Rose is love

Mawar identik dengan cinta karena mawar bisa mengungkapkan betapa indahnya cinta, betapa romantisnya cinta.

Wanita

Wanita ibarat kelembutan yang rapuh, namun wanita memiliki kekuatan yang dasyat tak terkira.

Solo

Solo atau Surakarta merupakan kota eks karesidenan di Jawa Tengah. Solo adalah kota yang sangat berkembang tak kalah bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia.

Embun Pagi

Embun menetes tiap pagi hari, menyentuh dedaunan, bunga-bunga, dan segala permukaan di bumi. Embun sungguh menyejukkan hati kita, membeningkan pikiran kita.

Kucing

Kucing adalah hewan yang paling menyenangkan. Tingkah polahnya yang lucu bisa menghalau galau dan menggantikannya dengan senyum bahkan tawa.

Showing posts with label gado-gado. Show all posts
Showing posts with label gado-gado. Show all posts

Tuesday, August 5, 2014

Aku Mengerti


Aku Mengerti

Jadi alasannya karena itu? Aku sangat mengerti, tapi mengapa kamu tak balas semua sms dan telponku? Apa kamu takut moodmu menjadi hilang gara-gara membaca smsku? Seharusnya kamu tahu bahwa aku sangat pengertian. Mestiya kamu tahu itu.

Orangtuamu berlima beserta saudara-saudaramu mengunjungimu di Jakarta. Tentu saja sebagai anak yang berbakti kamulah yang menemani mereka dan membeayai mereka selama di Jakarta. Sekali lagi, aku mengerti.

Yang tak aku mengerti adalah bahwa kamu sama sekali tidak meminta maaf telah mengecewakanku dengan sangat. Kamu baru meminta maaf setelah aku ingatkan. Ya sudahlah, gak papa.

Kamu sudah sms aku juga sudah telpon aku, syukurlah bahwa kamu baik-baik saja.

Hari kerja sudah dimulai lagi. Aku mengerti bahwa kamu akan disibukkan lagi dengan pekerjaanmu. Sedang banyak kasus, itu katamu. Aku mengerti. Aku harap kamu berhati-hati dalam menangani kasus-kasus tersebut.

Semoga saja September kamu jadi datang mengunjungiku ke Solo. Itu hari ulang tahunku, sayang. 
Bahwa kamu memintaku agar menjaga diriku, tentu saja aku turuti.

Bla bla bla ........................

Selamat bekerja.


Peluk ciumku untukmu sayang.

Saturday, August 2, 2014

Menghalau Galau II


Menghalau Galau II

Ini bukan tentang puisi. Bagaimana pun harus kuhadapi semua kenyataan yang ada, sepahit apapun. Meski rasa pahit cukup sering kukecap, namun rasa pahit yang ini sangat pahit terasa. Deraian air mata tertumpah sudah. Kesedihan dan kegalauan coba kuhempas sejauh mungkin. Yang tersisa memanglah kenyataan pahit ini, kecewa berat.

Tak baik bila terlalu lama larut dalam kesedihan, maka aku harus menghalau galau ini. Aku harus mencari kegiatan yang dapat mengalihkan pikiranku meski sejenak.Aku ingat masih ada beberapa potong kain yang bisa aku jadikan pakaian. Selendang, bagian dari set kain India akan aku buat blus kelelawar, sementara kain tenun ikat pemberiannya akan aku buat sebuah rok panjang dan sebuah sackdress.

Menghalau Galau II

Blus kelelawar warna oranye selesai sudah aku jahit. Esoknya aku pakai ke gereja. Temanku bilang blusku bagus sekali warnanya. Dia kagum waktu aku bilang blus itu aku jahit sendiri dan blus itu sebenarnya adalah sebuah selendang. Aku kreatif, katanya.

Kain tenunnya aku potongi untuk dijadikan rok panjang yang dipadukan atasannya dengan kain polos, entah kebaya atau baju kurung. Setelan seperti ini bisa dipakai saat menghadiri acara formal.
Sisa kain tenunnya akan aku jadikan sackdress dengan memadukannya dengan kain tenun polos, sisa dari Batik Keris. Sebetulnya masih ada sebuah selendang padunan dari kain tenun tersebut, namun aku membiarkan saja selendangnya untuk difungsikan tetap sebagai selendang.

Menghalau Galau II

Barangkali kain tenun ini dibuat secara ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) jadi mudah terurai benangnya. Aku menyiasatinya dengan mengobras sisi kainnya secepat mungkin. Kain tenun ini berwarna hijau, sebuah warna yang mulanya tak aku suka. Makanya begitu lamanya kain  tenun ini teronggok di lemari. Namun ternyata warna kulitku cocok juga bila mengenakan baju berwarna hijau. Dan, aku mulai jatuih cinta dengan warna hijau. Apalagi shio-ku adalah naga kayu yang memang cocok dengan warna hijau. Semoga saja warna hijau membawa hoki.

Kalo membuat pakaian paling males sebenarnya kalo harus buat pola, karena ada hitung-hitungannya. Cukup rumit. Tapi ya harus dikerjakan mau tak mau karena pola adalah hal terpenting dalam membuat pakaian. Kalo ukuran badan berubah-ubah maka pola pun ikut berubag-ubah.

Masih banyak kain yang bisa dimanfaatkan menjadi pakaian. Aku mengambil dua potong kain lagi, kain sisa produksi dulu. Keduanya aku buat dua buah rok : pendek dan panjang.

Menghalau Galau II

Rok panjang yang terbuat dari kain jarit batik ini bisa dipadukan dengan kebaya untuk acara resmi.
Untuk kebaya atau blusnya biar kapana-kapan aku mencari kainnya dulu di toko kain. Aku akan mencoba membuatnya sendiri. Kesulitan yang kualami adalah bila harus membuat pola lengan, itu saja.

Siapa tahu dari hobi yang aku kerjakan secara iseng guna menghalau galau ini bisa menghasilkan sesuatu yang berharga ekonomis. Semoga. Amin.

