya menekuri lantai di sekitar kakinya membuatnya jengah. Asti bangkit berdiri hendak keluar ruangan, namun bapak mencegahnya: “Mau ke mana kamu? Temani dulu Pak Burhan. Beliau kan ingin mengenal kamu lebih dekat”
Asti kembali duduk di kursi kayu, sekarang kedua tangannya bertumpu pada pegangan kursi di kanan dan kiri, namun matanya tetap menunduk. Kini bapaknyalah yang keluar, dihembuskannya asap rokok kuat-kuat.

“Okelah Pak Kasmo, aku pergi dulu ada janji dengan teman bisnis” begitu pamit Pak Burhan.
“Oh iya iya Pak Kasmo monggo silahkan. Sugeng tindak. Jangan sungkan-sungkan untuk mampir kembali”
“Aku pergi dulu ya Asti, besok kita ketemu lagi”
Asti hanya mendengus tanpa menatap Pak Burhan.
Rasa tak suka itu kentara benar, namun Pak Burhan mengacuhkannya. Dia pikir dengan iming-iming kekayaan maka semua bereslah.

Sepulang Pak Burhan, bapak kembali menegaskan pada Asti : “Kamu mau kan menjadi istri Pak Burhan? Dia orang kaya di desa ini dan cukup terpandang” Asti tak menjawab, hanya menunduk lesu. “Kamu bisa minta apa saja darinya. Kamu pasti sejahtera hidupmu nak”
Kali ini Asti menjawab lemah :”Aku tak mau pak”
“Apa kamu bilang? Tidak mau? Kamu ini kudidik untuk menjadi anak yang baik, bukannya melawan kehendak orangtua seperti ini”
“Tapi pak .....”
“Kamu bilang bahwa kamu sudah punya pacar, begitu? Aryo itu hanya pegawai rendahan, mana bisa dia mencukupi kebutuhan hidupmu? “.
Tapi kami saling mencintai pak” Asti berusaha menjelaskan maksudnya.
“Ah omong kosong sama yang namanya cinta. Memangnya kalo kamu lapar kamu cukup dengan makan cinta? Seperti itu? Dengar ya Asti, semakin lama harga-harga semakin mahal, itu namanya hidup semakin susah saja dari hari ke hari. Ini ada orang kaya yang mampu memenuhi semua keinginanmu malah kamu tolak”.
Asti tetap tak bergeming. Pendiriannya masih tetap sama, menolak perjodohan bapaknya.
Pak Kasmo menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Diminumnya kopi yang tak lagi panas.

Di luar rumah, ibunya tergopoh-gopoh pulang dari pasar. Segera diletakkannya keranjang belanjaannya, diambilnya bahan-bahan masakan untuk hari ini. Masaknya harus cepat karena hari sudah siang. Cucian terlalu banyak tadi, sehingga ke pasarnya agak siang.
“Asti sini bantu ibu memasak”, ibunya memanggil. Tak seperti biasanya, Asti kali ini nampak lesu tak bersemangat. Ibunya tak begitu hirau tentang hal ini. Yang terpenting masakan hari ini harus segera siap tersaji. Oseng kangkung dengan lauk tempe dan tahu goreng serta sambal terasi kesukaan suaminya. Tidak lupa krupuk bulat yang tadi dibelinya di pasar.

Asti mulai memetik kangkung tanpa kata, kemudian mencucinya di dekat sumur. Setelah itu Asti masuk ke dapur yang letaknya dekat dengan sumur. Dapur yang terbuat dari anyaman bambu ini terpisah dari rumah induk. Dengan cekatan diambilnya tempe-tempe yang berbungkus daun pisang, kemudian dilepasnya bungkusan-bungkusan tersebut.

