Asti menunduk lesu, tak berani mendongakkan wajah menatap bapaknya. Kedua tangannya memainkan ujung bajunya, melipat dan meluruskan, melipat dan meluruskan lagi. Sementara Pak Burhan menatap lekat-lekat ke arah Asti seolah ingin menerkamnya bulat-bulat.
“Kenapa tak bilang dari dulu-dulu kalau kamu punya anak gadis secantik ini?” Itu kalimat yang didengar Asti pertama kali dari Pak Burhan. Matanya tak sedetik pun beralih ke tempat lain, selain hanya sibuk memandangi Asti.
Pak Burhan memandang dari kepala sampai ke kaki seolah menelanjangi tubuh Asti.
Asti tidak tahu tentang isi pembicaraan antara bapaknya dengan Pak Burhan tadi sebelum dirinya dipanggil masuk ke ruang tamu.
Dulu Asti hanya mendengar nama Pak Burhan saja, itupun dulu sewaktu masih kecil. Melihat langsung ya baru kali ini, di rumahnya pula. Yang Asti tahu Pak Burhan telah menikah dan dikaruniai dua anak, laki-laki dan perempuan. Umur anak-anak Pak Burhan tak beda jauh dengan dirinya.
Dipandangi begitu Asti merasa jengah. Ingin rasanya Asti segera keluar dari ruangan yang menyesakkan ini, pergi ke Yogya menemui Aryo, kekasihnya.
Sementara bapaknya hanya tertawa-tawa mendengar penuturan kagum dari Pak Burhan. Betapa bangganya Pak Kasmo mendengar hamburan pujian orang lain terhadap anak perempuannaya. Apalagi pujian itu diucapkan oleh Pak Burhan, orang terkaya di desanya.
Pak Burhan berperawakan tinggi besar dengan kumis tebal bertengger di atas bibirnya. Kulitnya sawo matang, rambutnya cepak. Meskipun umurnya sudah genap enam puluh tahun, namun masih tampak gagah berwibawa.
Dulu Pak Burhan adalah lurah di desa Wisanggeni ini, maka pantas bila warga desa masih menghormatinya. Begitupun Pak Kasmo sangat menghormati Pak Burhan.
Sudah sepuluh tahun Pak Burhan meninggalkan desanya untuk mengadu nasib di kota propinsi, Semarang. Sebuah rumah makan ayam goreng terkenal telah berhasil dikelolanya. Oleh karena itulah maka pantas bila Pak Burhan jarang pulang kampung. Sampai-sampai tidak tahu bahwa Pak Kasmo sahabatnya mempunyai anak gadis yang cantik. Maklumlah Asti termasuk kembang desa di Desa Wisanggeni ini.
Asti nampak semakin mengkerut di kursinya, kentara sekali bahwa dia dilanda keresahan. Berkali-kali Asti memperbaiki letak duduknya yang tak nyaman.
Duduk dengan hanya menekuri lantai di sekitar kakinya membuatnya jengah. Asti bangkit berdiri hendak keluar ruangan, namun bapak mencegahnya: “Mau ke mana kamu? Temani dulu Pak Burhan. Beliau kan ingin mengenal kamu lebih dekat”
Asti kembali duduk di kursi kayu, sekarang kedua tangannya bertumpu pada pegangan kursi di kanan dan kiri, namun matanya tetap menunduk. Kini bapaknyalah yang keluar, dihembuskannya asap rokok kuat-kuat.
“Okelah Pak Kasmo, aku pergi dulu ada janji dengan teman bisnis” begitu pamit Pak Burhan.
“Oh iya iya Pak Kasmo monggo silahkan. Sugeng tindak. Jangan sungkan-sungkan untuk mampir kembali”
“Aku pergi dulu ya Asti, besok kita ketemu lagi”
Asti hanya mendengus tanpa menatap Pak Burhan.
Rasa tak suka itu kentara benar, namun Pak Burhan mengacuhkannya. Dia pikir dengan iming-iming kekayaan maka semua bereslah.
Sepulang Pak Burhan, bapak kembali menegaskan pada Asti : “Kamu mau kan menjadi istri Pak Burhan? Dia orang kaya di desa ini dan cukup terpandang” Asti tak menjawab, hanya menunduk lesu. “Kamu bisa minta apa saja darinya. Kamu pasti sejahtera hidupmu nak”
Kali ini Asti menjawab lemah :”Aku tak mau pak”
“Apa kamu bilang? Tidak mau? Kamu ini kudidik untuk menjadi anak yang baik, bukannya melawan kehendak orangtua seperti ini”
“Tapi pak .....”