Tuesday, June 24, 2014

Menulis Ya Menulis Saja

Menulis Ya Menulis Saja

Menulis ya menulis saja, tetapi ketika aku dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa aku harus menjaga perasaan banyak orang, tidak boleh menulis yang bersifat sara dan saru, tidak boleh curhat berlebihan, dan sebagainya..........itu sangat membatasi imaginasiku dalam menulis. Pada akhirnya aku kehilangan banyak ide yang seharusnya bisa kutuliskan di sini. Semua ini gara-gara aku berusaha mematuhi aturan-aturan baik tertulis dan terutama yang tidak tertulis.

Seandainya saja menulis adalah sesuatu kebebasan pribadi dalam artian dibebaskan menulis apa saja, maka alangkah banyaknya ide yang bisa dituangkan ke dalam bentuk tulisan di sini di blog ini, paling tidak. 

Begitu sulitnya mendapatkan sebuah ide cerita yang ditugaskan kepadaku untuk diterbitkan ramai-ramai bersama teman-temanku yang perempuan. Ketika kudapatkan suatu ide, tapi setelah kupikir panjang ternyata ide itu terasa tak pantas untuk dikedepankan, dalam bentuk cerpen sekalipun. Batasan-batasan itu telah membelengguku. Bagaimana ini? Memang batasan-batasan itu tak tertulis secara implisit, tetapi aku tahu dan merasakan sendiri dampak bila aku menuliskannya.

Ancaman gugatan secara hukum dari mantanku yang tak terima dengan tulisan-tulisanku baik di facebook maupun di blog telah menjadikan pertimbangan bagiku dalam menulis di media apapun, kini.
Walau apa yang aku tulis berupa kebenaran tetapi bisa dikalahkan secara hukum oleh bukti-bukti pencemaran nama baik yang telah kutuliskan. Apa daya bila curhatanku bermasalah? Kini, tak lagi banyak curhatan yang kutulis yang hanya akan menjadikan masalah saja. Hubungan dengan teman bahkan kerabat bisa berantakan karenanya.

Menulis di media sosial itu ternyata penuh syarat. Yang lebih menjadikanku  pusing adalah tentang batasan-batasan tersebut, bukan pada ide dan pengembangan dari ide tersebut.

Benar tidak? Atau hanya aku yang merasakan belenggu ini?
Kehati-hatian itu penting. Di sinilah letak masalahnya. Karena aku menjadi berhati-hati maka banyak ide yang berseliweran di kepala menjadi tak tertuliskan. Rasanya tak pantas saja untuk dituliskan. Banyak yang tak pantas, kukira.

Tuesday, June 17, 2014

Hebohnya Pengumuman Kelulusan



Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Pukul 11.00 Dinda sudah bersiap menuju rumah si perias pengantin yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari rumah. Seorang laki-laki dengan gaya yang feminim dan istrinya menyambut kedatangan kami. Dengan cekatan Mas Dedi mulai merias wajah Dinda, kemudian menyanggul rambut Dinda. Rambut tidak memakai sanggul tiruan, namun hanya rambut asli saja yang dibentuk seperti sanggul dan diberi hiasan rambut berbentuk bunga-bunga di bawahnya. Kuakui hasil karya Mas Dedi sangat bagus, sanggulnya bagus, riasan wajahnya pun nampak alami dengan warna riasan yang soft.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Dinda dan papanya

Pukul 12.00 selesai sudah Dinda dirias dan didandani dengan kain Jogjanan yang dominan warna putih dan kebaya berwarna biru pastel. Kalung dan giwang pun dipakai untuk melengkapi penampilannya. Kami pulang ke rumah dulu sekalian Dinda belajar berjalan dengan mengenakan pakaian adat karena nanti ada acara lomba keluwesan yang harus diikuti semua siswa-siswi.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Papanya Dinda akhirnya bersedia pulang juga menemani anaknya menerima pengumuman kelulusan. Baru saja kami sampai rumah, ketika papanya datang. Lama juga tak bertemu dengannya, kucium tangannya. Tapi percayalah perasaanku biasa saja. Kemudian Dinda dan papanya menyempatkan diri untuk foto-foto dulu sebelum berangkat ke sekolah. Acara dimulai pukul 13.00, jadi masih ada waktu.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Setelah mengantar Dinda ke sekolah, kami mencari tempat makan dulu. Aku merasa perjalanan agak memutar, kemungkinan dia sudah lupa dengan jalanan di Kota Solo, kotanya kuliah dulu. Kami menghabiskan waktu di rumah makan. Ketika waktu menunjukkan pukul 16.30 kami menuju ke sekolah Dinda di SMPN 27 Solo. Acara pengumuman kelulusan dimulai pukul 16.00. Orangtualah yang menerima hasil UN.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Suasana sekolah berbeda kali ini. Warna-warni pakaian adat Jawa (terutama) yang dikenakan siswa-siswi kelas IX memberi nuansa tersendiri. Suara musik masih terdengar ketika kami memasuki kelas yang terletak di lantai tiga. Baru ada seorang ibu yang datang, maklumlah waktu belum menunjukkan pukul 16.00.
 
Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Keharusan mengenakan pakaian adat ini adalah ketentuan dari Dinas Pendidikan Kota Solo. Dinas mengharuskan semua siswa mengenakan pakaian adat saat mengambil hasil kelulusan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah para siswa berkonvoi dengan kendaraan, mencegah euforia berlebihan, sekaligus untuk memupuk rasa kecintaan terhadap pakaian adat pada generasi muda.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Bersama wali kelas

Baru ada 4 orangtua yang hadir dan waktu pun belum menunjukkan pukul 16.00, tapi wali kelas sudah masuk kelas dan memulai acara. Diumumkan bahwa di kelas ini ada yang mendapatkan nilai 10 untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Aku merasa pasti bahwa Dinda lah yang dimaksud. Begitu suamiku, eh maaf mantanku maju dan duduk di depan guru wali kelas, diberitahu bahwa Dinda mendapatkan nilai tertinggi (10) di mata pelajaran Bahasa Inggris. Wow! Aku senang banget. Dan, kata gurunya, Dinda akan mendapatkan hadiah dari sekolah.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Bersama Kepala Sekolah
Sesampai di bawah kami menyalami Dinda. Seolah ini membuktikan bahwa aku bisa mendidik anak meski dalam keterbatasan materi dan kasih sayang. Dan, aku yakin hal ini bisa membuka mata hatinya untuk kami. Bagaimana pun anak adalah investasi untuk masa depan. Bagaimana pun orangtua akan teringat pada anak kandungnya.