Sementara ibunya sibuk membuat bumbu untuk tempe dan tahu goreng. Ketika mulai menggoreng, Bu Kasmo mulai melihat tanda-tanda yang tak biasa dari anaknya. Di matanya, Asti nampak pucat dan hanya diam seribu bahasa. Namun demikian tangannya tetap cekatan menggoreng tempe dan tahu lauk makan siang mereka.
Bu Kasmo mulai berpikir, “Apakah ini disebabkan karena kedatangan Pak Burhan? Apakah Pak Burhan sudah datang? “ begitu pikirnya.
Hal ini hanya dipikirkan saja, tak berani dia bertanya pada anaknya takut Asti mengurungkan niat membantunya memasak.

Seperiuk besar nasi, sayur oseng kangkung, lauk tahu dan tempe, krupuk bulat serta sepiring pisang ambon dan minuman telah tersaji rapi di meja makan. Saatnya makan siang untuk keluarga Pak Kasmo. Pak Kasmo, istrinya, Asti dan Didit yang baru pulang sekolah telah duduk dan siap untuk bersantap siang, ketika ada tamu datang.

Seorang perempuan terlihat di pintu masuk dengan membawa sesuatu yang entah apa.
Kulo nuwun ..... Bu Kasmo!” teriak perempuan itu.
Buru-buru Bu Kasmo keluar menemui tamunya:”Eh Yu Darsi ada apa kok tumben?”
“Ini bu ada titipan dari Pak Burhan” jawab Yu Darsi sambil menyerahkan bawaannya. Langsung tercium bau harum ayam goreng.
Satu dos besar berisi seekor ayam goreng lengkap dengan sambal dan lalap beralih ke tangan Bu Kasmo.

Setelah Bu Kasmo berucap terima kasih dan Yu Darsi pulang, segera dibukanya dos itu. Bau harum ayam goreng semakin membangkitkan selera makan mereka.
“Hore menu kali ini ayam goreng ya bu. Ibu bikin dong yang kayak gini. Tiap hari makan kayak gini juga boleh” Didit nampak kegirangan sambil mengambil nasi yang lebih banyak dari biasanya.
“Huss uang dari mana kalo tiap hari harus makan ayam?”, ibunya mendengus.
“Kan sebentar lagi anak kita jadi orang kaya bu, kok ibu lupa sih?” Pak Kasmo menimpali.
Bu Kasmo serba salah, mau menjawab apa tak ada ide di kepalanya. Di satu sisi dia setuju dengan suaminya, namun di sisi lain dia juga mengerti perasaan anaknya.
Sementara Asti nampak semakin murung saja, tak bersemangat untuk makan kali ini meski lauknya adalah ayam goreng kesukaannya.


Mereka jarang makan ayam goreng, maklumlah Pak Kasmo hanyalah buruh serabutan. Dia bekerja di kebun jeruk milik tetangga desanya. Menyiangi rumput-rumput liar, memanen jeruk, memberi pupuk, menyemai benih adalah bagian dari tugasnya. Terkadang dia juga membantu orang yang sedang membangun atau memperbaiki rumah. Pokoknya segala pekerjaan yang menghasilkan akan dikerjakannya, karena Pak Kasmo terkenal ringan tangan suka membantu.
Sementara istrinya selain mengurusi rumah tangga juga sesekali membantunya saat memanen jeruk.

Malam menjelang udara semilir tertiup angin, dilihatnya ayah dan ibunya sedang berbicara di teras rumah. Baru saja Asti akan masuk ke kamarnya, ketika ayahnya memanggil:”Asti ke sini sebentar nak”. Asti melangkah gontai mendekati orangtuanya.
“Bagaimana sudah kamu pikirkan maksud baik Pak Burhan?” ayahnya membuka percakapan.
“Kan Asti sudah bilang tadi pak. Keputusan Asti tetap sama” jawab Asti.
Kekecewaan mewarnai wajah Pak Kasmo.
“Kamu harus tahu Asti, bahwa bapak pernah meminjam uang sepuluh juta dari Pak Burhan. Dan, bapak belum bisa mengembalikannya sampai saat ini. Bila kamu mau menikah dengan Pak Burhan, bukan hanya hutang saja yang dilunasi tetapi juga bapak akan diberi modal”, suata Pak Kasmo memelan.
Asti baru tahu duduk persoalannya. Dia mengerti tetapi hatinya telah tertambat pada Aryo semata.
 “Tapi Asti tidak bisa menerima Pak Burhan. Maafkan Asti pak, bu ....”
Tak ada keputusan yang bisa diambil oleh ayahnya. Ibunya pun tak turut urun rembug, hanya diam dalam kebingungan.

