Bermula dari seorang tetangga jauh yang memintaku atau tepatnya menawariku menjadi saksi dari sebuah parpol besar. Tawaran itu langsung saja aku ambil. Mengapa tidak? Aku anggap ini sebagai kerja sosial dan mencari pengalaman baru.
Aku tinggal di tempat ini baru sekitar tiga setengah bulan. Namun demikian aku berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh. Ajang menjadi saksi aku gunakan untuk lebih mengenal mereka. Tentu belum banyak tetangga yang tahu tentang keberadaanku di sini.
Beberapa orang mengira aku adalah anak atau famili dari yang punya rumah kontrakan ini atau famili dari tetangga jauh yang sekarang sudah seperti saudara. Aku tak ada hubungan persaudaraan dengan mereka, tetapi aku menganggap mereka sebagai familiku.
Caleg di mana aku menjadi saksi ini kebetulan adalah tiga orang dari satu keluarga besar di lingkungan keraton. Mereka mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR RI, DPRD Tingkat I dan DRPD Tingkat II. Mereka adalah seorang ayah berdarah biru yang mempunyai wibawa khas pejabat di jaman Orde Baru, anaknya dan adiknya. Nepotisme? Kukira bukan nepotisme karena baik anak maupun adiknya sama-sama berjuang secara pribadi untuk bisa mendapatkan “kursi”.
Dua kali pertemuan antara mereka bertiga dengan kami warga sekitar tempat tinggalnya telah berlangsung dengan baik. Berbagai hadiah yang disediakan adalah pemikat bagi kami. Kuakui mereka berbicara bahasa Jawa dengan sangat santun, tepatnya mereka menggunakan bahasa Jawa krama inggil kepada kami, kawula alit. Tidak semestinya seperti itu, tapi mungkin ini adalah salah satu cara untuk memikat kami agar mendukung mereka.
Tepat pada hari pencoblosan, tanggal 9 April 2014 pukul 6.30 aku sampai di TPS dekat rumah, di rumah mantan RT. Ketika aku melongok ke dalam, dia bilang :”Belum buka”, aku hanya tersenyum. Padahal sebenarnya malamnya aku meyerahkan Surat Tugas ke TPS 11 ini tapi dia tidak ada. Jadi dia tidak tahu kalau aku menjadi saksi, maklumlah aku terhitung warga baru di sini. Saksi-saksi pun belum banyak yang datang.
Acara dimulai pada pukul 07.30 diawali dengan pengambilan sumpah untuk para KPPS yang berjumlah 7 orang. Pengambilan sumpah disaksikan oleh para saksi yang berjumlah 8 orang , petugas keamanan dan beberapa orang yang akan memberikan suaranya. Orang-orang mulai berdatangan, duduk rapi di kursi-kursi yang berderet di halaman rumah. Sebuah tenda pun dipasang. Ini mirip dengan perhelatan, tetapi ini bernama pesta demokrasi. Satu persatu pemilih dipanggil memasuki bilik pemungutan suara untuk mencoblos gambar partai atau orang yang dipilihnya.
Jumlah pemilih sesuai yang tercantum di DPT ada 248 orang, tetapi yang hadir memberikan suaranya hanya sebanyak 176 orang. Berarti yang tidak memberikan suaranya, memberikan suaranya di tempat lain atau yang golput sebanyak 72 orang. Di TPS 11 ini orang yang memberikan suaranya total berjumlah 179 orang terdiri dari 92 laki-laki dan 87 perempuan. Sementara yang 3 orang lagi menggunakan KTP untuk mendaftarkan diri, termasuk aku yang belum terdaftar di DPT setempat. Dari 179 suara tersebut, kemudian diketahui bahwa 16 suara dinyatakan tidak sah. Proses pemungutan suara berjalan sangat lancar. Seorang anggota KPPS sibuk dengan candaannya kepada para pemilih yang akan atau sedang memberikan suaranya, sehingga menimbulkan suasana ceria dan menghilangkan kantuk kami.
Tepat pukul 13.00 kami beristirahat setengah jam. Kami harus kembali stand by pukul 13.30 untuk melakukan penghitungan suara. Penghitungan suara pun berjalan lancar tanpa kendala yang berarti. Para saksi dinilai kooperatif dan baik-baik. Kami segera mengetahui partai apa yang unggul dan caleg mana yang banyak mendapatkan suara.
Proses penghitungan suara kira-kira berakhir pada pukul 21.00. Di TPS 11 ini, PDIP menduduki peringkat pertama disusul dengan Golkar di urutan kedua. Nampak sekali ada fanatisme terhadap partai tertentu. Dan, dengan adanya perbedaan perolehan suara pada caleg antara DPR RI, DPRD I dan DPRD II, maka terlihat bahwa orang sekarang cenderung memilih orang ketimbang memilih partai, kecuali adanya fanatisme yang mencolok pada partai tertentu.
Tepat pukul 22.15 berakhir sudah semua proses. Proses terakhir adalah penandatanganan Formulir Model C, C1 dan Lampiran Formulir C1. Kemudian laporan penghitungan suara beserta berkas tersebut aku serahkan kepada orang yang memberikan tugas /mandat sebagai saksi yang telah duduk menunggu di luar ruangan.
Keesokan harinya baru aku ketahui bahwa ada dua TPS di sekitar sini yang proses penghitungan suaranya diulang lagi, hingga mereka harus pulang pada pukul 03.00 dini hari. Ini adalah pengalamanku menjadi saksi di TPS pada PEMILU CALEG 2014.
Catatan :
KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
DPT : Daftar Pemilih Tetap
TPS : Tempat Pemungutan Suara
0 comments:
Post a Comment