Wednesday, October 23, 2013

Oh My Mother in Law 2 (eks)


Maksud hati ingin curhat tapi malah dia yang lebih banyak cerita, seakan mendapatkan tempat buat curhat. Aku lebih banyak mendengarkan dan sesekali menanggapi ceritanya. Tapi aku betul-betul mendengarkan, karena aku adalah pendengar yang baik. 
Memang mbak yang satu ini kalo cerita banyak namun sering diulang-ulang. Ya biarlah kalo dengan demikian dapat mengurangi beban hidupnya. Kupikir aku yang paling banyak beban hidup, tapi ternyata aku keliru. Paling tidak semua ini tergantung bagaimana cara orang memandang dan menyikapi permasalahan hidup atau beban hidupnya. 

Kalo dipikir-pikir dan kalo dibanding-banding, nasib mbak ini jauh lebih baik ketimbang aku. Bayangkan dia mempunyai suami dengan pekerjaan mapan dan penghasilan lumayan dan dua anak laki-laki dan perempuan, lengkap sudah. Masih ditambah dengan dua buah mobil yang siap membawa mereka ke manapun mau pergi, meskipun rumah masih menempati rumah orangtuanya yang kosong. Dia sendiri menerima pensiun dininya setiap bulan. Suaminya juga termasuk yang baik-baik saja. Apalagi yang dikeluhkan, coba?

Dari ceritanya yang bikin aku kaget adalah dia baru saja keluar dari rumah sakit, opname beberapa hari karena stress, katanya. Tengkuknya atau belakang telinganya dan beberapa bagian lainnya disuntik berkali-kali, ah apa iya? Sakit apa itu? Dia bilang stress karena memikirkan ibu mertua. Oh oh oh! Gak usah dipikirin mbak, bikin capek, sakit hati dan sakit fisik. Kalo dipikir-pikir, yang lebih dirugikan sama ibu mertua siapa ya? Jelas aku karena ini menyangkut hidup matiku.

Saat aku sempat matur ke ibu mertuaku tentang nasibku pasca bercerai, sungguh aku sangat kaget setengah mampus mendengar pernyataan-pernyataannya. Oh jadi begitukah perlakuannya atau lebih tepatnya nasehat yang diberikan kepada mantanku untuk memperlakukanku sedemikian rupa? Benar-benar tak bisa dipercaya. Bagaimana mungkin dia kan ........... dan ............ kok cara berpikirnya seperti itu.

Kalo selama ini aku mengecam  perlakuan ibunya Vicky yang mati-matian membela anaknya yang belum tentu benar dan bersih, maka mantan ibu mertuaku tidak sekedar membela anaknya mati-matian namun justru dialah otak di balik ketidakadilan yang kuterima dari mantanku selama ini. Dia sangat mempengaruhi cara berpikir mantanku. Dan, mantanku seperti kambing dicucuk hidungnya, nurut aja. Ya iyalah kan dengan demikian dia juga lebih diuntungkan secara materi, juga lebih bebas secara kehadiran.

Tidak tahukah ibu,bahwa dengan mengatakan hal-hal demikian, maka hal itu malah menjadi bumerang bagi ibu sendiri? Merugikan ibu, saya dan Dinda. Lihatlah betapa dia tidak begitu memperdulikan ibu secara materi pada khususnya. Alasannya tentu saja belum cukup secara materi. Dan, ibu mertuaku percaya begitu saja, cenderung sangat mempercayai semua yang dikatakan mantanku. Barangkali dia adalah anak kesayangan.

Dia kan jaksa yang sudah berdinas belasan tahun, masak ibu mertuaku percaya kalo dia belum punya apapun, termasuk mobil? Makanya kalo pas pulang bawa mobil, dia titipkan mobil itu ke temannya dan meminjam mobil temannya itu. Dia pura-pura miskin kalo pulang kampung. Juga bila berkunjung ke rumah kontrakanku, pakai kaos rumahan yang jelek dan hp yang jelek. Istilahnya berkunjung ya karena dia di rumah yang ini belum pernah menginap. 

Hal-hal yang pernah dikatakan mantan ibu mertuaku tak usahlah aku katakan secara detail. Pada intinya bahwa dia percaya bahwa gaji mantanku masih belum cukup untuk hidup sendiripun apalagi untuk dibagi dengan kami anak dan mantan istrinya. Tentang keinginanku punya rumah kembali, dia contohkan tetangganya yang sampai mantupun masih ngontrak. Aduh aduh aduh, bagaimana ini? 
Dan ada beberapa hal lain yang dikatakannya, namun tetap memihak anaknya. Aku ini apalah. Aku tidak meneruskan perbincangan dengan mantan ibu mertuaku karena semakin menyakitkan rasanya. Apalagi ada mantanku yang juga duduk di ruangan itu yang mendengar dengan jelas dan dalam hati pasti tertawa terbahak-bahak mendengar pembicaraan tolol kami. Jelas sudah bahwa mantanku sangat diuntungkan, semakin tak bertanggungjawab saja.

Mengapa ya seegois itu? Kami ini menantu dan mantan menantu yang pendiam yang tidak  meminta ini itu, tapi mengapa diperlakukan seperti ini? Pernah aku minta ibu mertua menasehati mantanku, tapi tentu saja nasehatnya memihak mantanku, yang justru akan menjadi bumerang bagiku.
Tak tahu lagi apa yang mesti kulakukan. Bagaimanapun aku harus mengusahakan kepentinganku, tapi kurasa ini sudah maksimal. Kualihkan usahaku dalam bentuk doa.

Semoga saja mereka berdua, mantanku dan ibunya secepatnya mendapatkan hidayahNya, sebab bila tidak akan sangat pedih siksa kuburnya atau apalah namanya. Semoga yang pulang dari tanah suci membawakan hidayah bagi mereka. Yang penting mereka segera sadar akan kekeliruannya selama ini. Kami ini korbannya. Lihatlah penderitaan kami. Coba rasakan penderitaan kami.
TEPO SLIROLAH.
 
(Gambar telah diganti)

0 comments: