Rose is love

Mawar identik dengan cinta karena mawar bisa mengungkapkan betapa indahnya cinta, betapa romantisnya cinta.

Wanita

Wanita ibarat kelembutan yang rapuh, namun wanita memiliki kekuatan yang dasyat tak terkira.

Solo

Solo atau Surakarta merupakan kota eks karesidenan di Jawa Tengah. Solo adalah kota yang sangat berkembang tak kalah bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia.

Embun Pagi

Embun menetes tiap pagi hari, menyentuh dedaunan, bunga-bunga, dan segala permukaan di bumi. Embun sungguh menyejukkan hati kita, membeningkan pikiran kita.

Kucing

Kucing adalah hewan yang paling menyenangkan. Tingkah polahnya yang lucu bisa menghalau galau dan menggantikannya dengan senyum bahkan tawa.

Tuesday, June 17, 2014

Hebohnya Pengumuman Kelulusan



Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Pukul 11.00 Dinda sudah bersiap menuju rumah si perias pengantin yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari rumah. Seorang laki-laki dengan gaya yang feminim dan istrinya menyambut kedatangan kami. Dengan cekatan Mas Dedi mulai merias wajah Dinda, kemudian menyanggul rambut Dinda. Rambut tidak memakai sanggul tiruan, namun hanya rambut asli saja yang dibentuk seperti sanggul dan diberi hiasan rambut berbentuk bunga-bunga di bawahnya. Kuakui hasil karya Mas Dedi sangat bagus, sanggulnya bagus, riasan wajahnya pun nampak alami dengan warna riasan yang soft.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Dinda dan papanya

Pukul 12.00 selesai sudah Dinda dirias dan didandani dengan kain Jogjanan yang dominan warna putih dan kebaya berwarna biru pastel. Kalung dan giwang pun dipakai untuk melengkapi penampilannya. Kami pulang ke rumah dulu sekalian Dinda belajar berjalan dengan mengenakan pakaian adat karena nanti ada acara lomba keluwesan yang harus diikuti semua siswa-siswi.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Papanya Dinda akhirnya bersedia pulang juga menemani anaknya menerima pengumuman kelulusan. Baru saja kami sampai rumah, ketika papanya datang. Lama juga tak bertemu dengannya, kucium tangannya. Tapi percayalah perasaanku biasa saja. Kemudian Dinda dan papanya menyempatkan diri untuk foto-foto dulu sebelum berangkat ke sekolah. Acara dimulai pukul 13.00, jadi masih ada waktu.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Setelah mengantar Dinda ke sekolah, kami mencari tempat makan dulu. Aku merasa perjalanan agak memutar, kemungkinan dia sudah lupa dengan jalanan di Kota Solo, kotanya kuliah dulu. Kami menghabiskan waktu di rumah makan. Ketika waktu menunjukkan pukul 16.30 kami menuju ke sekolah Dinda di SMPN 27 Solo. Acara pengumuman kelulusan dimulai pukul 16.00. Orangtualah yang menerima hasil UN.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Suasana sekolah berbeda kali ini. Warna-warni pakaian adat Jawa (terutama) yang dikenakan siswa-siswi kelas IX memberi nuansa tersendiri. Suara musik masih terdengar ketika kami memasuki kelas yang terletak di lantai tiga. Baru ada seorang ibu yang datang, maklumlah waktu belum menunjukkan pukul 16.00.
 
Hebohnya Pengumuman Kelulusan

Keharusan mengenakan pakaian adat ini adalah ketentuan dari Dinas Pendidikan Kota Solo. Dinas mengharuskan semua siswa mengenakan pakaian adat saat mengambil hasil kelulusan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah para siswa berkonvoi dengan kendaraan, mencegah euforia berlebihan, sekaligus untuk memupuk rasa kecintaan terhadap pakaian adat pada generasi muda.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Bersama wali kelas

Baru ada 4 orangtua yang hadir dan waktu pun belum menunjukkan pukul 16.00, tapi wali kelas sudah masuk kelas dan memulai acara. Diumumkan bahwa di kelas ini ada yang mendapatkan nilai 10 untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Aku merasa pasti bahwa Dinda lah yang dimaksud. Begitu suamiku, eh maaf mantanku maju dan duduk di depan guru wali kelas, diberitahu bahwa Dinda mendapatkan nilai tertinggi (10) di mata pelajaran Bahasa Inggris. Wow! Aku senang banget. Dan, kata gurunya, Dinda akan mendapatkan hadiah dari sekolah.

