Thursday, September 11, 2014

Tanpa Judul

Tanpa Judul
Di saat aku mulai beranjak memulai usaha baruku secara real, ada telpon dari bagian kartu kredit yang menanyakan kesanggupanku untuk melunasi hutangku. Memang tagihanku tidak besar hanya dua belas juta saja, dan bila dilunasi hanya disuruh membayar lima juta saja. Namun sejujurnya dana untuk pos itu belum ada. Hanya dua kartu kredit saja yang belum kulunasi, yang satu lagi sebesar itu juga. Ah sunggguh berat nasibku kini. Sebagai mantan istri jaksa yang sudah bertugas selama lima belas tahun, mestinya dia bisa membantuku secara ekonomi. Entah untuk apa dan untuk siapa semua uangnya. Sampai satu setengah tahun lalu dia menyembunyikan semua asetnya. Mobil itupun tak diakuinya, begitu juga keluarganya yang tidak tahu-menahu. Baru belakangan, ketika untuk urusan sekolah harus mengisi data-data, anakku menanyakan tentang kendaraan ayahnya, dan dia mengaku mempunyai sebuah mobil. Hanya mobilkah? Kukira tidak. Mungkin aku harus istirahat dulu, kepalaku jadi pusing karena omelan debt collector tadi. Aku dengan keadaan yang seperti ini semakin merasa tak pantas untuk berdampingan dengan siapa pun juga. Aku miskin kok .......... Betapa dia, mantanku itu tak pernah sekali pun memberiku modal kerja, ketika usahaku hampir jatuh dan benar-benar jatuh waktu itu. Padahal waktu itu kata saudaranya dia sedang banyak uang, karena usaha sampingannya. Betapa dia juga tak pernah memberiku nafkah untuk istri, yang diberikan hanyalah nafkah untuk anak. “Sing penting Dinda”, begitu kata mantan mertuaku, sehingga dia benar-benar mengabaikanku. Mengapa dia suka menyiksaku secara ekonomi maupun secara batin (perempuan2 itu). Aku sudah bosan dengan semua ini. Apalagi bila orang-orang menganggapku banyak uang karena sebagai istri jaksa, waktu itu. Ini adalah sedih yang tak terkira. Sudah seringkali aku memintanya untuk ikut melunasi hutangku tapi dia tak bergeming. Toh hutangku hanya sedikit menurut ukurannya. Mengapa dia setega itu padaku? Omelan debt collector itu benar-benar membuatku terpuruk, sementara. Aku menangis dan marah-marah. Orang itu mendoakanku semakin miskin. Dia tak mengerti aku, bagaimana mungkin dia mengerti aku? Kenal juga enggak. Mungkin besok atau lusa aku akan datangi BI untuk melakukan BI cheking. Aku yakin hanya dua tagihan yang tersisa. Bila harus ada barang-barang yang dijual, apa ya? Aku butuh kedua laptop ini, aku butuh motor ini.

0 comments: