Pagi tadi aku menghadiri sidang putusan atas gugatan ceraiku di Pengadilan Agama.
Pagi-pagi sekali sehabis mengantar anakku sekolah aku langsung ke Pengadilan Agama yang jaraknya lumayan jauh. Di sana masih sepi, bahkan pintu samping kantorpun baru saja dibuka begitu aku datang. Aku mendapatkan nomor urut sidang yang kedua.
Rasanya deg-degan menantikan hasil putusan hakim. Adilkah putusan itu nanti? Pukul 09.30 sidang yang pertama dimulai, perasaanku semakin gak karuan. Tibalah giliranku untuk sidang, tapi pengacara suami belum juga datang. Setengah jam yang lalu ketika aku sms, dia bilang baru masuk Solo artinya butuh waktu yang masih lumayan juga. Akhirnya sidang ditunda menunggu datangnya pengacaranya.
Akhirnya datang juga saat itu saat yang aku tunggu-tunggu sejak lama, maklum ini adalah sidang yang ke sepuluh dan belum terhitung dua kali mediasi yang gagal. Hakimnya sekarang ada tiga, padahal sewaktu aku dipanggil tadi hakimnya baru satu, seperti biasanya. Ini karena pengacara bayanganku yang orang Jakarta mengirimkan nota protes dengan hadirnya hakim tunggal yang dinilainya sebagai tidak sah. Tentu hanya untuk sidangku saja dihadirkan tiga hakim, yang katanya dicomot dari hakim-hakim dari Pengadilan Agama sekitar. Alasan dari hakim tunggal adalah karena kekurangan hakim. Bisa dimengerti.
Hakim ketua mulai membacakan amar putusan. Dimulai dari gugatanku yang memang panjang kemudian jawaban suami, replik dan duplik. Sampailah pada putusan hakim, aku mulai menunduk karena ada beberapa bukti yang ditolak atau dikesampingkan hakim. Jelas sudah bahwa putusan hakim tidak sesuai dengan bayanganku, sangat jauh malah. Yang aku herankan kenapa jumlah nominal yang ada dalam putusan hanya sepertiga dari yang sudah disanggupi oleh suami pada saat mediasi. Benar-benar aneh.
Hakim beberapa kali menyinggung tentang kepindahanku ke agama semula, yaitu Katholik. Hal itulah yang menyebabkan aku kehilangan beberapa hakku, seperti misalnya aku tak mendapatkan uang masa iddah.
Mengenai kepindahan agamaku ini, tentu ada alasan yang mendasar. Bukan karena kepindahan agama ini maka perkawinan berantakan, tetapi justru karena suami yang tidak dapat menjadi imam yang baik yang seharusnya mengajari dan meneladani kehidupan rumah tangga secara Islami dengan baik. Suami yang mulai acuh tak acuh dan menelantarkan keluarga inilah yang membuat aku gundah dan membutuhkan tiang agama yang kokoh. Maka dari itulah aku kembali ke agamaku semula agar kudapatkan ketentraman batin dan kekuatan dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang banyak cobaan ini.
Setelah sidang berakhir, nampaknya pengacara suami menaruh iba padaku. Dia mengajak ngobrol sebentar dan menyarankan ini itu. Dia orang baik sebenarnya, hanya tuntutan pekerjaan sajalah yang membuatnya menjadi "melawanku". Tentu saja dia kan pengacara suamiku.
Tentang hasil putusan hakim, aku berpikir sepanjang jalan pulang sambil sesekali air mataku menetes. Pagi tadi belum sempat sarapan, kupikir bisa sarapan di warung seberang Pengadilan Agama, tapi ternyata warungnya tutup. Prihatin dulu tapi hasilnya seperti ini.
Sesampai di rumah aku sms suamiku eh mantan suamiku tepatnya kan sudah dinyatakan bercerai tadi. Dia bilang :"Aku tetap pada komitmen, percaya aku, hanya masalah waktu aja & bertahap/diangsur". Kukira aku tak perlu banding, karena selain butuh waktu 3 sampai 4 bulan juga aku meragukan putusannya. Keinginan banding aku tinggalkan saja.
Malamnya aku sms mbaknya atau mantan mbak iparku yang baik. Aku katakan tentang hasil putusan hakim dan kuingatkan tentang kesanggupan mantan suami untuk memberikan sejumlah nominal tertentu yang sudah dijanjikan sekitar tiga tahun lalu. Mbaknya mau memediasi dengan menghubungi mantan suamiku. Ini terbukti dari mantan suami yang kemudian sms aku tentang kesanggupannya tersebut. Aku percaya atas komitmen mantan suami tentang hal ini. Namun demikian aku juga memintanya untuk membuat surat kesanggupan tersebut di hadapan notaris demi kenyamanan dan keamananku.
Terhitung mulai hari ini statusku berubah menjadi janda eh lajang aja deh. Tanggungjawab menantiku. Semoga aku bisa melewati masa-masa sulit ini dengan memulai usaha baru dan mengenal "seseorang" lagi juga bertanggungjawab atas anak yang dipercayakan kepadaku.
0 comments:
Post a Comment