Kata orang, orangtua adalah wakil Tuhan di dunia. Jadi bagaimana Tuhan memperlakukan kita adalah seperti bagaimana orangtua memperlakukan kita. Itu bila aku tidak salah tangkap maknanya.
Aku menulis ini karena aku ingin mengungkapkan perasaanku terhadap kedua ornagtuaku yang kini sudah di Surga. Aku merasa bahwa Tuhan memperlakukanku selama ini sama seperti orangtua memperlakukanku sewaktu mereka masih hidup.
Bukan maksudku untuk mengritik mereka atau menjelek-jelekkan mereka, namun ini lebih agar aku dapat mengeluarkan uneg-unegku yang terpendam selama ini. Bahkan hal ini barangkali tidak diketahui mereka selama hidupnya. Sebelumnya mohon maafkan aku.
Bapak dan ibuku di Surga,
Aku tahu bahwa kalian telah berbahagia di sana, semoga demikian. Namun berbahagiakah kalian melihat keadaanku sekarang ini?
Bahwa pendidikan semasa kecil dan remaja sangat penting bagi perkembangan seorang anak demi masa depannya itu benar adanya. Pendidikan itu tidak hanya berasal dari keluarga namun juga dipengaruhi oleh lingkungan dan tentu saja oleh sekolah.
Bila kalian merasa sudah mendidikku secara benar, aku rasa itu pendapat yang salah. Bukan maksudku melawan kalian, tidak sama sekali. Ingatkah bahwa kalian telah mengekangku selama itu? Kalian melarangku bermain dengan teman-teman sebayaku seolah kalian mensterilkan diriku.
Di rumah aku hanya berteman dengan kucing-kucing. Itulah mengapa kucing sangat berarti bagiku. Aku sebenarnya tak bisa lepas dari keberadaan kucing-kucing. Terimakasih bahwa kalian memperbolehkanku bermain dengan kucing-kucing.
Suatu saat saat SMP, kucing satu-satunya yang kumiliki saat itu mati. Aku menjerit meraung-raung merasa ditinggalkan dan kehilangan. Aku protes pada nenekku yang menguburnya di depan rumah, aku bilang bahwa kucing itu belum mati. Nenekku menyuruhku agar tidak teriak-teriak nanti dikiranya orangtua yang meninggal. Aku sedih bukan kepalang.
Nyatanya saat bapak dan ibuku meninggal hampir tak setetes pun airmata yang yang keluar. Aku sangat sulit menangis waktu itu. Aku menganggap itu kejadian yang biasa saja. Aku bukanlah pemain sinetron yang dengan mudah menumpahkan airmatanya. Airmataku keluar tentu karena kesedihan.
Entah mengapa aku tidak boleh berteman, bersosialisasi. Aku ingat di suatu petang, aku yang berada dalam gendongan nenek hanya boleh melihat teman-teman sebayaku yang sedang riang bermain dari dalam rumah dari balik kaca jendela. Bukankah aku sudah TK tapi mengapa aku masih digendong?
Aku saat 6 thn |
Aku merasakan kesedihan itu sejak kecil sejak kelas nol kecil. Tentu saja aku menjadi anak yang pemurung, pendiam dan pemalu. Tapi apakah kalian peduli terhadap perkembanganku? Jawabnya adalah tidak. Bagi kalian yang terpenting adalah bahwa aku berada di rumah. Aku memang berada di rumah, tetapi batinku meronta.
Waktu SD ketika anak-anak lain sepedaan di jalanan di taman depan rumah, aku tidak boleh keluar. Kalau aku ikut sepedaan maka tidak akan kebagian rujak. Rujak adalah makanan kesukaanku jadilah aku menyerah kalah.
Aku kesepian, tidakkah kalian mengerti? Mengapa tak kalian tempatkan saja aku di panti asuhan, agar aku bisa bersosialisasi, bermain, belajar dari lingkungan dan tidak kesepian? Aku pernah berpikir tentang hal ini. Bahkan aku pernah berpikir, apakah aku ini benar-benar anak kedua orangtuaku.
Di suatu kesempatan aku yang berumur sekitar 10 tahun pergi piknik bersama orangtua, nenek dan bawahan bapakku yang para pns beserta keluarganya di Rembang-Jepara.Di lokasi piknik tak ada satu pun foto diriku, hanya pas sebelum berangkat saja aku berfoto bareng nenek di dekat bus. Namun beberapa hari kemudian aku membuka-buka album piknik ternyata aku melihat orangtuaku berfoto bersama para bawahannya sebagai latar, dan seorang anak perempuan centil di tengah-tengah orangtuaku. Aku tak berani bertanya pada mereka, yang pasti aku sangat kecewa, sedih tak dianggap. Aku memastikan bahwa orangtuaku malu mempunyai anak jelek sepertiku. Itukah juga sebabnya aku tidak diperbolehkan bermain bersama teman-temanku? Aku tak tahu pasti.