Friday, June 13, 2014

Kegelisahanku

Kegelisahanku

Rasanya senang bila ada grup yang mau menampung penulis atau calon penulis yang ingin berkontribusi di buku yang akan diterbitkan. Tentu saja ini merupakan buku karya bersama belasan atau bahkan puluhan penulis. Profit atau royalti istilahnya tak menjadi masalah, bahkan bila tidak mendapatkan royalti sekalipun. Aku anggap ini sebagai ajang pembelajaran di bidang kepenulisan buku.

Oleh karena itulah aku menggabungkan diriku ke grup tersebut, dan diterima. Namun kemudian timbul masalah ketika sepertinya diharuskan mengisi biodata penulis atau profil penulis. Waduh!!!
Aku keberatan tentu saja, karena tak ada apa-apa yang bisa aku tuliskan tentang diriku yang pantas dijual. 

Lihatlah tampang-tampang meyakinkan itu dan bacalah biodata mereka yang hebat-hebat itu. Ohh! Tak ada apa-apanya aku ini dibandingkan dengan mereka. Apa yang bisa aku banggakan dari diriku yang gagal ini? Seketika itu juga aku malu. Seketika timbul kegelisahan dalam diriku yang amat sangat. Nantilah kalau aku sudah berhasil menerbitkan beberapa buku, baru aku akan bergabung lagi dengan mereka. Setidaknya aku sudah memiliki buku-buku karya sendiri yang bisa aku banggakan.

Aku merasa bahwa aku sangat tak pantas berada di komunitas seperti itu. Tampang ceria mereka, pekerjaan keren mereka, ditambah dengan buku-buku karya mereka yang telah diterbitkan ............ ahh kepalaku jadi pusing. Kegelisahan menderaku. Aku bukan bagian dari mereka. Apa yang bisa kuperbuat? Masih ketinggalan jauh dari mereka. Aku malu, sangat malu telah memberanikan diri ikut bergabung dengan mereka.

Baiknya aku ngacir saja dari grup itu. Aku merasa belum pantas.

Sunday, April 13, 2014

Ceritanya Menjadi Saksi

Ceritanya Menjadi Saksi

Bermula dari seorang tetangga jauh yang memintaku atau tepatnya menawariku menjadi saksi dari sebuah parpol besar. Tawaran itu langsung saja aku ambil. Mengapa tidak? Aku anggap ini sebagai kerja sosial dan mencari pengalaman baru. 

Aku tinggal di tempat ini baru sekitar tiga setengah bulan. Namun demikian aku berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh. Ajang menjadi saksi aku gunakan untuk lebih mengenal mereka. Tentu belum banyak tetangga yang tahu tentang keberadaanku di sini. 

Beberapa orang mengira aku adalah anak atau famili dari yang punya rumah kontrakan ini atau famili dari tetangga jauh yang sekarang sudah seperti saudara. Aku tak ada hubungan persaudaraan dengan mereka, tetapi aku menganggap mereka sebagai familiku. 

Caleg di mana aku menjadi saksi ini kebetulan adalah tiga orang dari satu keluarga besar di lingkungan keraton. Mereka mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR RI, DPRD Tingkat I dan DRPD Tingkat II. Mereka adalah seorang ayah berdarah biru yang mempunyai wibawa khas pejabat di jaman Orde Baru, anaknya dan adiknya. Nepotisme? Kukira bukan nepotisme karena baik anak maupun adiknya sama-sama berjuang secara pribadi untuk bisa mendapatkan “kursi”. 

Dua kali pertemuan antara mereka bertiga dengan kami warga sekitar tempat tinggalnya telah berlangsung dengan baik. Berbagai hadiah yang disediakan adalah pemikat bagi kami. Kuakui mereka berbicara bahasa Jawa dengan sangat santun, tepatnya mereka menggunakan bahasa Jawa krama inggil kepada kami, kawula alit. Tidak semestinya seperti itu, tapi mungkin ini adalah salah satu cara untuk memikat kami agar mendukung mereka. 

Tepat pada hari pencoblosan, tanggal 9 April 2014 pukul 6.30 aku sampai di TPS dekat rumah, di rumah mantan RT. Ketika aku melongok ke dalam, dia bilang :”Belum buka”, aku hanya tersenyum. Padahal sebenarnya malamnya aku meyerahkan Surat Tugas ke TPS 11 ini tapi dia tidak ada. Jadi dia tidak tahu kalau aku menjadi saksi, maklumlah aku terhitung warga baru di sini. Saksi-saksi pun belum banyak yang datang. 

Acara dimulai pada pukul 07.30 diawali dengan pengambilan sumpah untuk para KPPS yang berjumlah 7 orang. Pengambilan sumpah disaksikan oleh para saksi yang berjumlah 8 orang , petugas keamanan dan beberapa orang yang akan memberikan suaranya. Orang-orang mulai berdatangan, duduk rapi di kursi-kursi yang berderet di halaman rumah. Sebuah tenda pun dipasang. Ini mirip dengan perhelatan, tetapi ini bernama pesta demokrasi. Satu persatu pemilih dipanggil memasuki bilik pemungutan suara untuk mencoblos gambar partai atau orang yang dipilihnya. 