Hebohnya Pengumuman Kelulusan
Bersama Kepala Sekolah
Sesampai di bawah kami menyalami Dinda. Seolah ini membuktikan bahwa aku bisa mendidik anak meski dalam keterbatasan materi dan kasih sayang. Dan, aku yakin hal ini bisa membuka mata hatinya untuk kami. Bagaimana pun anak adalah investasi untuk masa depan. Bagaimana pun orangtua akan teringat pada anak kandungnya.

Friday, June 13, 2014

Kegelisahanku

Kegelisahanku

Rasanya senang bila ada grup yang mau menampung penulis atau calon penulis yang ingin berkontribusi di buku yang akan diterbitkan. Tentu saja ini merupakan buku karya bersama belasan atau bahkan puluhan penulis. Profit atau royalti istilahnya tak menjadi masalah, bahkan bila tidak mendapatkan royalti sekalipun. Aku anggap ini sebagai ajang pembelajaran di bidang kepenulisan buku.

Oleh karena itulah aku menggabungkan diriku ke grup tersebut, dan diterima. Namun kemudian timbul masalah ketika sepertinya diharuskan mengisi biodata penulis atau profil penulis. Waduh!!!
Aku keberatan tentu saja, karena tak ada apa-apa yang bisa aku tuliskan tentang diriku yang pantas dijual. 

Lihatlah tampang-tampang meyakinkan itu dan bacalah biodata mereka yang hebat-hebat itu. Ohh! Tak ada apa-apanya aku ini dibandingkan dengan mereka. Apa yang bisa aku banggakan dari diriku yang gagal ini? Seketika itu juga aku malu. Seketika timbul kegelisahan dalam diriku yang amat sangat. Nantilah kalau aku sudah berhasil menerbitkan beberapa buku, baru aku akan bergabung lagi dengan mereka. Setidaknya aku sudah memiliki buku-buku karya sendiri yang bisa aku banggakan.

Aku merasa bahwa aku sangat tak pantas berada di komunitas seperti itu. Tampang ceria mereka, pekerjaan keren mereka, ditambah dengan buku-buku karya mereka yang telah diterbitkan ............ ahh kepalaku jadi pusing. Kegelisahan menderaku. Aku bukan bagian dari mereka. Apa yang bisa kuperbuat? Masih ketinggalan jauh dari mereka. Aku malu, sangat malu telah memberanikan diri ikut bergabung dengan mereka.

Baiknya aku ngacir saja dari grup itu. Aku merasa belum pantas.

Friday, June 6, 2014

Lima Puluh Ribu Rupiah


Lima Puluh Ribu Rupiah


Aku memasukkan contoh-contoh dress batik yang telah aku selesaikan semalam. Ada tujuh potong dress batik yang aku buat dengan desainku sendiri. Kalau sebelumnya aku memproduksi beragam sarung bantal dan segala perlengkapan interior berbahan kain jarit batik, sekarang aku beralih ke pakaian batik. Tentunya inovasi diperlukan dalam setiap usaha. 

Kubuka dompetku ada selembar uang lima puluh ribuan yang nangkring sendirian dan hanya diteman beberapa uang recehan. Telah kuputuskan untuk berangkat ke Yogya menawarkannya ke Mirota Batik, hari ini juga. Biarlah aku tak akan mengambil uang lewat ATM, biar kumaksimalkan saja uang yang ada sebaik-baiknya. 

Selasa pagi kupacu mio kesayanganku menuju Kota Yogyakarta, sendirian. Sebelumnya aku mampir ke pom bensin mengisi penuh mioku dengan bensin lima belas ribu rupiah. Dari Solo ke Yogya bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. Karena aku merasa sudah tua jadi aku agak santai saja. Dulu, begitu ada motor yang mendahului, langsung aku kejar dan gantian akulah yang mendahului, apalagi kalau yang mendahului itu perempuan, Ada rasa puas begitu bisa gantian mendahului motor-motor yang mendahuluiku. Kini, tidak lagi seperti itu. 

Pukul setengah sebelas aku sampai di Yogya, langsung aku menuju Mirota Batik yang berada di Jalan Malioboro. Aku berada di lantai tiga dengan membawa contoh-contoh dress batik. Setelah mengambil nomor antrian aku duduk di bangku yang telah disediakan. Setelah duduk barulah aku menyadari bahwa tak terlihat Bu Theresia, tetapi sudah berganti dengan seorang pria yang belakangan kuketahui bernama Pak Heru. 

Ketika tiba nomorku yang dipanggil, aku buru-buru ke meja Pak Heru. Kukatakan maksud kedatanganku untuk menunjukkan contoh-contoh dress batik sambil memperlihatkannya padanya. Rupanya Pak Heru setuju untuk menerima titipan barang dariku. Tentu saja dia setuju karena model dress-nya tidak pasaran, bahannya dari kain jarit batik asli dan harganya pun lebih murah. Tujuh puluh potong, dengan masing-masing sepuluh potong permodelnya dipesannya dariku. Sistimnya memang titip jual tapi tak apalah. Aku sangat optimis karena Mirota Batik selalu mbludak pembeli maupun pengunjungnya. 

Perut terasa lapar, maklumlah hari sudah beranjak siang. Aku makan di warung makan yang terletak di trotoar dekat Mirota Batik. Menuku siang ini adalah seporsi nasi soto, tahu bacem, segelas teh hangat dan seplastik krupuk karak. Setelah aku membayar sebelas ribu rupiah, aku melanjutkan perjalanan pulang ke Solo. 

Aku tidak membeli oleh-oleh karena misiku adalah mencukup-cukupkan uang lima puluh ribu rupiah saja. Sebelum pulang aku mampir ke pom bensin untuk mengisi tanki mioku, cukup dengan lima belas ribu saja. 

Meskipun ini Mio keluaran pertama tahun 2004, tetapi masih sangat lincah dan handal, bahkan bisa dibawa keluar kota. Aku pernah diantar dengan mio kesayanganku ini ke Semarang, ke Yogya bahkan ke Magelang lewat jalur Selo Boyolali. Bayangkan jalur Selo ini merupakan lereng Gunung Merapi yang jalannya mendaki menurun dengan belokannya yang tajam-tajam, itu berhasil dilewati mioku. Berarti sudah sepuluh tahun mio warna kuning ini setia mengantar aku. Penginnya sih memensiunkan mioku, tapi apa daya uang untuk membeli mio baru belum ada. Ya tidak apa-apa, toh mioku ini masih sangat layak dikendarai. Berandai-andai bagaimana ya rasanya bila mengendarai dan sekaligus memiliki  Yamaha Mio Fino FI?
Kalau Mio keluaran 2004 saja sangat irit pemakaian bensinnya, tentu Mio Fino FI keluaran terbaru ini lebih irit lagi.

Di jalan aku menghitung berapa uang yang telah aku keluarkan tadi. Setelah kuhitung-hitung masih ada sisa Rp. 7.000,-, dengan perincian membeli bensin 2 x Rp. 15.000,- = Rp 30.000,-; makan Rp. 11.000,-; parkir Rp. 2.000,- kalau ditotal semuanya Rp. 43.000,- Sisa uang Rp. 7.000,- ini aku gunakan untuk mengisi 1 liter bensin lagi dengan bensin eceran di pinggir jalan. 

Aku sampai rumah dengan selamat diantar mio kesayanganku. Misi ke Yogya dengan hanya membawa uang lima puluh ribu rupiah pun aku selesaikan dengan baik. Misi menawarkan produk baru ke Mirota Batik pun berhasil diterima dengan baik. 

Lima Puluh Ribu Rupiah

Kita intip yok serunya jalan-jalan dengan Mio Fino di Jakarta di sini.

Thursday, June 5, 2014

Tak Perlu Kau Ingkari



Tak perlu lagi kau ingkari rasa itu
Ketika rasa sayang membuncah tak terbendung
Ketika rasa kangen menjadi sangat kangen
Bukankah rasa adalah pemberian Sang Kuasa?

