Thursday, November 27, 2014

Pernikahan Itu

Pernikahan Itu

Belakangan ini badanku terasa sangat lemah. Pegal-pegal di sekujur tubuhku. Barangkali pijat akan mengembalikan staminaku. Bagaimana pun bila hati yang sakit itu akan menjalar secara fisik. Aku lunglai. Untuk berdiri tegak pun terasa berat. Tetapi bukankah kehidupan ini harus terus berjalan? Telah aku kuat-kuatkan diriku telah aku tabah-tabahkan hatiku menerima segala kenyataan pahit ini. 

Dia,mantan suamiku kini telah menikah dengan perempuan itu. Mereka menikah Hari Minggu lalu di Jakarta. Tak ada pemberiahuan ke aku. Dinda menghadiri acara itu bersama segenap keluarga dari pihak mantanku. Katanya Dinda mengenakan kain dan kebaya seperti saudaranya yang lain. Aku tak sedikit pun ingin melihat foto-foto tersebut. Aku meragukan kekuatan hatiku. 

Itu memang haknya untuk menikah. Tapi perempuan itu ... aku melihat gambar mereka berdua di facebook jauh sebelum perceraianku. Aku bersedia mengajukan gugatan cerai atas permintaannya. Sebenarnya aku sudah lama tidak tahan dengan perkawinan kami. Perhatiannya nyaris tak ada, baik kepadaku maupun kepada anak satu-satunya. Juga nafkah lahir dan batin tidak aku terima. Nafkah lahir sama sekali belum pernah aku terima. Aku bekerja sendiri waktu itu. Kebiasaannya bermain perempuan juga sangat menyiksa batinku. Kini dia menikah dengan perempuan yang telah merampasnya dariku. 

Seakan aku ikut memuluskan jalan mereka melenggang menuju ke pelaminan. Betapa bodohnya aku. Harusnya aku tahan saja tidak mau diceraikan agar dia tak bisa menikah secara terang-terangan seperti itu. Tapi semakin lama dalam perkawinan dengannya semakin batinku tersiksa. Aku menyetujui mau mengajukan gugatan cerai karena terdesak akan kebutuhan secara ekonomi. Aku pikir setelah palu diketukkan maka dia segera memberiku sejumlah uang yang bisa aku gunakan untuk melanjutkan usahaku, ternyata tidak. Dia baru mulai memberi uang cerai beberapa bulan sesudah palu diketuk, dan selanjutanya dicicil. Sampai sekarang pun belum lunas.Harus bersabar? Barangkali saja dia memang suka menyiksaku secara batin. Aku semakin tersungkur dengan perceraian ini. Kini dia telah menikah.

Aku hanya membayangkan bagaimana dia memberikan persembahan untuk istrinya tersebut yang tidak pernah diberikannya kepadaku, dulu. Mengapa bisa berbahagia di atas penderitaan orang lain? Aku merasa telah dijadikannya tumbal demi kenyamanan hidupnya. 

Bukan aku cemburu atau tak rela, bukan itu. Aku cuma menyesali nasibku sendiri yang seperti ini. Terlebih keluarganya yang masih kuanggap sebagai keluarga sendiri pun tak mengabariku. Seakan wajahku tertampar dan badanku terjatuh kelimpungan. Aku mengerti bahwa mereka tak lagi menganggapku sebagai bagian dari keluarganya lagi, kecuali Dinda. Tentu saja. Mulai saat ini aku tak lagi menelpon mereka di hari raya, menitipkan oleh-oleh lewat Dinda kalo ke Semarang atau curhat ke mereka, apalagi datang ke rumah mereka. Padahal sebenarnya aku dengan tulus masih menganggap mereka sebagai keluargaku. Hal ini dikarenakan aku tak lagi mempunyai orangtua dan saudara lagi. 

Hanya tiga orang saja dari mereka yang masih peduli padaku, dan tentu saja aku akan tetap menjalin tali silaturahim dengan mereka. Ketiganya tak datang ke Jakarta menghadiri resepsi pernikahan mantanku.

1 comments:

echaimutenan said...

Halo mba apa kabar^^
Cuma mau peluk aja, seng sabar njeh