Jumlah pemilih sesuai yang tercantum di DPT ada 248 orang, tetapi yang hadir memberikan suaranya hanya sebanyak 176 orang. Berarti yang tidak memberikan suaranya, memberikan suaranya di tempat lain atau yang golput sebanyak 72 orang. Di TPS 11 ini orang yang memberikan suaranya total berjumlah 179 orang terdiri dari 92 laki-laki dan 87 perempuan. Sementara yang 3 orang lagi menggunakan KTP untuk mendaftarkan diri, termasuk aku yang belum terdaftar di DPT setempat. Dari 179 suara tersebut, kemudian diketahui bahwa 16 suara dinyatakan tidak sah. Proses pemungutan suara berjalan sangat lancar. Seorang anggota KPPS sibuk dengan candaannya kepada para pemilih yang akan atau sedang memberikan suaranya, sehingga menimbulkan suasana ceria dan menghilangkan kantuk kami. 

Tepat pukul 13.00 kami beristirahat setengah jam. Kami harus kembali stand by pukul 13.30 untuk melakukan penghitungan suara. Penghitungan suara pun berjalan lancar tanpa kendala yang berarti. Para saksi dinilai kooperatif dan baik-baik. Kami segera mengetahui partai apa yang unggul dan caleg mana yang banyak mendapatkan suara. 

Proses penghitungan suara kira-kira berakhir pada pukul 21.00. Di TPS 11 ini, PDIP menduduki peringkat pertama disusul dengan Golkar di urutan kedua. Nampak sekali ada fanatisme terhadap partai tertentu. Dan, dengan adanya perbedaan perolehan suara pada caleg antara DPR RI, DPRD I dan DPRD II, maka terlihat bahwa orang sekarang cenderung memilih orang ketimbang memilih partai, kecuali adanya fanatisme yang mencolok pada partai tertentu. 

Tepat pukul 22.15 berakhir sudah semua proses. Proses terakhir adalah penandatanganan Formulir Model C, C1 dan Lampiran Formulir C1. Kemudian laporan penghitungan suara beserta berkas tersebut aku serahkan kepada orang yang memberikan tugas /mandat sebagai saksi yang telah duduk menunggu di luar ruangan. 

Keesokan harinya baru aku ketahui bahwa ada dua TPS di sekitar sini yang proses penghitungan suaranya diulang lagi, hingga mereka harus pulang pada pukul 03.00 dini hari. Ini adalah pengalamanku menjadi saksi di TPS pada PEMILU CALEG 2014. 

Catatan : 
KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara 
DPT : Daftar Pemilih Tetap 
TPS : Tempat Pemungutan Suara 


Tuesday, March 25, 2014

Pengin Pergi

Pengin Pergi


Kalo ada GA tentang perjalanan ke mana yang kamu inginkan atau perjalanan yang pernah dilakukan yang mengesankan ...................... aku pasti gak ikutan. Pengin ikutan, itung-itung buat ngisi blogku, tapi apa yang mau diceritakan? 

Bukannya aku tak pernah pergi, tapi ..... rasanya semua perjalanan yang aku lakukan tak berkesan dan tak pantas buat diceritakan. 
Di dalam negri, tempat paling jauh di mana aku pernah menjejakkan kaki adalah Pulau Bali, sementara di luar negri adalah Singapura dan Malaysia. Tak ada yang berkesan, semua terasa biasa-biasa saja. 

Bicara tentang perjalanan, maka aku pasti teringat waktu aku masih SMA. Waktu itu akan diadakan semacam karya wisata ke Kediri. Yossie, ketua OSIS yang waktu itu naksir aku, demikian juga aku sebaliknya, mendatangi kelasku. Dia menyatakan kegirangannya saat tahu kalo aku mau ikutan. Tetapi ternyata orangtuaku tak membolehkan aku ikut. Dan, acara itupun juga bukanlah merupakan kewajiban bagi seluruh siswa. 

Tibalah waktu untuk pergi ke Kediri, aku gak jadi ikut. Rasa kecewa mendalam sangat kurasakan sampai detik ini bila mengingatnya. Ibuku hanya memberiku sebuah majalah remaja. Aku membaca tapi cemberut, kuhela nafas panjang beberapa kali. Melihat itu ibuku marah-marah. 

Sementara di sana, Yossie selalu mendekati teman sekelasku Evi, bertanya-tanya tentang aku. Hal ini aku ketahui karena Evi menceritakan semuanya. Tetapi tentu Evi tak bercerita tentang fitnah-fitnah tentangku yang diceritakan pada Yossie. Sejak itu Yossie tak mendekatiku lagi. Cinta pertamaku kandas sudah. 

Padahal Yossie adalah satu-satunya "orang dekat" yang seiman. Setelahnya belum pernah aku temukan "teman dekat" yang seiman lagi. Kabar terakhir beberapa tahun yang aku tahu lewat facebook, dia sekarang bekerja di Mabes Polri Jakarta. Lagi-lagi orang hukum, dan lagi-lagi Jakarta. Betapa Jakarta banyak menyimpan cinta.

Cukup, aku tak mau cerita lagi tentang hal itu. Hidup itu harus berjalan, sementara aku tak pernah merasakan adanya cinta pertama. Aku melewatinya begitu saja, tapi ini bukan mauku. 

Betapa iriku saat mendengar mereka dengan riangnya menceritakan tentang pengalaman mereka bepergian dengan yang dicinta. Meskipun tempat tujuannya bukanlah tempat-tempat yang mewah tapi “bersama dengan siapa” nya itulah yang membuat mereka gembira. 

Pernah aku pergi ke Bali dengan “seseorang”, tapi aku tahu bahwa dia mengenang “seseorang”-nya. Aku lirik, matanya menutup, tapi ketika matanya terbuka, matanya nampak sembab. Jadi buat apa aku pergi “dengannya” jauh-jauh kalo dia memikirkan yang lain yang jauh? Kurasa itu cuma hal percuma. 