Nikmati saja bila rasa itu begitu menggoda
Hubungi aku ketika kangen menjadi sangat kangen
Temui aku ketika kau tak lagi bisa ingkari rasa itu
Peluk aku ketika rasa sayang semakin menjadi

Bukankah perasaan kita sama?
Bukankah katamu kau tak meragukanku lagi?
Lalu mengapa seolah ada kebimbangan?
Aku menunggumu dengan  rasa kangen dan sayang

Wednesday, June 4, 2014

Rasa Yang Salah

Rasa Yang Salah

Langit cerah siang ini, tetapi bagi Minah langit terasa mendung kelabu. Perjalanan panjang telah dilalui sejak semalam dari kota hingga sampai ke desanya. Turun dari angkot, Minah masih harus melanjutkan perjalanan dengan naik ojek. 

Suasana desa masih sama seperti ketika Minah meninggalkan desanya dua tahun lalu. Sawah-sawah masih nampak subur, ada yang baru saja ditanam, ada juga yang sudah siap dipanen. Sungguh berbeda dengan suasana di kota di mana sawah-sawah telah beralih fungsi dengan dibangunnya beragam perumahan di atasnya. Jalanan desa masih ditutup bebatuan bercampur tanah, entah kapan pemerintah akan mengaspal jalan ini. 

Sesampai di rumah didapatinya rumah tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Minah meletakkan tas besarnya kemudian duduk di bangku bambu panjang yang ada di teras rumah. Terlihat ibunya pulang dengan membawa sebilah pisau. Oh tahulah Minah bahwa ibunya baru saja rewangan atau membantu orang yang sedang punya hajat. 

Ibunya heran melihat Minah tiba-tiba sudah ada di rumah. Lebih heran lagi tatkala melihat raut muka Minah yang tak biasa. Biasanya Minah selalu ceria menceritakan apa saja yang sedang dipikirkan, tapi kali ini mukanya tampak pucat dan tak sepatah kata pun yang terucap begitu melihat ibunya pulang. 

“Kapan pulang? Ada apa Minah? Kok tumben-tumben ndak biasanya lho”, ibunya menyapa sambil duduk di sebelah Minah. 

Minah masih diam saja, sekarang tatap matanya kosong. Pandangannya hanya lurus ke depan seperti orang ling-lung. 

“Ada apa Minah? Katakan sama ibu kenapa kamu pulang tiba-tiba tanpa kabar dulu? Lagi pula ini kan bukan hari libur”, Bu Nando semakin khawatir dengan keadaan anaknya. 

Diperhatikannya Minah lekat-lekat dari kepala sampai ke kaki. 

“Kamu sekarang tambah gemuk. Enak ya kerja di Jakarta?”. Ditanya seperti itu Minah tetap diam saja. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada perut Minah yang tampak lebih besar. Tanpa disadari kaus yang dipakai Minah mencetak lekat ke perutnya sehingga nampak jelas perutnya yang membulat seperti orang hamil. 

“Apa yang terjadi Minah? Kamu hamil ya? Siapa yang melakukan? Katakan pada ibu nduk!”, ibunya menggoncang-goncang kedua bahu Minah. Lagi-lagi Minah diam seribu bahasa. 

Ibunya teringat dua tahun lalu Minah pamit mau kerja di Jakarta. Ini karena Tito tetangganya yang menjadi satpam di sebuah perumahan mewah di Jakarta mengatakan bahwa ada seorang ibu yang sangat membutuhkan asisten rumahtangga secepatnya. Ditawari gaji yang menggiurkan membuat Minah tanpa pikir panjang menyetujui untuk menjadi asisten rumah tangga di sana. 

Minah memasuki sebuah rumah besar dan mewah dengan diantar Tito, tentu saja. 

“Bagaimana Tito, sudah dapat orangnya?” Bu Soraya langsung bertanya begitu melihat ada seorang perempuan dibawa Tito ke rumahnya. 

“Sudah bu. Ini namanya Minah” jawab Tito mantap. 

“Baiklah Tito, tolong tinggalkan Minah sendirian dulu ya. Makasih ya” berkata demikian Bu Soraya mengeluarkan lima lembar uang ratusan ribu rupiah dan menyerahkannya pada Tito. 

“Makasih bu”, Tito pamit keluar. 

Setelah dilakukan wawancara secukupnya akhirnya Bu Soraya menerima Minah sebagai asisten rumah tangga. Di rumah yang besar ini sudah ada lima pegawai lainnya, yaitu Barno tukang kebun, Pak Sukir sopir, Tito dan Yadi satpam, dan Yu Siti bagian kebersihan rumah. Sementara tugas Minah adalah di bagian dapur, belanja, memasak dan menyajikannya. 