Malam kian larut, Asti sulit memejamkan mata. Teringat pada janji manis Aryo, membuat keputusannya bulat untuk meninggalkan desanya dan pergi menyusul Aryo ke Yogyakarta. Asti berniat mencari pekerjaan di sana.
Sudah saatnya dia bisa menghasilkan uang sendiri, toh sebagai lulusan SMK jurusan busana dia memiliki keahlian yang mumpuni. Namun di sisi lain Asti juga bingung ketika harus meninggalkan kedua orangtuanya dan adiknya. Mereka telah terbiasa hidup bersama. Tapi untuk maju bukankah dibutuhkan pengorbanan. Toh semua ini dilakukan demi mereka juga.

Asti berjanji akan membantu keuangan orangtuanya bila sduah berpenghasilan nanti. Keputusan bulat telah diambilnya tadi malam. Asti bangun pagi-pagi benar sebelum semua penghuni rumah bangun. Diambilnya travelling bag yang terbuat dari kain batik perca yang disambung-sambung. Dimasukkannya beberapa pakaian dan segala perlengkapan pribadi lainnya. Semua sudah siap, kini saatnya mandi.

Pikirannya terus berputar, bagaimana dia akan tinggal di Yogya nanti. Ingatannya langsung mengarah pada seorang temannya yang sudah terlebih dulu diterima kerja di Yogya. Ya, dia akan menghubungi Nani, temannya itu. Barangkali Nani bisa menunjukkan peluang kerja untuknya.

Asti tidak mempunyai handphone, makanya dia tidak bisa memberitahu Aryo saat ini. Tetapi soal alamat kos dan tempat kerjanya Asti sudah mencatatnya. Ibunya yang baru saja bangun terlihat bingung menatap anaknya. “Mau ke mana As sudah rapi begitu?”
Bukannya menjawab pertanyaan, tapi Asti malah menghambur ke pelukan ibunya sambil berbisik:”Asti akan ke Yogya bu menyusul Mas Aryo dan cari pekerjaan di sana ..... “
“Apa bapakmu sudah tahu?” tanya ibunya pelan juga.
“Belum bu” sahut Asti.

Bersamaan dengan itu bapak dan Didit bangun juga dan terheran-heran melihat ibu dan anak berpelukan sambil menangis. ‘Ada apa?” ayah dan Didit bertanya berbarengan.
“Ini Asti mau ke Yogya katanya.......” kalimat ibu menggantung, mau diteruskan tapi tidak jadi.
Asti langsung bersujud di kaki ayahnya sambil berkata mengiba :”Pak Asti minta maaf, Asti tidak bisa menikah dengan Pak Burhan apalagi menjadi istri kedua. Pak, Asti minta maaf. Maafkan Asti ya pak .....”

Pak Kasmo tidak bisa berkata apa-apa. Keputusan anaknya telah diambil. Bukankah seorang ayah hanya bisa tut wuri handayani? Apapun kemauan anak asal itu baik, orangtua sebaiknya mendorong dan memotivasi dari belakang. Itu yang kini akan dilakukan Pak Kasmo. Memaksa anak adalah tindakan yang kurang baik, apalagi bila itu hanya untuk kepentingan orangtua.