Bepergian atau travelling sebenarnya adalah hobiku, tapi apa daya belum ada hal yang mendukung. Ya sudah terima dulu kenyataan ini. 

Suatu saat aku ingin menjejakkan kaki di negri orang–orang lain. Semoga. Dan, tentu bersama “yang dicinta”. Semoga. 

Artikel Terkait :


 <iframe frameborder="0" src="http://kumpulblogger.com/machor.php?b=214763" width="100%" height="200px" marginwidth=0 marginheight=0 ></iframe>
                

Tuesday, March 4, 2014

Terjebak Banjir di Jalan Notosuman Solo

 
Terjebak Banjir di Jalan Notosuman Solo
Serabi Notosuman

Sehabis ngantar anak les, aku mampir ke Jalan Notosuman yang terkenal dengan serabinya itu, untuk beli pulsa. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya disertai angin yang meliuk-liuk, dan juga guntur yang melengking. Baru beberapa menit saja jalan besar langsung kebanjiran. Semakin lama semakin deras dan tentu saja semakin banjir. 

Aku keluar dari gerai bermaksud nekat pulang saja menembus hujan, tapi banyak orang berdiri di pinggiran ruko menanti hujan reda. Tak hanya pengunjung yang keluar, tapi juga beberapa karyawan dari deretan ruko-ruko tersebut. Nampaknya banjir kali ini menjadi tontonan gratis bagi kami. Banyak yang mengambil gambar keadaan banjir tersebut. Sayang sekali aku tak membawa handphone jadi tak sempat mengambil gambar banjir. 

Aku sempat bertanya pada seorang karyawan dari kantor perwakilan Blackberry, katanya banjir di jalan ini sudah biasa tapi baru kali ini banjir mencapai halaman ruko. Oh begitu.

Orang-orang berdiri menanti hujan reda dan banjir surut. Bila ada sepeda motor yang nampak mogok, mereka bersorak. Yah, masih saja ada tawa di tengah kerepotan sedikit ini.

Kemudian aku berkenalan dengan seorang ibu yang ternyata sebagai agen asuransi. Tentu saja dia menawariku asuransi, jenis asuransi pensiun. Yah, perlu juga tapi nanti dululah.

Hujan akhirnya reda juga, tapi banjir masih belum surut. Beberapa saat kemudian setelah banjir agak surut kuberanikan diri untuk pulang, toh lumayan dekat jaraknya dari rumah. Ternyata Jalan Kalilarangan dan Jalan Yos Sudarso tidak banjir. 

Sedari tadi aku sebetulnya mencemaskan keadaan rumahku eh bukan, tepatnya rumah kontrakanku. Tadi belum sempat pasang ember di ruang tamu yang bocor, jadi kebayang bagaimana nanti aku membersihkannya. 

Kecemasanku terjadi juga, lantai ruang tamuku basah oleh air hujan yang jatuh dari atap yang bocor. Air melimpah-limpah sangat merepotkan. Aku ambil kain pel dan mulai aku bersihkan. Di ruang tamu ada terletak septitank yang di atasnya ada kotak penutup yang tak rapat yang ditutup dengan triplek dan keset karet. Aku buka penutup itu dan ...... banyak kecoak berhamburan keluar, aku sampai panik. Untung ada semprotan pembunuh serangga. Aku habiskan isi botol yang tersisa. Ada kalajengking juga di situ, ngeri pokoknya berperang melawan mereka sendirian.

Aku agak lega setelah mengepel ruang tamu. Aku bermaksud istirahat sambil online di kamar tidur, tapiiii ..............oh ternyata kasurku kebanjiran. Belum pernah seperti ini sebelumnya. Barangkali hanya iternit saja yang diganti tapi genteng tak dibenahi. Percuma.

Jadi mau kesal bagaimana ya? Ya terima kenyataan sepahit apapun. Bagaimana pun Tuhan masih memberi kami tempat untuk bernaung. Meski sebagai mantan keluarga jaksa madya, hal ini sangat tak layak kedengarannya dan dirasakannya.

Kami mencoba mensyukuri apapun yang diberikanNya. Toh kami masih bisa makan, berpakaian layak dan juga bertempat tinggal. Airmata yang jatuh di pipiku membuat pipiku nampak halus saja. Tak boleh berprasangka buruk padaNya. Tuhan itu adil. Kalo bukan kemarin dan sekarang, pasti Tuhan akan memberikannya esok hari. Tuhan pasti mengganti segala kepunyaanku yang telah "dirampasnya".  Itu pasti. 

Rasakan dan nikmati saja kepahitan yang nikmat ini.

"Meminta, bersyukur dan menerima"
        Bukankah itu hukumnya?


Wednesday, February 19, 2014

Menang Lomba

Menang Lomba


Jam tiga dini hari aku terbangun oleh suara sesak nafas yang kelihatannya sangat menyiksa dari rumah sebelah. Seorang kakek yang tinggal sendirian terdengar mengeluh kesakitan. Aku buru-buru mendatanginya. Pintu ternyata tidak terkunci jadi aku bisa langsung masuk untuk melihat keadaannya. Dia duduk di tempat tidur dengan nafas yang terengah-engah. Nampaknya dia suka melihat ada yang datang memberi pertolongan pertama.

Buru-buru aku menuju dapur, mengisi ceret dengan segelas lebih air dan memanaskannya. Kutuang sedikit serbuk teh ke dalam cangkir besar kemudian setelah air mendidih, aku menuangkan air panas ke dalamnya. Aku juga menyiapkan sebuah gelas diisi sesendok kecil gula. Setelah beberapa menit jadilah segelas teh panas dengan manis sedang. Kalo manis-manis takut diabetes, katanya. Aku menaruh teh tersebut di meja kecil di dekat tempat tidur dan mempersilahkan minum.