Sebenarnya Minah adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya akibat kecelakaan lalu lintas. Umurnya pun baru 20 tahun, masih muda. Tubuhnya sintal dan wajahnya pun menarik, maka tak heran kalau banyak pemuda di desanya yang menaruh hati padanya. Minah tak menanggapi pemuda-pemuda tersebut. Minah masih teringat pada Maman, suaminya yang telah meninggalkannya setahun lalu. Perkawinan yang dijalaninya baru empat bulan sebelum dia ditinggalkan suaminya selamanya. 

Ajakan kerja di Jakarta sangat menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang langsung saja disanggupi tawaran Tito. Dan, sekarang dia berada di rumah mewah ini. 
Minah mengagumi rumah beserta perabotan yang ada di dalam rumah. Minah baru selesai mengelap seperangkat sofa berlapis kulit asli ketika seorang pria memasuki rumah. Tak didengarnya suara mobil, tiba-tiba saja ada orang masuk. Minah mengangguk pelan yang disambut dengan senyuman Pak Bram. 

“Orang baru?” tanya Pak Bram 

“Iya pak, baru tadi pagi” jawab Minah sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Pak Bram adalah seorang perwira polisi, maka tak heran bila tubuhnya tinggi besar, tatap matanya berwibawa dan senyumnya ramah. Saat berjabat tangan tadi menimbulkan suatu rasa yang lain bagi Minah. Minah jarang bersalaman dengan lawan jenis, apalagi ini adalah majikannya sendiri. Maklumlah di desanya tak diperbolehkan berjabat tangan antar lawan jenis kecuali bila sudah mukhrim. 

Sudah dua bulan Minah bekerja di rumah ini, perlakuan Pak Bram dan Bu Soraya baik sekali terhadap semua pegawai. Hal ini membuat Minah kerasan apalagi hubungannya dengan pegawai lainnya sudah seperti saudara, sering bercanda dan saling bantu. 

Ini Hari Minggu, Tito pulang kampung, Barno yang tukang taman juga libur. Yu Siti juga ijin karena anaknya sedang sakit. Pak Sukir sedang mengantar Bu Soraya arisan. Hanya ada Yadi, satpam yang jaga di depan. Minah masih sibuk memukul-mukul daging yang akan dibuatnya rendang nanti sore. 

Tanpa sepengetahuannya, Pak Bram memperhatikan Minah dari ruang tengah. Sejak berjabattangan dulu, Pak Bram sudah menaruh simpati pada Minah. Waktu berduaan di rumah seperti inilah yang ditunggu-tunggu Pak Bram. 

Segera dipanggilnya Minah :”Minah tolong buatkan teh panas gak pake gula” 
“Ya pak” Minah dengan cekatan membuat teh panas tawar dan mengantarkannya ke ruang tengah. 
“Silahkan pak” kata Minah sopan sambil membungkuk. 
“Makasih Minah” 
“Eh sini sebentar Minah” seru Pak Bram begitu melihat Minah buru-buru mau berlalu. Minah membalikkan badannya. 
“Duduklah di sini” tangan Pak Bram menunjuk sebelah sofa yang didudukinya. 
“Tapi pak ....” 
“Sudahlah ayolah duduk di sini tidak apa-apa”, kali ini Pak Bram bangkit dari sofa dan memegang bahu Minah menuntunnya untuk duduk di dekatnya. 
“Nah begini kan lebih baik” kata Pak Bram begitu Minah sudah duduk di dekatnya. 
“Bagaimana ...... emm kamu kerasan kerja di sini?” 
“Iya pak saya kerasan kerja di sini” Minah menjawab dengan kepala menunduk untuk menutupi detak jantungnya yang berdegub-degub. Disembunyikannya dadanya agar tak terlihat gejolak hatinya yang memburu. 

“Kata Tito kamu pernah menikah, benar begitu Minah?” bertanya begitu sambil tangan Pak Bram memegang tangan Minah. 
“Iya memang benar pak” tangan Minah terasa bergetar. 
“Kamu takut? Ndak usah takut. Aku tak akan menerkammu. Kamu tahu kenapa aku ndak ngantar ibu?” 
Minah menggelengkan kepalanya. 
“Badanku rasanya sakit-sakit, tolong Minah .... kamu bisa pijiti kan?” Pak Bram mengharap anggukan Minah. 
“Hmm ..... tapi pak” Minah sebenarnya juga menunggu saat seperti ini, saat bisa berduaan dengan majikannya yang telah disukainya dalam hati. 