Setelah sarapan, ibu mengantar Asti sampai ke jalan desa. Distopnya angkuta desa yang akan menuju ke terminal di kota. Asti memeluk ibunya erat sambil menangis, demikian pula Bu Kasmo melakukan hal yang sama. Ini adalah perpisahan pertama yang mereka lakukan. Di dalam angkuta terlihat Asti melambai-lambaikan tangannya. Ibunya menunggu sampai angkuta belok ke kiri dan tak terlihat lagi, tertutup oleh rimbunnya pepohonan.

Di Yogya Asti segera menghubungi Nani temannya. Beruntunglah bahwa Nani masih berada di kos, belum berangkat kerja. Asti diperbolehkan beristirahat dan menunggu di kos sampai Nani pulang sore harinya. Nani segera mengirim pesan singkat ke Aryo. Nani adalah juga teman Aryo sedesa, jadi Nani memiliki nomor handphone Aryo. Aryo yang mengetahui Asti, kekasihnya berada di kotanya sangat girang.

Pagi sebelum berangkat kerja Aryo menyempatkan diri mampir ke kos Nani. Mereka berbincang sebentar baru kemudian Aryo dan Nani pergi bekerja. Ternyata di tempat Nani bekerja ada lowongan pekerjaan, sehingga Asti yang cerdas dapat diterima langsung di perusahaan tempat Nani bekerja. Dan, Asti pun tinggal bersebelahan dengan kos Nani. Mereka berangkat dan pulang kerja bersama-sama.

Aryo yang tadinya bekerja di perusahaan sablon keluar dari pekerjaannya dan memulai usaha sablon sendiri. Kini Aryo mengontrak sebuah rumah sederhana namun luas untuk usaha sablonnya. Aryo yang memang berbakat wirausaha, sangat jeli melihat pangsa pasar. Musim kampanye dan tahun ajaran baru lumayan mendongkrak penghasilannya.

Atas kebaikan hati Aryo, Asti mendapat pinjaman lunak dari bank untuk melunasi hutang orangtua Asti ke Pak Burhan. Pak Kasmo terharu dan merasa sangat bersalah telah bermaksud menjodohkan anaknya dengan Pak Burhan yang sudah beristri.
Pak Kasmo juga terbuka mata hatinya terhadap Aryo, yang meskipun masih muda tetapi dapat diandalkan.

Setiap bulan Asti juga mengirim uang untuk ibunya di desa.

Hubungan Asti dengan Aryo semakin lengket saja. Nampaknya Aryolah jodoh yang diberikan Tuhan untuknya. Mereka bersama-sama menata dan merencanakan hidup berkeluarga. Asti memegang tangan Aryo, sementara Aryo memeluk Asti dengan mesra. Pasir di Pantai Parangtritis menjadi saksinya. Bulan tersenyum menyembul di antara awan gemawan.

Cerpen yang lain : Kucing Yang Baik Hati

Friday, February 21, 2014

Kucing Yang Baik Hati

Kucing Yang Baik Hati
Binggo yang ganteng

Dia suka mendekapku, menaruh kepalaku di belahan dadanya. Bunyi detak jantungnya terdengar beraturan. Terasa hangat, itu pasti. Dia suka mengajakku berbicara, tapi terkadang diam saja. Tak tahukah bahwa aku ini adalah laki-laki? Meskipun aku hanyalah seekor kucing, tapi aku sangat senang berdekatan dengannya.