Bapak ibuku sering memuji temanku yang pintar atau yang nampak dewasa.Aku mendengar mereka memperbincangkannya, namun aku diam saja. Di balik semua itu sebenarnya aku berontak. Kalian tidak berpikir tentang bagaimana orangtuanya mendidiknya sehingga menjadi seperti itu. Ada prosesnya, tak terjadi begitu saja.
Di rumah tak banyak mainan yang kupunya, aku lebih suka bermain dan bercanda dengan kucing-kucingku. Hampir di setiap tahapan usiaku aku memiliki kucing yang berganti-ganti tentu saja, bisa karena mati atau karena kami pindah rumah. Kucign kuanggap sebagai teman sejatiku tempat aku berkeluh-kesah. Kucing bisa mengerti saat kuajak bicara, terkadang memandangku atau diam di pangkuanku.
Suatu ketika aku berulangtahun, mungkin yang ke-10. Ada seorang dokter Puskesmas yang suaminya seorang pelaut AL yang sering berdinas keluar negeri. Saat itu bu dokter itu memberikan hadiah berupa sebuah boneka. Bapak mau membuka hadiah itu tapi paman bilang kalau aku sudah besar jadi lebih baik hadiahnya untuk anaknya saja yang notabene adalah saudara sepupuku. Aku hanya bisa mengiyakan saja.Jelas aku tak berani melawan. Sementara bapak sepertinya diam saja dan memberikan boneka itu pada keponakannya. Boneka itu belum sempat kusentuh sedikit pun tapi sudah diberikan pada orang lain. Di kelak kemudian hari aku tak begitu menghargai milikku, bila diminta orang lain ya aku berikan begitu saja.
Frater, paman dan kakak tertua |
Kakak pertamaku yang jarak umurnya jauh dariku sibuk mempersiapkan pesta dengan menebang pohon cemara di dekat rumah sebagai pohon natalnya. Hiasan-hiasan natal pun ditata oleh mereka, termasuk patung-patung kecil pelengkapnya. Sementara aku membantu di dapur. Aku masih SD waktu itu, kira-kira berumur 10 tahun.
Pesta pun dilaksanakan dengan meriah, kakak tertuaku ikut beryanyi di depan bersama frater. Pesta pun usai sudah. Dari tadi aku hanya berada di dapur saja. Seusai pesta aku melintasi ruang tengah dan melihat di sudut ruang tamu famili dari Muntilan berkumpul. Mereka tak seorang pun yang menyapaku atau mengajakku ikut serta. Aku langsung masuk ke kamar dan menangis. Bapak dan ibuku hanya mendiamkanku saja, tidak memberikan perhatian.
Esoknya ketika kulihat foto-fotonya, memang tak ada satu pun foto tentang aku. Ya sudahlah.
Aku heran mengapa aku tak mereka dekatkan dengan para famili? Aku merasa berbeda. Aku juga berpikir bahwa mereka, famili dari pihak bapak menyangka hidupku yang serba enak tidak seperti ketiga kakakku yang tinggal dengan nenek di Muntilan. Bagaimana bisa aku menjelaskan pada mereka? Mungkin saja aku terkesan sombong, tapi sebenarnya aku minder.
Bapak ibuku sangat otoriter, suka memaksakan kehendaknya tanpa melihat bagaimana reaksiku. Perasaanku sangat tak mereka pikirkan. Waktu SMA aku harus masuk jurusan IPA karena orangtua menginginkanku menjadi seorang dokter. Seharusnya aku masuk jurusan IPS atau bahkan BAHASA saja mengingat aku tak begitu pandai. Tentu saja aku gagal masuk FK UNDIP. Aku nganggur setahun sebelum aku diterima di FH UNDIP.
Aku sering menangis sendirian di malam-malamku, terutama ketika aku sudah kuliah. Aku melihat banyaknya perbedaan antara aku dengan mereka. Aku tidak mengerti “merah hijaunya” dunia, yang kutahu hanyalah warna “hitam, putih dan kelabu”. Terkadang aku tak mengerti bagaimana aku harus menyikapi sesuatu hal, apakah harus marah atau diam saja.