Pak Bram bangkit dari duduknya, digandengnya Minah memasuki kamarnya. Setelah mengunci kamar, Pak Bram mengganti celana panjangnya dengan sarung dan kaus singlet siap dipijit. Kebetulan Minah juga ahli memijit, jadi tak heran bila Pak Bram merasakan enaknya dipijit Minah. 

Pada saat Pak Bram membalikkan badan agar dipijil badan bagian depan, matanya tak lepas dari memandangi Minah. Minah hanya tersipu malu tapi tetap memijit. Sekarang Minah memijit tangat kirinya, tiba-tiba saja tangan kanan Pak Bram meraih Minah ke pelukannya. Minah tak meronta. Saat seperti inilah yang diinginkannya sebenarnya. 
Sekujur tubuhnya seolah meminta kehangatan dari pria segagah Pak Bram. 

Gelora keduanya sama, maka terjadilah yang tak seharusnya terjadi. Perselingkuhan antara majikan dan asisten rumah tangganya. 
Mereka melakukan di saat keadaan memungkinkan. Keduanya sama-sama bergairah melakukannya., maka tak heran bila keduanya pun ketagihan. 

Kemudian sesuatu terjadi. Tak ada yang mengetahui, sampai suatu ketika didengarnya Minah muntah-muntah di washtafel. Tanpa Minah sadari beberapa pasang mata memperhatikannya, namun tak timbul kecurigaan di antara mereka. Mereka hanya mengira Minah kurang sehat karena pekerjaan belanja dan di dapur yang melelahkan. Hanya Pak Bram dan Minahlah yang cemas. 

Sorenya Pak Bram membawakan Minah sebuah testpack. Pagi harinya Minah membuka kemasan testpack tersebut dan meletakkannya pada sebuah wadah kecil yang berisi urine-nya. Harap-harap cemas. Hatinya deg-degan tak menentu. Lalu tak sadar Minah berteriak saat melihat ada dua garis di testpack tersebut. Itu menandakan dirinya positif hamil. Bingung bercampur takut menyelimuti hatinya. 

Segera diberitahukannya hal ini pada Pak Bram, tentu saja pada saat tak ada siapapun yang melihat. Wajah Pak Bram tetap tenang, mungkin karena pendidikan kemiliteranlah yang membuatnya berlaku demikian. 

 “Bagaimana kalo kamu pulang kampung saja, Minah” Minah hanya bisa sesenggukan menahan tangis. Tak mengira bila kejadiannya sampai sedemikian pelik. Entah apa yang akan dikatakannya pada ibunya, juga pada Bu Soraya yang begitu baiknya. 
Minah merasa sangat bersalah pada mereka berdua. Pak Bram berjanji akan menikahinya di desa. 

Sebenarnya Pak Bram belum mempunyai anak kandung, Bonita adalah anak angkat yang diambilnya dari panti asuhan. Bonita sedang melanjutkan kuliah di UGM. 

Namun pada akhirnya berita kehamilan Minah sampai ke telinga Bu Soraya juga. Bu Soraya marah besar. Dimaki-makinya Minah, kemarahannya tak terkira apalagi mengetahui bahwa yang menghamili Minah adalah suaminya sendiri. Saat itu juga Minah diusirnya keluar rumah begitu saja. 
Minah terpaksa meminjam uang dari Tito untuk pulang ke desanya. Tito yang kasihan mengantar Minah sampai ke terminal. 

Sore hari, Bu Soraya sudah menunggu suaminya di dekat pintu masuk, tentu saja dengan muka yang geram. Begitu dilihatnya suaminya pulang langsung dihampirinya, kemarahannya tumpah ruah. 

“Kenapa papi tega berbuat kayak binatang seperti ini? Dia itu cuma pembantu pi. Mestinya papi tahu. Kenapa sih pi? Kamu tega banget sama mami yang tak bisa punya anak ini. Mami memang mandul pi ndak bisa kasih papi anak, tapi kenapa papi tega .....? Kemarahan Bu Soraya berapi-api. 