Aku menyebutnya mbak Ocha, sebagaimana orang-orang memanggilnya demikian. Dia adalah majikanku, kini. Dia merawatku dengan baik, memberiku makan secara teratur, nasi ikan besekan. Huh! Lagi-lagi aku diberinya nasi bandeng atau nasi tongkol besekan makanan khas kucing kampung. Aku kan kucing blasteran anggora, masak makanannya begitu-begitu saja. Mana makanan kalengnya mbak Ocha? Tapi seharusnya aku bersyukur dengan segala perlakuannya padaku. Aku juga dibolehkan tidur di kasur di bagian kakinya. Kasur bertumpuk dua yang sangat empuk, tak seperti dulu ketika aku masih tinggal di rumahnya Bu Salim yang hanya membolehkan aku tidur di keset lusuh. Soal makanan ya sama saja di sana atau di sini, nasi bandeng khas makanan kucing kampung. Di tempat Bu Salim aku tak pernah disayang-sayang seperti di rumah ini. Bu Salim hanya memberi makan saja, itu saja.

Belum ada sebulan aku tinggal bersama mbak Ocha yang baik hati. Semua bermula dari suatu kejadian. Waktu itu aku bermaksud naik ke atap rumah orang, aku melewati sebuah bangunan berbentuk bulat agak tinggi. Aku tak tahu bahwa ada lubang besar di tengah-tengah bangunan bulat itu, kakiku tak menapak sempurna hingga aku tergelincir dan masuk ke dalam lubang itu. Byuuur!!! Awh! Aku tercebur pada air yang sangat banyak dan dingin sekali. Aku berteriak-teriak sekuat tenagaku:” Ngeooooong!, ngeooong!, ngeoooong!” Kakiku mengepak-ngepak berenang mencoba mencapai tepain sumur, tapi betapa sulitnya.


Kucing Yang Baik Hati
Binggo melamun

Seorang ibu mendatangiku memancingku dengan ember sumur. Sesampai di tanah langsung ada seorang ibu lain yang mengambilku tanpa canggung, belakangan aku tahu namanya adalah mbak Ocha. Dia membawaku ke rumahnya, menaruhku di atas mesin cuci kemudian dengan sigap mengeringkanku dengan kain-kain perca sampai semua air menetes. Kemudian mbak Ocha mengambil handuk dan membelitkan ke tubuhku. Dia membawaku berjalan dan duduk di kursi panjang terbuat dari batu bata yang disemen. Badanku masih saja menggigil menahan dingin. Dipeluknya aku erat sambil sesekali mengeringkanku lagi dan lagi.

Seorang anak kecil perempuan mengambilkanku beberapa potong ikan bandeng goreng. Aku memakannya sedikit. Rasanya tak ada nafsu makan, aku masih trauma tercebur sumur tadi. Beberapa orang turut duduk-duduk di situ menyoal aku. Aku memang suka bermain di daerah ini, tapi baru kali ini saja aku kena nasib sial tercebur sumur.

Lalu mbak Ocha masuk ke rumah, sementara aku ditinggal sendirian di situ. “Kenapa sih aku gak dibawa masuk? Aku kedinginan di sini”.
Kedua kucing sahabatku mendatangiku, Si Merah bertanya:”Hey kamu kenapa basah kuyup begitu?” “Habis nyolong ketahuan ya?” Si Hitam menimpali. “Huh dasar ya, aku lagi kena musibah nih” jawabku agak malas. “Musibah apa?” tanya mereka. Kujawab: “Tercebur sumur” Kedua temenku terkekeh-kekeh:” Hua ha ha ha ha ....” Aku jengkel tapi lebih baik diam. Tapi meskipun begitu, aku sangat sayang pada kedua temenku ini. Dua kucing kakak beradik yang dibuang begitu saja oleh majikannya.


Kucing Yang Baik Hati
Mencari kehangatan pada Binggo

Aku menemukan mereka yang masih kecil waktu itu sedang mengais-ngais makanan sisa di tempat sampah depan mesjid. Mereka yang masih kecil-kecil sudah dipisahkan dengan induknya di saat mereka butuh kasih sayang dan tentu saja masih butuh ASI. Tega nian.

Aku melihat mbak Ocha membuka pintu depan, aku turun dari bangku menuju pintu. Mbak Ocha memanggilku: ”Pus pus ayo masuk” sambil tangannya meraih, mengangkatku dan menggendongku. Hangat rasanya berada di pelukannya yang nyaman. Dia memberiku makanan remahan roti.

Rumah ini tak begitu besar tapi penuh dengan barang-barang yang tertata rapi. Selain mbak Ocha, ada seorang remaja putri yang tadi aku lihat di depan. Rupanya dia tinggal di sini juga. Kemungkinan itu adalah anaknya mbak Ocha. Iya benar, bisa dilihat dari cara mbak Ocha menyapanya:” Din Din lihat kucing ini, ini kucing blasteran lho. Bulunya panjang-panjang tapi hidungnya mancung gak kayak kucing anggora yang pesek. Lucu banget”. “Kucing ini dipek aja ya ma buat kita”, Din Din membelai bulu-buluku yang panjang dan berwarna pirang. Senang sekali nampaknya dia dengan kedatanganku. “Ma kucingnya dikasih nama apa ya ...... ehm ... gimana kalo Binggo aja?” Din Din bertanya pada mamanya. Mamanya menyahut:”Binggo artinya apa tuh?” Din Din bilang:” Binggo artinya blasteran indo dan gorila ha ha ha .....”. ‘Ya terserah kamu ajalah Din” terdengar mbak Ocha menyerah.
 
Kucing Yang Baik Hati
Si Merah dan Si Hitam

Huh! Dasar kucing kampung, mereka mengikutiku masuk rumah juga meski dengan perlahan-lahan takut kena gebuk. Mbak Ocha nampaknya tak keberatan, dia bilang:” Oh ada anaknya, tapi kok beda ya?” Ah mbak Ocha ini gimana sih? Masak aku punya anak dua kunyuk itu. Ya gak mungkinlah. Lagipula aku kucing jantan, bukankah hanya kucing betina yang merawat anak-anaknya? Mana ada dalam sejarah kucing jantan merawat anaknya sendirian? Mending ditinggalin cari lagi kucing betina lainnya.

Sejak saat itu aku aku lupa rumahnya Bu Salim. Sama sekali aku tak pernah pulang. Di sini sangat nyaman, makanan disediakan, aku disayang-sayang, tempat tidurku pun juga empuk. Tapi aku kesal pada diriku sendiri yang selalu berbagi kegembiraan dengan kedua teman kunyukku. Mereka suka masuk ke rumah, makan makananku dan tidur di kasur empuk sepertiku. Sejauh ini mbak Ocha diam saja tak mempermasalahkan. Tapi ketika ada yang buang kotoran di dalam rumah, mbak Ocha jadi repot karenanya. Kasihan juga, sudah menolong tapi malah kena getahnya. Dua teman kunyukku tak lagi boleh bermalam di rumah.

Terkadang aku menyelinap keluar malam-malam saat pintu dapur dibuka. Aku mencari kedua teman kunyukku, memastikan keberadaan mereka. Aku temukan mereka sedang duduk-duduk di dekat masjid. Aku hampiri mereka, eh mereka malah menodongku :”Ada makanan gak?” “Ya gaklah, aku gak bisa bawakan mereka makanan, lagipula tak mungkin aku membawa mereka masuk rumah selarut ini. Aku menemani mereka duduk-duduk mengobrol. Kasihan mereka yang masih sekecil ini. Wajahnya sama, hanya berbeda bulu saja yang satu warna bulunya sama denganku sedangkan yang satunya lagi bulunya berwarna kehitaman. Mereka adalah saudara kembar yang disia-siakan majikannya. Sungguh kasihan. Maka itu aku selalu memastikan keberadaan dan makanan mereka. Jika di rumah ada makanan berlebih, pasti aku akan memanggil mereka sekedar untuk makan dan duduk-duduk di dalam rumah. Siang hari tentu saja, sebab mereka takkan menginap di rumah ini.


Kucing Yang Baik Hati
Si Merah sedang nenen

Kedua kunyuk temanku ini sangat manja denganku. Entah aku ini dianggapnya apanya. Aku merasa sangat geli ketika Si Merah menelusupkan kepalanya ke bagian tetekku seolah ingin nenen. Apa ya tidak tahu bahwa aku ini berkelamin jantan? Tapi kubiarkan saja kelakuannya itu. Aku merasa maklum, mungkin Si Merah tak pernah diteteki atau diberi ASI sama induknya. Tak berbeda dengan Si Merah, Si Hitam pun demikian. Barangkali dengan berbuat begitu mereka menemukan kenyamanan dan kehangatan yang belum pernah didapatnya selama ini. Yang jelas, kedua teman kunyukku ini suka bermanja-manja denganku.
Terkadang kepala mereka secara bersamaan disentuhkan ke kepalaku. Acap kali mereka berdua tertidur menempel bersentuhan dengan badanku.

Entah mengapa di rumah ini hanya ada mereka berdua, mbak Ocha dan Din Din. Tak ada laki-laki di rumah ini. Maka dari itu aku sangat senang berada di sini menemani mereka. Meski aku seekor kucing tapi aku kan laki-laki. Biar aku sebagai laki-laki yang ada di rumah ini turut menjaga mereka.


Kucing Yang Baik Hati
Uki bermain dengan Binggo

Kudengar mereka belum ada sebulan pindah ke rumah ini. Mereka meninggalkan tujuh kucing lokal di rumah lama. Apa karena itu ya mereka jadi perhatian dengan kami bertiga? Mungkin saja sebagai pengobat rasa bersalahnya. Mereka sungguh baik hati. Akupun juga kucing yang baik hati, itu kata mereka lho. Ketika Uki, batita,anak laki-laki tetangga yang suka main ke rumah ini menarik-narik buluku aku diam saja. Ketika Uki memukul-mukul badanku, akupun diam saja tak melawan seperti kucing kebanyakan. Aku serusaha menjadi kucing yang manis agar mbak Ocha dan Din Din selalu suka padaku.

Terkadang kulihat mbak Ocha bersedih dan diam melamun, entah apa yang dilamunkan. Lalu dia mengangkatku dan meletakkan aku di pangkuannya. Dipeluknya aku. Aku sungguh merasakan sesuatu yang hilang dari dirinya. Tapi entah apa. Ketika dia mendekapku ke dadanya, seolah aku merasakan apa yang mbak Ocha rasakan. Laki-laki, ya tentang laki-laki. Aku berharap mbak Ocha segera menemukan apa yang menjadi pelengkapnya.
Aku, Binggo berada di sini untuk kegembiraan mereka, mbak Ocha dan Din Din. 

Catatan: dipek dalam bahasa Jawa artinya diambil untuk dimiliki.

Thursday, February 13, 2014

Tentang Sebuah Perasaan

Tentang Sebuah Perasaan

Sejak saat itu ada rasa bersalah yang seolah mengejarku. Aku tahu bahwa kamu sangat tertarik padaku. Namun penolakan yang kuberikan seolah meluluhlantakkan pengharapanmu dan terlebih semangat hidupmu.
Sudah kukatakan sejak awal bahwa aku cuma iseng menyapamu. Lalu mengapa kamu menganggap serius semua ini? Bukankah ini semacam lelucon yang tak lucu? 

Rasa bersalahku semakin menghebat ketika dengan sengaja kubuka dinding rahasiamu, tentu saja tanpa sepengetahuanmu. Dengan bebas kubaca tentang semua perasaanmu terhadapku. Ternyata kamu menyimpan rasa yang teramat dalam terhadapku. Kukibas-kibaskan kenyataan ini namun memang demikianlah adanya.