Sampai aku lulus kuliah pun, bapak (ibu meninggal saat aku lulus SMA) masih suka memaksakan kehendaknya. Aku masih ada tes wawancara di sebuah bank negeri ketika bapak memaksa aku ikut saudara yang sudah bekerja di sebuah bank swasta di Bandung. Aku kemudian diterima di sebuah bank swasta di Bandung. Aku gamang dan aku gagal di masa percobaan. Aku tak memberitahukan tentang hal ini, aku kemudian mencari kerja sebisaku asal aku bisa makan dan sewa tempat tinggal. Sebenarnya orangtua tak pernah mengajariku tentang kemandirian. Kemandiriaku adalah sesuatu yang aku paksakan karena kebutuhan yang mendesak.
Seolah sayap-sayapku telah kalian patahkan sejak dini. Aku menjadi tak bisa terbang bahkan berlari. Langkah-langkahku pun kecil tak percaya diri. Aku juga merasa sangat heran ketika akhirnya aku tmengetahui bahwa aku memang benar-benar disunat saat bayi. Aku kan non muslim dan juga aku kan perempuan. Mengapa kalian lakukan itu terhadapku? Atau paling tidak mengapa kalian biarkan hal itu terjadi? Saat aku dewasa aku menjadi sangat tidak terima kalian menyunatku, dalam arti yang sesungguhnya.
Sewaktu masih di Magelang, aku kalau ke mana-mana diantar sama bapak ya pakai mobil, becak atau jalan kaki. Sebetulnya aku merasa jengah tapi bagaimana lagi? Bapak sering bertanya apakah aku malu punya orangtua seperti mereka, setiap kali aku agak enggan ditemani. Bukan begitu tetapi aku kan sudah SMA. Ke Muntilan pun ditemani, aku sampai dituduh bahwa sudah besar kok ke mana-mana diantar sama bapak. Aku ingin berteriak menjelaskan tapi bagaimana aku harus menjelaskan pada semua orang?Aku sedih, itu sudah jelas. Seakan ini adalah fitnah.
Aku tak punya pacar saat SMA. Pernah ketua OSIS ku yang memang aku taksir datang ke rumah sendirian. Bukannya mempersilahkan duduk, bapak malah seakan menghardiknya. Aku sendiri pun tak tahu harus bersikap bagaimana, aku serba salah. Bapak, dia itu satu-satunya orang yang kutaksir yang seiman pak (Katolik). Sampai kini pun hanya dia yang seiman. Ya sudahlah. Bapak seakan tak merelakanku untuk bahagia. Sewaktu kecil untuk bersenang-senang atau bergembira bersama teman-teman pun orangtuaku tak mengijinkan, dan untuk bahagia apalagi.
Aku seolah hidup dalam penjara, sendirian. Bila aku kecil banyak bertanya maka ibu menyuruhku untuk diam.Untuk bernafas pun seakan tak bebas. Pernah aku gagal ikut study tour di mana orang yang kutaksir sangat mengharapkan aku ikut. Ibu hanya membelikanku majalah saja sebagai penggantinya. Aku menghela nafas dalam-dalam, dan ibu menjadi marah-marah. Aku sangat sedih kehilangan momen berharga itu. Bukankah waktu SMA tak bisa diulang lagi. Ketika teman-teman bercerita tentang keindahan masa SMA-nya aku hanya meratapi nasib. Aku telah kehilangan masa kanak-kanak dan masa remajaku sekaligus.
Jurusan hukum adalah salah bagiku. Aku tak bisa membela diriku sendiri, bagaimana mungkin bisa membela nasib orang lain? Jangan menjadi sarjana hukum bila untuk membela diri sendiri pun tak bisa, sepertiku. Gelarku hanya menjadi olok-olokan semata. Seharusnya sejak dini diketahui bakat dan minat seorang anak agar tidak salah jurusan.
Seringnya pemaksaan kehendak yang diberikan orangtua terhadapku membuatku tak bisa ambil keputusan. Aku merasa pendapatku adalah salah, yang benar adalah pendapat orang lain. Kelak di kemudian hari aku menyerah saja di persidangan perceraianku. Aku menjadi tak percaya diri, mudah dipengaruhi, dipaksakan kehendak, bahkan ditipu.
Bapak dan ibuku, berbahagiakah kalian melihatku seperti sekarang ini? Bila kalian berkenan, ijinkan aku untuk hidup berbahagia. Kalian sebagai orangtua adalah wakit Tuhan di dunia, untukku. Biarkan aku dekat dengan pria yang baik yang aku sayangi, dukunglah aku untuk bersamanya membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia, biarkan aku merintis segala usahaku untuk melanjutkan hidupku
Bapak dan ibuku yang ada di Surga,
Ijinkan aku untuk bahagia agar Tuhan membukakan pintu bagi kebahagiaanku.
Ikhlaskan aku untuk hidup berbahagia.
Terima kasih untuk bapak dan ibuku.