Rose is love

Mawar identik dengan cinta karena mawar bisa mengungkapkan betapa indahnya cinta, betapa romantisnya cinta.

Wanita

Wanita ibarat kelembutan yang rapuh, namun wanita memiliki kekuatan yang dasyat tak terkira.

Solo

Solo atau Surakarta merupakan kota eks karesidenan di Jawa Tengah. Solo adalah kota yang sangat berkembang tak kalah bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia.

Embun Pagi

Embun menetes tiap pagi hari, menyentuh dedaunan, bunga-bunga, dan segala permukaan di bumi. Embun sungguh menyejukkan hati kita, membeningkan pikiran kita.

Kucing

Kucing adalah hewan yang paling menyenangkan. Tingkah polahnya yang lucu bisa menghalau galau dan menggantikannya dengan senyum bahkan tawa.

Showing posts with label dokter tanpa tarif. Show all posts
Showing posts with label dokter tanpa tarif. Show all posts

Tuesday, December 10, 2013

Pengabdian Seorang Dokter di Solo


dr Lo di tempat prakteknya


Tokoh inspiratif bidang kedokteran kali ini berasal dari Solo, namanya dr Lo Siauw Ging atau lebih dikenal dengan sebutan dr Lo. Dia tidak memasang tarif untuk siapa saja yang berobat kepadanya, terutama dari kaum marjinal. Bila obat tidak tersedia di tempat prakteknya, maka pasien disuruh menebus obat di apotik atau RS yang telah ditunjuknya. Untuk menebus obatpun sudah ditanggung oleh dr Lo lewat apotik atau rumah sakit langganannya tersebut, pasien tinggal menunjukkan resep obat yang telah diberi cap oleh dr Lo. Dia bisa menghabiskan dana antara 6 juta sampai 8 juta hanya untuk menebus obat pasiennya selama sebulan. Sungguh suatu sikap yang patut dicontoh. Beliau tidak mementingkan uang dalam menjalankan profesinya sebagai dokter. Prinsipnya: :" Tuhan akan memberi lebih apabila kita tidak mengukur segalanya dari materi". Beliau selalu ingat akan pesan ayahandanya yang mengatakan bahwa:" Kalau mau kaya jangan jadi dokter, jadilah pedagang".
Tokoh yang menginspirasi dr Lo, selain ayahandanya sendiri adalah dr Oen Bing Ing. Dr Oen Bing Ing adalah seorang dokter di Solo yang mempunyai jiwa sosial di masanya, namanya diabadikan untuk dua RS di Solo.


Siapa dr Lo?

Lahir di Magelang pada tanggal 18 Agustus 1934, dr Lo menamatkan pendidikan kedokterannya di Universitas Airlangga Surabaya alumi tahum 1962, dan pernah juga mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia Jakarta Jurusan Manajemen Administrasi Rumah Sakit. 
Beliau pernah mengabdikan dirinya di RS Panti Kosala Solo, Rs Oen Kandang Sapi Solo dan sekarang di RS Kasih Ibu Solo. Beliau menjabat sebagai Direktur Utama RS Kasih Ibu dari tahun 1981 sampai tahun 2004. 
Di saat tidak lagi menjabat sebagai Dirut, beliau tetap rajin bekerja di RS Kasih Ibu mengobati para pasiennya, meskipun untuk berjalan harus menggunakan tongkat. Tiap hari kecuali hari libur, dr Lo membuka praktek di rumahnya di Jalan Yap Tjwan Bing 27 Jagalan, Jebres, Solo. mulai pukul 06.00 dan pukul 16.00.

dr Lo sedang memeriksa pasien

Tentang Pasien dr Lo

Pasien dr Lo yang berobat ke rumahnya sangat banyak. Tidak hanya pasien yang tidak mampu, yang berduit pun banyak. Mereka datang tidak hanya dari Solo saja, melainkan juga dari luar Solo. Hanya sekitar 30% yang membayar, selebihnya diberikan pengobatan secara gratis. Beliau benar-benar menjalankan prinsipnya untuk selalu menolong sesamanya yang membutuhkan pengobatan dan menggratiskan bagi yang kurang mampu. Oleh karena itulah dr Lo tidak pernah memasang tarif pengobatan di rumahnya. Beliau mendapatkan pendidikan secara gratis dari pemerintah di masanya, oleh karena itu beliau merasa wajib untuk mengabdikan dirinya lebih banyak kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan sikap balas budi.

Ada cerita orang miskin yang selalu memeriksakan kesehatan kedua anaknya pada dr Lo,  Saat ini kedua anak tersebut telah sukses di negeri paman Sam. Untuk membalas budi, kedua anak tersebut selalu mengirim uang pada dr Lo untuk membantu meringankan pembelian obat para pasien dr Lo.
Beliau pernah juga membantu korban tabrak lari yang tak dikenalnya dan membeayai sampai sembuh benar. Ada juga seorang ibu yang berlangganan memeriksakan anaknya, tapi dr Lo selalu menolak menerima pembayaran. Pernah juga beliau memarahi seorang ibu tang terlambat memeriksakan anaknya yang panas tinggi, tapi saat si ibu mau membayar, dr Lo menolaknya.
Namun ada juga pasien yang tersinggung karena dr Lo tidak menyebutkan tarif. Tentu masih banyak cerita lain dari para pasien dr Lo.

