Sunday, July 27, 2014

Mutiara Yang Berharga

Mutiara Yang Berharga

Misa pagi jam 08.00 ini dipandu Romo Billy, seorang romo yang ganteng yang kata anakku seperti artis Sultan Jorghi. Seperti biasa Romo Billy berkotbah (homili) sambil berjalan menuruni altar mendekati umatnya. 
Beberapa pertanyaan dilontarkannya, terkadang gurauannya yang ringan membuatku tertawa. 
Banyak yang sedang mudik mengangkat tangannya saat romo menanyakannya. Ada yang dari luar kota bahkan dari luar pulau. Ada yang rela menempuh perjalanan darat selama 30 jam. Itu dilakukan semata ingin berkumpul dengan keluarganya, menengok keluarganya atau karena pengin pulang ke tempat asalnya, Solo. 

Pantaslah bila di misa Minggu pagi ini banyak umat yang hadir. Beberapa orang nampak terlambat masuk gereja. Hampir semua bangku penuh dengan umat. Tua, muda dan anak-anak bercampur menjadi satu.

Berkumpul bersama keluarga adalah tujuan orang-orang mudik. Mereka rela berkorban dengan membeli segala kebutuhan, bahkan rela berdesak-desakan agar bisa sampai ke kampung halamannya. Keluarga menjadi sangat berarti dan berharga bagi mereka. Romo Billy mengibaratkannya sebagai mutiara yang berharga, yang pantas diperjuangkan dan berkorban untuk dapat menjumpai mereka.

Begitu juga pedagang yang tertarik dengan mutiara yang berharga akan rela berkorban untuk mendapatkannya. Mutiara yang berharga bisa diartikan apa saja. 
Anak jelas merupakan mutiara yang sangat berharga, di mana kita harus mendidiknya dengan baik sehingga bisa menjadikannya anak yang bisa dibanggakan. 
Seorang pria akan berkorban dan berjuang entah bagaimana caranya untuk bisa menemui kekasihnya, tentu saja bila kekasihnya dianggapnya sebagai yang spesial seperti mutiara yang berharga.

Aku jadi teringat dengan masalahku sendiri, menantikan kedatangan kekasih yang tak kunjung datang. Segalanya telah kupersiapkan untuk menyambut kedatangannya, jadi pantaslah kalau aku kecewa berat. Apalagi jarak Jakarta - Solo bukanlah jarak yang sangat jauh.

Aku juga sudah tidak punya keluarga lagi, satu-satunya keluargaku adalah Dinda, anakku. Kedua orangtuaku dan semua kakakku sudah dipanggilNya, aku pun juga sudah bercerai. Lengkaplah sudah penderitaanku, kini.

Mendengarkan lagu persiapan persembahan “Ambillah, Tuhan” yang dinyanyikan secara perlahan dan syahdu membuat airmataku menetes deras. 

"Hanya rahmat dan kasih dariMu yang kumohon menjadi hartaku 
Hanya rahmat dan kasih dariMu kumohon menjadi hartaku"

Kurasakan beratnya hidupku .............................. 
Kapan ya berakhir, Tuhan ?

0 comments: