Sebenarnya aku adalah salah satu pelaku kawin campur, namun aku melaksanakan perkawinan secara agama Islam. Tentu saja hal ini dilakukan setelah aku dinyatakan resmi masuk Islam. Terus terang aku mengucapkan "dua kalimat sahadat" dengan deraian air mata yang kusembunyikan di balik kerudung yang kupakai.
Bukan maksudku untuk mempermainkan agama. Aku sangat menghargai agama-agama yang lain. Namun bagaimana bila hal inilah yang harus kulakukan. UU Perkawinan tidak memberi ruang bagi perkawinan beda agama. Menurutku ada pasal-pasal yang harus dirubah demi memenuhi hak-hak asasi semua warga negara Indonesia yang bersifat pluralisme ini agar tak ada lagi hak-hak asasi manusia yang dilanggar, yaitu hak kebebasan beragama dan hak menikah. Itu menurutku, bila menurutmu lain lagi, ya itulah namanya perbedaan pendapat. Sah-sah aja kan?
Saat ini statusku adalah janda beranak satu setelah Pengadilan Agama memutuskan perkawinan antara aku dengan mantan suamiku pada tanggal 8 April 2013 lalu.
Dengan telah dinyatakan perceraian ini, tentu aku berhak menentukan nasibku sendiri, termasuk untuk kembali ke agamaku semula.
Aku akan segera menghadap Romo (Pastor) agar aku mendapatkan kembali hak-hakku sebagai seorang Katolik. Dan bila aku sudah diakui lagi sebagai umat Katolik, aku berjanji akan berpegang terus pada agama ini. Dengan demikian bila suatu saat aku menikah lagi , maka aku akan menikah secara Katolik. Bila calon suamiku berbeda agama denganku, maka pernikahan tetap dilaksanakan di Gereja Katolik dengan cara meminta dispensasi.
Inilah yang dinamakan Kawin Campur yang diperbolehkan di agamaku.
Catatanku kali ini sangat serius, semoga tidak bosan membacanya.
Pengertian Kawin Campur
Kawin campur yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dengan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain maupun tidak dibaptis).
Gereja realistis. Tidak selalu mudah mendapatkan teman hidup seiman. Gereja pun mengakui hak nikah termasuk hak asasi manusia dan membuka pintu untuk perkawinan campur, baik beda gereja maupun beda agama.
Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.
Dua Jenis Perkawinan Campur
1. Perkawinan campur beda gereja(seorang
Katolik menikah dengan seorang baptis non
Katolik);
2. Perkawinan campur beda agama (seorang baptis
Katolik menikah dengan seorang yang tidak
dibaptis), untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.
Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi
1. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan
bahaya meninggalkan iman serta memberikan
memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan
berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga,
agar semua anaknya dididik dalam Gereja
Katolik (Kan.1125.1);
2. Pihak yang non Katolik diberitahu pada
waktunya mengenai janji-janji yang harus
dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga
jelas bahwa ia sadar akan janji dan kewajiban
pihak Katolik (Kan.1125.2);
3. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan
mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat
hakiki perkawinan, yang tidak boleh dike-
cualikan oleh seorangpun dari keduanya
(Kan.1125.3).
Janji ini acap kali menjadi suatu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan terlebih dahulu, sehingga bisa diantisipasi.
Soal Larangan Nikah Ganda (Kan.1127.3)
Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.
Dalam Pernikahan Beda Gereja
Terbuka perkawinan ekunemis di hadapan pendeta dan pelayan Katolik, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterimakan oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pendeta dan pelayan Katolik, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta sedangkan pelaksanaan tata peneguhan kanonik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.
Dalam Pernikahan Beda Agama
Terutama pihak non Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.
Kesulitan Pencacatan Sipil
Berlakunya UU Perkawinan RI tahun 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendapatkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.
Bukan maksudku untuk mempermainkan agama. Aku sangat menghargai agama-agama yang lain. Namun bagaimana bila hal inilah yang harus kulakukan. UU Perkawinan tidak memberi ruang bagi perkawinan beda agama. Menurutku ada pasal-pasal yang harus dirubah demi memenuhi hak-hak asasi semua warga negara Indonesia yang bersifat pluralisme ini agar tak ada lagi hak-hak asasi manusia yang dilanggar, yaitu hak kebebasan beragama dan hak menikah. Itu menurutku, bila menurutmu lain lagi, ya itulah namanya perbedaan pendapat. Sah-sah aja kan?
Saat ini statusku adalah janda beranak satu setelah Pengadilan Agama memutuskan perkawinan antara aku dengan mantan suamiku pada tanggal 8 April 2013 lalu.
Dengan telah dinyatakan perceraian ini, tentu aku berhak menentukan nasibku sendiri, termasuk untuk kembali ke agamaku semula.
Aku akan segera menghadap Romo (Pastor) agar aku mendapatkan kembali hak-hakku sebagai seorang Katolik. Dan bila aku sudah diakui lagi sebagai umat Katolik, aku berjanji akan berpegang terus pada agama ini. Dengan demikian bila suatu saat aku menikah lagi , maka aku akan menikah secara Katolik. Bila calon suamiku berbeda agama denganku, maka pernikahan tetap dilaksanakan di Gereja Katolik dengan cara meminta dispensasi.
Inilah yang dinamakan Kawin Campur yang diperbolehkan di agamaku.
Catatanku kali ini sangat serius, semoga tidak bosan membacanya.
Pengertian Kawin Campur
Kawin campur yaitu perkawinan antara seorang baptis Katolik dengan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja lain maupun tidak dibaptis).
Gereja realistis. Tidak selalu mudah mendapatkan teman hidup seiman. Gereja pun mengakui hak nikah termasuk hak asasi manusia dan membuka pintu untuk perkawinan campur, baik beda gereja maupun beda agama.
Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.
Dua Jenis Perkawinan Campur
1. Perkawinan campur beda gereja(seorang
Katolik menikah dengan seorang baptis non
Katolik);
2. Perkawinan campur beda agama (seorang baptis
Katolik menikah dengan seorang yang tidak
dibaptis), untuk sahnya dibutuhkan dispensasi.
Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi
1. Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan
bahaya meninggalkan iman serta memberikan
memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan
berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga,
agar semua anaknya dididik dalam Gereja
Katolik (Kan.1125.1);
2. Pihak yang non Katolik diberitahu pada
waktunya mengenai janji-janji yang harus
dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga
jelas bahwa ia sadar akan janji dan kewajiban
pihak Katolik (Kan.1125.2);
3. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan
mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat
hakiki perkawinan, yang tidak boleh dike-
cualikan oleh seorangpun dari keduanya
(Kan.1125.3).
Janji ini acap kali menjadi suatu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan terlebih dahulu, sehingga bisa diantisipasi.
Soal Larangan Nikah Ganda (Kan.1127.3)
Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.
Dalam Pernikahan Beda Gereja
Terbuka perkawinan ekunemis di hadapan pendeta dan pelayan Katolik, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterimakan oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pendeta dan pelayan Katolik, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta sedangkan pelaksanaan tata peneguhan kanonik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.
Dalam Pernikahan Beda Agama
Terutama pihak non Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.
Kesulitan Pencacatan Sipil
Berlakunya UU Perkawinan RI tahun 1974 mengakibatkan tidak mudahnya mereka yang menikah dalam perkawinan campur untuk mendapatkan pengesahan sipil. Sering dijumpai tidak konsistennya petugas pencatatan sipil. Pasangan perkawinan campur tidak boleh menyerah dalam mengusahakan pengesahan secara sipil, apapun caranya.
Demikian uraian mengenai "kawin campur" dari sudut pandang orang Katolik. Terpaksa banyak yang "dicut" karena terlalu panjang.
(Sumber: Yesaya - Romo Antonius Dwi Joko, Pr)
(Sumber: Yesaya - Romo Antonius Dwi Joko, Pr)