Wednesday, January 21, 2015

Tentang Sebuah Pengakuan


Tentang Sebuah Pengakuan


Talk show televisi kemarin tentang seorang bocah SMP yang bunuh diri dengan gantung diri di dalam lemari. Barusan aku baca di facebook tentang seorang artis Korea Selatan yang bunuh diri dengan memotong tangannya sendiri. Begitu banyak kasus bunuh diri akhir-akhir ini, bahkan sejak dahulu. 

Banyak alasan yang dikemukan sebagai alasan orang bunuh diri, yaitu depresi, sakit tak kunjung sembuh, banyaknya pekerjaan, terjerat hutang, terkena narkoba, dsb. 

Ini tentang sebuah pengakuanku:

Akupun pernah mempunyai keinginan untuk bunuh diri sewaktu SMP. Aku menatap langit-langit rumah berpikir di mana ya sebaiknya aku gantung diri. Aku kesepian di rumah. Orangtua juga sering main paksa, seolah aku ini hanya barang. Aku juga tak boleh keluar rumah tanpa pengawalan dari orangtua. Ke tetangga pun lalu dipanggil pulang. Aku merasa hidup dalam penjara. Aku tak berteman. Bagaimana orang mau berteman denganku yang serba rumit? 

Orangtuaku sering membanding-bandingku dengan teman-teman atau remaja sebaya yang lain. Mereka tak berpikir bagaimana orangtua mereka mendidik sampai menghasilkan anak yang demikian. Bila aku hanya dipasung di rumah saja bagaimana mungkin aku menjadi seperti mereka. Kegiatanku hanyalah di rumah dan sekolah, sesekali gereja. 

Sebenarnya banyak impianku saat itu tapi tak tercapai. Aku ingin ikut lomba sesuatu, tapi orangtua meragukan kemampuanku. Iya, aku memang tak bisa apa-apa. Iya mereka benar. 
Suatu hari aku merekam suaraku yang bernyanyi ketika di rumah sepi orang. Kemudian aku putar suaraku yang sedang bernyanyi. Pada saat itu bapak pulang dan bilang:"Ternyata bisa nyanyi to?" Langsung aku matikan tape recorder, aku diam saja. Aku memang tak bisa nyanyi, sekarangpun tak bisa nyanyi. Aku tak bisa apa-apa.
Dari dulu aku suka travelling sebenarnya, tapi ibu bilang: " Di tivi juga ada". Iya benar sekali di tivi ada pemandangan, ada gunung, ada laut. Tinggal melihat saja. Ya benar itu. Duh! 
Pacaran? Ha ha ha .... cukup bayangkan saja di pikiran. 
Temanku hanyalah seekor kucing kesayangan. Pada akhirnya kucing itu mati dan aku menangis meraung-raung, melebihi ditinggal kedua orangtuaku. Sungguh! 

Aku bermasalah dengan jiwaku. Aku terkadang nampak linglung, tak tahu apa yang harus kuperbuat. Masalah demi masalah kualami tanpa penyelesaian sedikit pun. Masalah yang semakin hari semakin menumpuk saja. Aku merasa lingkungan tak mau mengertiku. Aku pun selalu dipersalahkan bila terjadi sesuatu. Apakah aku ini anak sial? Saking jengkelnya aku melempar salib Yesus dengan sandal sampai salib terjatuh. Ibu diam saja, bapak diam saja. Mohon ampun Tuhan Yesus atas kenakalanku dulu yang menghinakan Engkau. 

Kekecewaan demi kekecewaan masih saja kualami. Aku merasa telah gagal membangun hidupku. Aku gagal di pekerjaan, gagal di usaha dan gagal di perkawinan. Aku tahu itu karena aku tak cukup percaya diri. Aku merasa tak pantas mempunyai pendapat. Pendapat merekalah yang benar, bukan begitu? Keinginan untuk segera maeninggalkan dunia ini masih sering terlintas, segera aku tepis. Aku tetap melanjutkan hidupku hingga kini. Bagaimana pun inilah jalan hidupku yang telah diberikan Tuhan yang harus aku jalani. Aku harus berpikir optimis, bahwa masa depan pastilah lebih baik. 

Aku berusaha berdamai dengan diriku. Kalau orang biasa mengatakan bahwa bila ada orang yang bermasalah itu karena salahnya sendiri. Itu sangat memojokkanku. Toh bukan semua karena salahku, ada andil juga dari orang lain. Tak semua terjadi begitu saja, tak instan. Aku berusaha memaafkan diriku sendiri yang telah banyak salah langkah dan salah mengambil keputusan. Aku berdamai dengan diriku dengan cara memaafkan diriku sendiri. 

Bila Tuhan belum memenuhi semua keinginanku saat ini pasti di surga sana aku akan menikmati kebahagiaan sejatiku. 

2 comments:

Uniek Kaswarganti said...

yuuk yuukk semangat ya... akan selalu ada hal baik yg bisa kita lakukan dalam hidup :)

Unknown said...

Terkadang semangat harus terus dipompa, bila tidak maka akan melemah. Makasih mak semangatnya.