Kudengar kamu sangat terpuruk karenaku. Berminggu-minggu kamu hanya membaringkan tubuh letihmu di pembaringan. Tak ada asa dan kuasa. Namun aku tak peduli. Aku begitu sombongnya melenggang seolah tanpa rasa berdosa. Pembicaraanmu dengan temanmu tentangku juga aku tahu. Begitu memujanya kamu pada diriku. 
Seolah aku telah menelanjangimu di sini, di depan mataku. Aku telah melihatmu telanjang tanpa kamu sadari. 

Minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Kini hampir dua tahun sejak aku menyapamu. Dan, hebatnya kamu tak berubah. Kamu tetap mencintaiku. Begitu pun aku juga tak berubah, tetap sombong tak melayani sapaanmu.

Semakin hari semakin aku tahu tentangmu, pandangan-pandanganmu dan terlebih kisah hidupmu. Terkadang ada obrolanmu yang membuatku tertawa, tapi terlalu banyak kesedihanmu yang akhirnya ikut kurasakan. 

Semakin mengenalmu semakin menumbuhkan rasa kagumku padamu. Barangkali tak banyak perempuan yang setabah dirimu dalam menghadapi cobaan hidup yang begitu berat. Aku tahu itu. Aku juga tahu bahwa kamu mengais-ngais rejeki yang tak seberapa. Harusnya hal ini tak terjadi padamu. Semua ini karena ulah bajingan itu kan? Dia yang tak memperdulikanmu selama ini. Lalu apa lagi yang kau harapkan darinya, hah?! Sudahlah, lupakan. Janganlah kau menjadi anjing kurapan yang tak berharga. Hargai dirimu dan yakinlah bahwa kamu bisa.
Ada aku di sini, aku si sombong ini yang selalu memperhatikanmu diam-diam. Ada sesuatu yang berubah dari diriku. Entah sejak kapan kurasakan.

Hampir tiap hari kudengar ceritamu juga keluhanmu. Bila beberapa hari saja aku tak mendengar kabarmu, entah kenapa aku menjadi gelisah.  Terkadang aku menyuruh teman untuk menghubungimu, dengan berbagai alasan yang dibuat. Yang penting aku tahu kabar darimu. Sekedar mendengar suaramu saja aku sudah tenang. Yah, aku ikut nguping pembicaraan kalian. Dasar aku si pecundang yang tak berani menghubungimu sendiri. Terus terang aku malu karena telah menolakmu, dulu.

Pernah aku mengirimkan pesan singkat padamu, tentu saja tanpa identitasku. Pesan itu tak kau balas. Begitupun dengan pesan yang kedua. Kamu tetap tak bergeming. Pesan singkat ucapan Natal ku pun hanya kau balas sekadarnya. Memang tak ada identitasku di semua pesan itu, tapi harusnya kamu tahu siapa pengirimnya. Aku jadi semakin gemas saja. 

Sering terselip kekhawatiran tentangmu di perasaanku. Perasaan, hah?! Tolong jangan tertawa. Perasaan berbeda tumbuh secara diam-diam di hatiku. Tiba-tiba ada rasa kangen menggelayuti batinku. Aku kangen kamu. Bukankah itu sesuatu yang aneh? Dan lebih aneh lagi bila kukatakan bahwa aku sayang kamu. Sejak kapan, hah?! Ini sungguh kejujuran dari lubuk hatiku terdalam. Entah mengapa Tuhan mempertemukan kita? Bukankah semua hal yang terjadi memang adalah rencanaNya?
Mengapa aku selalu saja mengingkari perasaanku sendiri? 

Belakangan aku beranikan untuk lebih intens mengirim pesan untukmu. Kamu mulai saling berbalas pesan denganku. Sampai akhirnya kamu tahu benar siapa aku, meskipun tak kuberikan nama asliku. Inilah aku apa adanya dalam perasaan.

Hari ini adalah Hari Peringatan Kasih Sayang atau orang menyebutnya Hari Valentine. 

Kuucapkan HAPPY VALENTINE'S DAY untukmu.