“Kamu bilang bahwa kamu sudah punya pacar, begitu? Aryo itu hanya pegawai rendahan, mana bisa dia mencukupi kebutuhan hidupmu? “.
Tapi kami saling mencintai pak” Asti berusaha menjelaskan maksudnya.
“Ah omong kosong sama yang namanya cinta. Memangnya kalo kamu lapar kamu cukup dengan makan cinta? Seperti itu? Dengar ya Asti, semakin lama harga-harga semakin mahal, itu namanya hidup semakin susah saja dari hari ke hari. Ini ada orang kaya yang mampu memenuhi semua keinginanmu malah kamu tolak”.
Asti tetap tak bergeming. Pendiriannya masih tetap sama, menolak perjodohan bapaknya.
Pak Kasmo menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Diminumnya kopi yang tak lagi panas.
Di luar rumah, ibunya tergopoh-gopoh pulang dari pasar. Segera diletakkannya keranjang belanjaannya, diambilnya bahan-bahan masakan untuk hari ini. Masaknya harus cepat karena hari sudah siang. Cucian terlalu banyak tadi, sehingga ke pasarnya agak siang.
“Asti sini bantu ibu memasak”, ibunya memanggil. Tak seperti biasanya, Asti kali ini nampak lesu tak bersemangat. Ibunya tak begitu hirau tentang hal ini. Yang terpenting masakan hari ini harus segera siap tersaji. Oseng kangkung dengan lauk tempe dan tahu goreng serta sambal terasi kesukaan suaminya. Tidak lupa krupuk bulat yang tadi dibelinya di pasar.
Asti mulai memetik kangkung tanpa kata, kemudian mencucinya di dekat sumur. Setelah itu Asti masuk ke dapur yang letaknya dekat dengan sumur. Dapur yang terbuat dari anyaman bambu ini terpisah dari rumah induk. Dengan cekatan diambilnya tempe-tempe yang berbungkus daun pisang, kemudian dilepasnya bungkusan-bungkusan tersebut.
Sementara ibunya sibuk membuat bumbu untuk tempe dan tahu goreng. Ketika mulai menggoreng, Bu Kasmo mulai melihat tanda-tanda yang tak biasa dari anaknya. Di matanya, Asti nampak pucat dan hanya diam seribu bahasa. Namun demikian tangannya tetap cekatan menggoreng tempe dan tahu lauk makan siang mereka.
Bu Kasmo mulai berpikir, “Apakah ini disebabkan karena kedatangan Pak Burhan? Apakah Pak Burhan sudah datang? “ begitu pikirnya.
Hal ini hanya dipikirkan saja, tak berani dia bertanya pada anaknya takut Asti mengurungkan niat membantunya memasak.
Seperiuk besar nasi, sayur oseng kangkung, lauk tahu dan tempe, krupuk bulat serta sepiring pisang ambon dan minuman telah tersaji rapi di meja makan. Saatnya makan siang untuk keluarga Pak Kasmo. Pak Kasmo, istrinya, Asti dan Didit yang baru pulang sekolah telah duduk dan siap untuk bersantap siang, ketika ada tamu datang.
Seorang perempuan terlihat di pintu masuk dengan membawa sesuatu yang entah apa.
“Kulo nuwun ..... Bu Kasmo!” teriak perempuan itu.
Buru-buru Bu Kasmo keluar menemui tamunya:”Eh Yu Darsi ada apa kok tumben?”
“Ini bu ada titipan dari Pak Burhan” jawab Yu Darsi sambil menyerahkan bawaannya. Langsung tercium bau harum ayam goreng.
Satu dos besar berisi seekor ayam goreng lengkap dengan sambal dan lalap beralih ke tangan Bu Kasmo.
Setelah Bu Kasmo berucap terima kasih dan Yu Darsi pulang, segera dibukanya dos itu. Bau harum ayam goreng semakin membangkitkan selera makan mereka.
“Hore menu kali ini ayam goreng ya bu. Ibu bikin dong yang kayak gini. Tiap hari makan kayak gini juga boleh” Didit nampak kegirangan sambil mengambil nasi yang lebih banyak dari biasanya.
“Huss uang dari mana kalo tiap hari harus makan ayam?”, ibunya mendengus.
“Kan sebentar lagi anak kita jadi orang kaya bu, kok ibu lupa sih?” Pak Kasmo menimpali.
Bu Kasmo serba salah, mau menjawab apa tak ada ide di kepalanya. Di satu sisi dia setuju dengan suaminya, namun di sisi lain dia juga mengerti perasaan anaknya.