Hari masih sangat gelap belum nampak aktifitas orang,  maklumlah sekitar jam tiga lebih sedikit. Aku mendatangi asisten yang biasa menemaninya dan mengurus segala keperluannya siang hari sampai jam sebelas malam. Tidak jauh dari rumah, letaknya. Tapi sayang pintu gerbangnya dikunci. Aku panggil-panggil tak ada sahutan. Ya lebih baik aku pulang sajalah.
Kemudian ketika dari masjid sudah terdengar ada aktifitas, aku mendatangi rumah asistennya lagi, kali ini dia mendengarku. Tapi sayang dia bilang:"Biar saja mbak memang sudah biasa begitu". Masak sih? Biasa sesak nafas kesakitan begitu? Aku sebagai pendatang baru di lingkungan itu tak begitu mengerti. Aku pulang dan sampai rumah menghidupkan laptop, online. Aku tak bisa tidur sampai pagi menjelang. Aku sangat mengkhawatirkan kesehatannya.

 Paginya sepulang mengantar sekolah Dinda, aku lihat di HP-ku ada laporan tentang pemenang GA-nya Pakdhe Cholik. Kok pengumuman pemenang sampai ada laporannya masuk ke HP segala. Barangkali aku salah satu pemenangnya. 
Saat aku online, ternyata benar saja, aku termasuk salah satu dari keenam pemenangnya. Hadiahnya sebuah buku berjudul Woman Netpreuner. Wah kayaknya bagus nih buku.


Menang Lomba

Tadi siang, bukunya sudah sampai ke rumah, padahal kemarin aku baru memberi alamatku lho. Cepet banget proses pengirimannya. Barangkali karena purnawirawan TNI jadi ya sudah terbiasa gerak cepat dan tentu saja disiplin. Makasih ya Pakdhe Cholik. Buku yang sangat cocok untukku, seakan mengingatkanku untuk kembali menekuni bisnis online yang sejenak terlupakan.

Ini adalah awal yang baik bagiku yang memang ingin menjadi penulis yang baik dan juga sukses berbisnis secara online.

Thursday, February 6, 2014

Menulis Dengan Gamang



Entah kenapa akhir-akhir ini pikiranku seolah buntu untuk menulis. Benar-benar kehilangan ide. Betapa begitu banyak yang ingin kutuliskan namun kurasa tak pantas untuk dituliskan. 

Aku menjadi gamang, berdiri kaku tanpa langkah yang jelas. Padahal ide-ide kreatif itu meluap-luap ingin dimuntahkan, tetapi tak boleh. Aku harus lebih hati-hati lagi dalam menulis, setelah beberapa waktu lalu ada beberapa orang yang merasa tersinggung atas tulisan-tulisanku yang sangat jujur apa adanya. 

Memang waktu itu tanpa tedeng aling-aling kumuntahkan hampir semua uneg-unegku karena aku merasa tak tahan lagi dengan semua kejadian yang menimpaku. Ancaman bahwa aku akan diperkarakan atas nama pencemaran nama baik membuat hatiku ciut. 

Kejujuran yang murni tak bisa diterima oleh manusia pada umumnya. Kejujuran mestinya diselubungi kain putih halus hingga kejujuran menjadi bias. 
Alangkah mirisnya bila kejujuran dipermasalahkan. 
Haruskah aku hidup penuh kepura-puraan? 

Aku ingin segera bebas lepas dari semua himpitan dan deraan ini. Aku ingin bebas mengungkapkan semua perasaanku, tapi bisakah? Bisa, tentu saja namun ada semacam tali yang mengikat jari –jemariku agar tak secara liar bermain di atas tuts keyboard. Ada semacam rem agar jari-jemariku tidak bergerak dengan liarnya. Rem itu bernama ketakutan. 

Menulis tak lagi bebas sebebas terbangnya burung merpati. Aku merasa menulis dalam kungkungan. Perasaan yang ada di dalam hati itu tidak boleh dituliskan secara telanjang. Bahasa-bahasa kiasan pun masih bisa dimengerti, atau malah salah dimengerti? 

Biar segala perasaan kusimpan saja sendiri. Tapi bukankah menulis menjadi semacam terapi bagi diriku? 
Bukankah kita akan menjadi lega setelah mencurahkan kegelisahan? Tak semua bisa menerima, terutama yang merasa tersentil bahkan tanpa sengaja. 
Bukankah menulis juga dapat membebaskan diri dari deraan batin? Menulis juga dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Ada yang bilang begitu sih. 

Baik yang tersentil karena menjadi penyebab kebahagiaan, terlebih menjadi penyebab penderitaanan, tak semua bisa menerima. Hidup memang aneh.

Wednesday, January 29, 2014

Me-rescue Kucing


29 Januari 2014
Sore tadi saat aku asyik online, tiba-tiba terdengar suara :"Ngeooooong ........ ngeooooong ...... ngeoooong ......" Suara kucing mengeong keras sekali seperti sedang disiksa. Kalo kucing melahirkan malah tidak bersuara, aku pikir itu suara kucing yang sedang butuh pertolongan.. Suara kucing mengeong itu diselingi beberapa suara guyuran air yang keras, sepertinya banyak air yang diguyurkan. Rasanya semakin yakin bahwa ada seekor kucing yang dipegang kemudian diguyur dengan air beberapa kali. Teganya.


Aku buru-buru keluar rumah  berjalan ke arah suara itu. Ternyata suara itu berasal dari sebuah sumur milik tetangga. Aku lihat seorang tetangga sedang menaikkan timba air dari dalam sumur, tapi ember timbanya berisi air dan ..... seekor kucing!.

Segera aku mengambil kucing itu dan kubawa ke rumah bagian luar. Kuletakkan kucing itu di atas mesin cuci. Kuambil beberapa kain perca lalu kuusap-usapkan pada seluruh tubuh kucing. Kucing berwarna merah itu cuma diam saja. Aku terus mengusap tubuh kucing sampai air mulai mengering. Kemudian kupangku kucing itu sambil terus kuusap-usap tubuhnya. Kusuruh Dinda, anakku mengambil handuk yang tak terpakai untuk membungkus tubuh kucing yang sangat menggigil kedinginan. Kucing itu anti air, jadi bisa dibayangkan bagaimana paniknya dia saat kecebur ke sumur tadi.