Sikap dermawan dan sosial dr Lo ternyata tidak hanya berlaku ketika menangani pasien di rumah, tapi juga sikap tersebut dibawa juga sampai ke rumah sakit tempatnya mengabdi, yaitu RS Kasih Ibu Solo. Dr Lo mempunyai dana sosial di RS khusus untuk membantu pasien yang tidak mampu. Dana sosial ini berasal dari dr Lo pribadi. Pasien yang akan dibantu dr Lo terlebih dahulu harus mengikuti prosedur yang berlaku.

Persepsi kebanyakan masyarakat kita adalah bahwa menjadi dokter itu enak banyak duitnya.  Ibaratnya disentuh dokter saja sudah harus membayar, belum kalo disuntik, diberi obat dan sebagainya. Oleh karenanya banyak orangtua yang mendambakan anaknya menjadi dokter. Anak kecil yang mengatakan bercita-cita menjadi dokterpun tak asing lagi, sepertinya menjadi dokter adalah pilihan karier terbaik.


Para dokter sedang demo

Tentang sikap kedermawanan dan sosial dr Lo ini banyak bertentangan dengan praktek kebanyakan dokter di Indonesia.
Banyak dokter di Indonesia mengeluh dengan gaji yang diterimanya sebagai dokter. Mereka membandingkan penghasilan yang diterimanya dengan penghasilan yang diterima profesi lain seperti guru, TNI/POLRI, buruh , dsb. Mereka berpendapat bahwa penghasilan yang diterimanya tidak sebanding dengan beaya yang telah dikeluarkannya selama pendidikan sampai menjadi dokter.
Untuk memperjuangkan kepentingannya tersebut, maka terbentuklah sebuah komunitas yang bernama Satu Juta Dokter Indonesia Menuntut Kesejahteraan Berkeadilan. Di sela-sela pengabdiannya, mereka gencar menuntut pemerintah untuk memberikan kesejahteraan yang lebih memadai.


Beaya untuk menjadi dokter di Indonesia  

Untuk uang masuk atau uang pangkal masuk Fakultas Kedokteran saja dibutuhkan puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah. Ini belum termasuk uang semesteran dan lain-lain yang bisa mencapai jutaan rupiah, juga kewajiban membeli textbook yang kebanyakan masih impor atau terjemahan yang harganya dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Masih ditambah lagi dengan kewajiban membeli peralatan kedokteran yang standar, seperti stetoskop dan  palu reflek. Bila si calon dokter sudah memasuki masa magang / co ass / kepaniteraan klinik di RS maka masih dikenakan beaya juga.. Belum lagi beaya hidup juga kos bagi yang jauh dari keluarga, selama menempuh pendidikan yang memakan waktu 5 hingga 6 tahun.

Setelah luluspun, harus menempuh Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR), STR inilah yang digunakan untuk mendapatkan ijin praktek. STR ini harus diperbarui setiap 5 tahun sekali. STR bisa didapatkan dengan 2 cara, yaitu: UKDI dan Satuan Kredit Partisipasi (SKP). Pengumpulan SKP melalui berbagai kegiatan ilmiah seperti workshop, trainning, simpisium, dll. Beaya berbagai kegiatan ini mencapai hingga puluhan juta rupiah. Untuk dokter yang bertugas di daerah pelosok tentunya membutuhkan beaya transportasi yang tidak sedikit untuk mengikuti berbagai kegiatan ini karena biasanya kegiatan ini diadakan di Pulau Jawa.

Memang dokter adalah juga manusia biasa yang tak lepas dari segala tuntutan dan kebutuhan hidup.Sekarang tergantung pada individu masing-masing bagaimana menyikapi permasalahan tersebut. 
Isi Sumpah Dokter Indonesia antara lain berbunyi:" Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan". Hal ini sudah cukup menjelaskan bahwa seorang dokter di Indonesia dituntut untuk lebih mementingan sisi perikemanusiaan. Menjadi dokter adalah pilihan. Hal ini seharusnya sudah disadari jauh hari sebelum memutuskan untuk memilih profesi ini.
Alangkah baik untuk diingat slogan yang diberikan dr Lo, dokter dari Solo:" Kalau mau kaya jangan jadi dokter, jadilah pedagang". Jadi kesimpulannya, bila menjadi dokter dimaksudkan untuk memperkaya diri adalah tidak tepat.
Bagaimana pun kita harus mendukung mereka yang berprofesi sebagai dokter yang mengabdi untuk pengupayaan kesehatan di Indonesia di tengah segala keterbatasan kesejahteraan yang mereka dapat.
Hidup dokter Indonesia!