“Ma .. af ...kan papi .... maafkan papi mi ....... “ Pak Bram memeluk istrinya untuk meredakan kemarahannya. Pak Bram memeluk istrinya sambil berlinangan airmata, antara kasihan dan merasa bersalah. Dipeluk begitu kemarahan istrinya luruh, berganti tangis yang keras seperti anak kecil kehilangan mainan kesayangannya. 

Minah masih belum bisa diajak bicara. Bu Nando memapah anaknya masuk ke dalam rumah langsung menuju kamarnya. Bu Nando membawa masuk segelas teh panas beserta pisang goreng yang digorengnya tadi pagi. Dibiarkannya Minah sendirian. Bu Nando ke dapur memasak sebentar. 

Malamnya ketika dilihatnya Minah sudah bisa diajak bicara, kembali ditanyakannya pertanyaan tadi siang :”Siapa yang menghamilimu nak? Ibu tidak marah, tapi tolong katakan siapa laki-laki itu nak?” Minah tersadar dari kebingungannya, air matanya menetes deras ke pipinya. 

“Pak Bram ....... “ Minah menjawab lirih hampir tak terdengar. Namun bagi Bu Nando, berita itu bagai sambara petir di siang hari. 

“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Mengapa kamu mau diperlakukan semena-mena seperti itu sama Pak Bram?. Oalah nduk nduk, kenapa akhirnya malah jadi seperti ini?” Minah hanya membisu. Rasa bersalah itu jelas kentara di wajahnya. Makian Bu Soraya tadi pagi masih jelas di telinganya. Belum sempat dia meminta maaf pada Bu Soraya, sudah diusirnya keluar rumah tanpa membawa apa pun. Rasa sedih dan nelangsa menghinggapi dirinya. 

“Entah bagaimana nasibku nanti. Jelas Bu soraya tidak mau memperkerjakan aku lagi. Lalu bagaimana aku menghidupi anakku kelak? Bagaimana dengan persalinanku? Di mana? Aku merasa malu bila harus melahirkan di sini tanpa suami. Pak Bram yang tunduk pada istrinya, mana mungkin akan memenuhi janji untuk menikahiku?” Minah hanya membatin. Tak tega dia membagi beban pada ibunya yang tak tahu-menahu tentang hal ini. Rasanya kepulangannya hanya untuk menambah beban ibunya saja, beban mental, beban malu sekaligus beban ekonomi. 

“Ini adalah rasa yang salah, sangat salah. Bagaimana mungkin aku membiarkan perasaanku liar mencintai majikanku sendiri?” batin Minah tak habis-habis. Hari demi hari Minah hanya berdiam diri di rumah saja. Dia merasa malu kalau harus keluar rumah, perutnya sudah makin membesar saja. Hal yang bisa dilakukan hanyalah membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Hari Minggu pagi yang cerah, Bu Nando terburu-buru masuk rumah memberitahu Minah kalau ada sebuah mobil sedan bagus memasuki halaman rumahnya. Diberitahu begitu, Minah malah ketakutan, takut kalau Bu Soraya yang datang dan jadi menuntutnya ke pengadilan seperti makinya dulu itu. Minah berusaha membesarkan hatinya, jikalau dia memang dituntut dan dihukum rajam sekali pun, Minah bersedia. Dia ingin menebus dosanya terutama terhadap Bu Soraya dan ibunya. 

Tapi ternyata yang datang adalah Pak Bram ditemani Tito. Pak Bram mengutarakan maksud kedatangannya kepada Bu Nando bahwa dia ingin menikahi Minah secara siri. Seketika kelegaan nampak di wajah Bu Nando dan Minah, tentu saja. Bu Nando menarik nafas panjang seolah sudah terlepas segala beban hidupnya. 

Acara pernikahan siri dilakukan di rumah Minah secara sederhana dengan dihadiri kerabat dekat Minah dan para tetangga dekat. Pak Bram yang seorang PNS tentu tidak bisa sembarangan untuk menikah yang kedua kalinya. Untuk itulah dilakukan pernikahan siri ini. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk tanggungjawab Pak Bram terhadap Minah. 

Pernikahan inipun belum diketahui Bu Soraya. Entah apakah pernikahan siri ini akan diberitahukan kepada Bu Soraya ataupun tidak. Entah bagaimana nanti saja. Semua akan mengalir dengan berjalannya waktu.