Kucing masih saja menggigil padahal sudah kubungkus rapat dengan handuk. Aku memeluknya seakan itu adalah kucingku. Dia mulai tenang tapi kelihatan kelaparan. Kemudian anak kecil tetangga mengambilkan beberapa potong ikan bandeng goreng, tapi kucing hanya memakan sebagian saja. Badannya masih saja gemetar menahan dingin.

Kucing ini nampak bukan kucing lokal biasa, terlihat dari bulunya yang panjang-panjang. Aku yakin ini kucing blasteran antara lokal dengan anggora. Setelah kurasa kucing mulai nyaman, aku masuk ke dalam.
Petangnya setelah hari gelap, kucing itu datang lagi mengeong-ngeiong pelan dan duduk di buk.Buk adalah tempat duduk permanen yang terbuat dari batu bata yang disemen. Aku keluar memanggilnya, herannya kucing itu mengikutiku masuk. Aku menggendongnya dan kupamerkan pada Dinda. Surprise! Ada kucing lagi di rumah, meski itu bukanlah kucingku.


Nampaknya kucing itu merasa nyaman di dalam rumah. Ke mana pun aku melangkah selalu diikuti. Aku juga mengajaknya bicara, meskipun kucing hanya bisa menjawab :"ngeong" saja. Itu pun sudah membuatku senang. Aku memang terbiasa menyapa kucing yang kujumpai entah di jalan , di pasar atau di manapun berada. Jawaban "ngeong" pun membuatku tertawa puas.


Kucing jantan  ini diberi nama oleh Dinda sebagai Binggo. Katanya, Bonggo berarti "blasteran indo dan gorila" lho? Gorila dari mana? Mungkin saja karena kucing ini nampak lebih besar dari kucing biasa. Dan,  entah Binggo ini kucing milik siapa.
Dinggo jarang bicara eh mengeong seperti kebanyakan kucing lokal lainnya. Semakin aku yakin ada darah kucing anggora di tubuhnya. Yang aku tahu, kucing anggora lebih pendiam dibanding kucing lokal.
Yang membuatku heran, kenapa Dinggo cepat sekali akrab denganku? Apakah karena aku yang menyelamatkannya. Menyelamatkan kucing atau me-rescue kucing telah kulalukan sore tadi. Sebetulnya tidak benar-benar me-rescue, aku hanya mengeringkan tubuhnya saja. Karena terbiasa memegang kucing tentu tak kerepotan aku melakukannya. Mungkin hal inilah yang membuatnya lengket denganku. Tapi barangkali karena aku mengerti kemauan mereka, jadi mereka kucing-kucing itu mudah dekat denganku. Lagi pula aku memang tulus menyayangi mereka.

Dari ketika Dinggo datang, aku dan Dinda sibuk mengambil gambarnya tapi sulit minta ampun. Dinggo selalu bergerak saat dipotret, jadi hasilnya kurang memuaskan. Dinggo seolah menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri. Terkadang duduk di pangkuanku, tidur di karpet, bahkan naik ke kasur seperti yang kulakukan. Dia pun mengikutiku ke mana pun aku bergerak, tapi ketika aku keluar membuang sampah dia tidak mengikutiku keluar. Dia lebih suka berada di dalam rumah.


Aku yang meninggalkan ketujuh kucingku di rumah lama seakan mendapat pengganti, meskipun wajahnya tak seganteng kucing yang kutinggalkan. Apa salahnya aku menolong kucing yang membutuhkan pertolongan? Aku membayangkan bila kucing-kucing yang kutinggalkan menderita atau membutuhkan uluran tangan manusia, kuharap selalu ada yang mau membantu dan menolong mereka.

31 Januari 2014
Binggo benar-benar suka tinggal bersamaku. Kehadiran Binggo seolah sebagai penawar rindu lama tidak bercengkerama dengan kucing. Sudah dua malam ini Binggo tidur denganku. Rasanya nyaman sekali, tetapi hati-hati jangan sampai bulu kucing terhirup nafasku. Di sini lumayan jauh dari rumah sakit, jadi perlu hati-hati menjaga asmaku agar tidak kumat. 

Kucing blasteran ini berbeda dengan kucing lokal, seakan lebih tahu soal tata krama. Binggo tak pernah mengganggu orang sedang makan, seperti kebiasaan kucing lokal. Juga Binggo tak mencuri, seperti kebiasaan kucing lokal. Soal makan Binggo sulit sekali, terkadang mau makan bandeng goreng tapi hanya sedikit.Nafsu makannya nyaris tak ada. Katanya biasanya Binggo diberi makan nasi bandeng mentah malah. Barangkali di sini dia minta whiskas. Okelah kapan-kapan aku belikan asal Binggo masih suka di sini.

Tuesday, January 28, 2014

Menjejak Pantai



Menjejak pantai kini kurasakan lagi setelah sekian lama. Pagi beranjak siang ketika kujejakkan kakiku di pantai berpasir hitam ini. Matahari mulai naik, sinarnya menyilaukan mata. Tak heran bila panas terasakan oleh kulitku yang sensitif. Namun pasir terasa dingin dan lembut di tangan. Kulihat gulungan ombak silih berganti seolah saling berlomba mencapai pantai.
Pantai ini tak begitu luas, tapi cukuplah untuk melepas lelah dengan memandangi lautan luas dan segala aktifitas orang-orang di situ.

Pantai Depok Yogyakarta

Di sana sini kulihat orang-orang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.  Ada segerombol orang sedang duduk-duduk di pantai beralaskan tikar. Barangkali itu sebuah keluarga besar, nampak dari usia mereka yang beragam dan keakraban yang terlihat. 
 
