"Bertanyalah pada hatimu, jangan biarkan orang lain yang ambil keputusan"
Dalam menghadapi masalah, pertama yang harus dilakukan adalah bertanya pada hati kita. Hati memiliki kepekaan yang lebih dalam memandang suatu masalah. Jangan sampai terpengaruh oleh pendapat bahkan paksaan orang lain. Apalagi bila orang lain mempunyai maksud-maksud jahat pada kita, kitalah yang akan menyesal jadinya.
Penyesalan seperti ini sering aku alami. Karena lebih percaya pada orang lain daripada diriku sendiri, maka aku sendirilah yang merasakan akibat buruknya. Sungguh sangat parah.
Misalnya tentang perceraianku. Pernah aku berencana sewa pengacara saja dengan bayar 5 juta di depan, tetapi kemudian aku berpikir untuk setujui saja kesanggupan mantan tentang finansial. Toh nanti bisa negosiasi saat mediasi dengan hakim, pikirku. Namun tiba-tiba dapat bbm dari seorang teman lama yang menjadi pengacara. Dia menawarkan bantuan membuat surat-suratnya. Ya, aku terima saja bantuannya, karena tidak enak untuk menolak. Tidak enakan hati adalah sifatku.
Kupikir aku akan terbantu oleh temanku ini, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Dia tidak fokus secara praktis menghadapi sidang, tetapi lebih pada urusan surat-menyurat alias teoritis.
Surat-menyurat, jumlah hakim, lapor ke polisi, minta surat dari psikiater, dan mengirim surat ke Kajagung adalah nasehatnya. Belum lagi aku disuruh membatalkan Surat Perjanjian antara aku dan mantanku, katanya biar nanti aku bisa dapat lebih besar dari jumlah itu.
Aku ini mau cerai, jadi sedang bermasalah secara psikologis. Dengan demikian, aku tak bisa berpikir secara jernih. Yang seharusnya pengacara berada di depan mewakili penggugat, tetapi ini malah berada di belakangku.
Perlu diketahui bahwa dia bekerja di Jakarta, sekota dengan mantanku.
Terus terang aku kebingungan karena tak mendapat penjelasan pasti. Dulu sewaktu kuliah, tak pernah aku menghadiri sidang cerai karena itu merupakan sidang tertutup. Jadi jelas tak ada gambaran tentang bagaimana pembicaraan di dalam sidang cerai. Aku percaya pada pengacara yang juga teman lama ini karena dia pernah bekerja di Pengacara Elsa Syarif yang sekarang mendirikan kantor kepengacaraan sendiri. Namun sayangnya, apa yang mesti aku ungkapkan di sidang tak dijelaskannya. Ditambah lagi aku harus membatalkan surat perjanjian, semakin bingunglah aku.
Orang-orang sekelilingku pun mendesak agar aku harus mendapatkan rumah, yang penting itu rumah. Semakin kacaulah pikiranku. Terlalu banyak berpikir tentang pendapat orang lain. Harusnya aku mengerti bagaimana pelitnya mantanku, jadi yang aku butuhkan adalah putusan yang kuat.
Pada akhirnya aku harus menelan ludah pahit. Putusan hakim hanya sepertiga dari janjinya. Tetapi setelah putusan, mantanku janji akan memenuhi janjinya yang sampai detik ini belum dipenuhi. Yang aku dapatkan baru 54 juta setelah 9 bulan sejak putusan, itupun dicicil sepuluh sepuluh. Putusan hakim cuma 50 juta dan nafkah anak 600 ribu perminggu. Sungguh hakim tidak mempertimbangkan sedikitpun alasan-alasan dan bukti-bukti yang aku berikan.
Sidang berlangsung selama berbulan-bulan tetapi putusan sangat jauh dari harap. Waktu, tenaga dan pikiran terbuang percuma. Kalo begini, cukup mediasi saja yang difokuskan, jadi tidak bertele-tele seperti ini. Aku memang tak ajukan banding, karena aku menghargai mantanku yang akan penuhi semua janjinya.
Percaya pada hati kita dan pada diri sendiri adalah hal sangat penting. Jangan sampai justru mengikuti pendapat orang lain dan membiarkan orang lainlah yang ambil keputusan. Jika yang terjadi bukan seperti harapan kita, maka kitalah yang merasakan dan menjalaninya, bukan orang (orang-orang) lain itu. Jadi bertanyalah pada hatimu sebelum ambil keputusan.