Segerombol orang duduk di pantai
Duduk-duduk sambil bercengkerama dan makan adalah hal yang indah dalam keluarga. Apalagi bila ditambah dengan menikmati pemandangan alam pantai dan bisa memandang lautan yang  jauh, rasanya segala stres hilang.

Ayah dan anak bermain APV

Ada juga beberapa orang ayah yang menaiki APV dengan satu anaknya menyusuri pantai.  APV ini disewakan dengan tarif sewa Rp. 25.000,- per 15 menit. Beberapa pasang ayah-anak terlihat menikmati mainan ini.

Aku dan Dinda, anakku

Beberapa orang nampak berfoto-foto dengan back ground indahnya laut yang berwarna biru muda. Cuaca sangat cerah hari ini. Langit berwarna biru muda ditingkahi sedikit awan putih dipadu warna laut yang juga biru. Berjalan-jalan menyusuri pantai , alangkah nikmatnya. 

Aku dan mbak Yani
Sayang, aku tak membawa pelindung muka, seperti payung, topi atau kacamata. Karena panas sangat menyengat, jadi aku tidak berlama-lama di pantai. Sebetulnya ada sih penjual kacamata di sini.
 
Mau melaut 1

Ada juga nelayan yang mau melaut. Aku agak heran, hari sudah menjelang siang, tapi kenapa ada nelayan yang mau melaut. 

Mau melaut 2
Bukankah biasanya mereka melaut pada sore atau malam hari dan kembali ke pantai pagi harinya? 

Mau melaut 3
Apa siklus cuaca yang berubah mempengaruhi  jam kerja mereka? Aku belum sempat bertanya soal ini pada mereka.   

Mau melaut 4
Aku melihat ada sebuah perahu nelayan yang didorong oleh sebelas nelayan menuju laut. Pelan namun pasti kesebelas nelayan itu mendorong perahu sampai ke laut sampai tersisa dua nelayan saja yang membawa perahu tersebut ke laut lepas. 

Mau melaut 5
Mataku mengikuti perahu itu sampai tak terlihat lagi.


Ketika melewati perahu nelayan, ada seorang nelayan yang menawarkan ikan segarnya. Dan mbak Yani membeli satu plastik berisi ikan segar aneka jenis harganya cuma Rp. 25.000,- murah sekali. 

Membeli ikan langsung darii nelayan
Selama tawar menawar berlangsung ada seorang ibu yang menawarkan jasa memasaknya. Warung makan ibu itu berada tepat di pinggir pantai. Agak menyesal kami menolak halus, karena sudah ada yang memasakkan untuk kami.



Banyak penjual  menjajakan dagangannya di sini, seperti misalnya jagung bakar, rujak, minuman, makanan ringan, dan sebagainya. Pokoknya tak akan kelaparan berada di pantai ini.


Suasana di Pantai Depok
Pantai ini bernama Pantai Depok, terletak di dekat Pantai Parangtritis. Jelasnya tepat sebelum mencapai gerbang Pantai Parangtritis, kemudian belok ke kanan melewati  jalan desa yang sudah beraspal halus. 

Pasar Ikan Segar Pantai Depok
Tidak berapa lama akan sampai di pantai ini. Namun tadi kami mampir dulu membeli ikan di Pasar Ikan Segar  tak jauh dari pantai. Pasar ini berupa satu los panjang dengan kanan kiri dipenuhi pedagang ikan segar bermacam jenis. 

Pasar Ikan Segar Pantai Depok
Sewaktu kami memasuki pasar ini, ada seorang ibu yang mengikuti dengan menawarkan jasa memasak ikan yang kami beli. Aku membeli tiga ikan bawal agak besar dan seperempat  cumi-cumi pesanan Dinda, anakku. Kemudian kami berjalan mengikuti ibu yang akan memasakkan ikan dan cumu-cumi yang tadi dibeli. Sayangnya, warung makan ibu itu tidak persis berada di pinggir pantai, jadi tidak bisa makan sambil memandangi pantai.


Kami menuju pantai sambil menunggu menu makan siang tersaji.  

Setelah puas memandangi pantai, kami pun kembali menuju warung makan dan makan siang pun sudah siap untuk disantap. Tak lupa mbak Yani menyerahkan satu plastik ikan segar yang tadi dibeli langsung dari nelayan. Mbak Yani adalah menantu dari mBah Joyo yang sedang aku tengok karena sudah tua 89 tahun.

Menu makan siang di Pantai Depok
Menu makan siang kali ini adalah ikan bawal bakar, cumu-cumi asam manis pedas, sambal  dan lalap serta cah kangkung sebagai bonusnya. Tadi belum sarapan, tapi makanan ini membuat perutku kenyang sekali.  Kami duduk-duduk dulu karena kekenyangan sambil menunggu masakan episode kedua matang.  Masakan ini akan kami bawa pulang buat oleh-oleh.  Sebagian masakan ini akhirnya aku bawa pulang ke Solo, karena sorenya aku langsung pulang.

Pantai Depok Parangtritis Bantul Yogyakarta

Pantai Depok yang baru aku kenal dan kunjungi , aku rekomendasikan buat yang ingin menikmati pantai sambil makan makanan hasil laut yang masih segar. Di sini ada kebiasaan, pembeli membeli  sendiri ikan atau jenis hasil laut yang lain, kemudian akan ada yang menawarkan jasa untuk memasak. Kalo di Pantai Parangtritis tidak dijumpai warung makan – warung makan seperti ini, lagipula pasar ikannya terletak di Pantai Depok ini.

Buat yang belum pernah berkunjung ke pantai ini, silahkan  mengunjunginya sekali waktu. Tiket masuk ke pantai ini hanya Rp. 5.000,- per orang. Jasa memasak ikan Rp. 10.000,- per kilogramnya. Aku kira tak terlalu mahal, karena di sini bisa menikmati pemandangan yang lumayan indah sambil melepas lelah dari pekerjaan sehari-hari sekaligus menghilangkan stres.