Sementara Asti nampak semakin murung saja, tak bersemangat untuk makan kali ini meski lauknya adalah ayam goreng kesukaannya.
Mereka jarang makan ayam goreng, maklumlah Pak Kasmo hanyalah buruh serabutan. Dia bekerja di kebun jeruk milik tetangga desanya. Menyiangi rumput-rumput liar, memanen jeruk, memberi pupuk, menyemai benih adalah bagian dari tugasnya. Terkadang dia juga membantu orang yang sedang membangun atau memperbaiki rumah. Pokoknya segala pekerjaan yang menghasilkan akan dikerjakannya, karena Pak Kasmo terkenal ringan tangan suka membantu.
Sementara istrinya selain mengurusi rumah tangga juga sesekali membantunya saat memanen jeruk.
Malam menjelang udara semilir tertiup angin, dilihatnya ayah dan ibunya sedang berbicara di teras rumah. Baru saja Asti akan masuk ke kamarnya, ketika ayahnya memanggil:”Asti ke sini sebentar nak”. Asti melangkah gontai mendekati orangtuanya.
“Bagaimana sudah kamu pikirkan maksud baik Pak Burhan?” ayahnya membuka percakapan.
“Kan Asti sudah bilang tadi pak. Keputusan Asti tetap sama” jawab Asti.
Kekecewaan mewarnai wajah Pak Kasmo.
“Kamu harus tahu Asti, bahwa bapak pernah meminjam uang sepuluh juta dari Pak Burhan. Dan, bapak belum bisa mengembalikannya sampai saat ini. Bila kamu mau menikah dengan Pak Burhan, bukan hanya hutang saja yang dilunasi tetapi juga bapak akan diberi modal”, suata Pak Kasmo memelan.
Asti baru tahu duduk persoalannya. Dia mengerti tetapi hatinya telah tertambat pada Aryo semata.
“Tapi Asti tidak bisa menerima Pak Burhan. Maafkan Asti pak, bu ....”
Tak ada keputusan yang bisa diambil oleh ayahnya. Ibunya pun tak turut urun rembug, hanya diam dalam kebingungan.
Malam kian larut, Asti sulit memejamkan mata. Teringat pada janji manis Aryo, membuat keputusannya bulat untuk meninggalkan desanya dan pergi menyusul Aryo ke Yogyakarta. Asti berniat mencari pekerjaan di sana.
Sudah saatnya dia bisa menghasilkan uang sendiri, toh sebagai lulusan SMK jurusan busana dia memiliki keahlian yang mumpuni. Namun di sisi lain Asti juga bingung ketika harus meninggalkan kedua orangtuanya dan adiknya. Mereka telah terbiasa hidup bersama. Tapi untuk maju bukankah dibutuhkan pengorbanan. Toh semua ini dilakukan demi mereka juga.
Asti berjanji akan membantu keuangan orangtuanya bila sduah berpenghasilan nanti. Keputusan bulat telah diambilnya tadi malam. Asti bangun pagi-pagi benar sebelum semua penghuni rumah bangun. Diambilnya travelling bag yang terbuat dari kain batik perca yang disambung-sambung. Dimasukkannya beberapa pakaian dan segala perlengkapan pribadi lainnya. Semua sudah siap, kini saatnya mandi.
Pikirannya terus berputar, bagaimana dia akan tinggal di Yogya nanti. Ingatannya langsung mengarah pada seorang temannya yang sudah terlebih dulu diterima kerja di Yogya. Ya, dia akan menghubungi Nani, temannya itu. Barangkali Nani bisa menunjukkan peluang kerja untuknya.
Asti tidak mempunyai handphone, makanya dia tidak bisa memberitahu Aryo saat ini. Tetapi soal alamat kos dan tempat kerjanya Asti sudah mencatatnya. Ibunya yang baru saja bangun terlihat bingung menatap anaknya. “Mau ke mana As sudah rapi begitu?”
Bukannya menjawab pertanyaan, tapi Asti malah menghambur ke pelukan ibunya sambil berbisik:”Asti akan ke Yogya bu menyusul Mas Aryo dan cari pekerjaan di sana ..... “
“Apa bapakmu sudah tahu?” tanya ibunya pelan juga.
“Belum bu” sahut Asti.
Bersamaan dengan itu bapak dan Didit bangun juga dan terheran-heran melihat ibu dan anak berpelukan sambil menangis. ‘Ada apa?” ayah dan Didit bertanya berbarengan.
“Ini Asti mau ke Yogya katanya.......” kalimat ibu menggantung, mau diteruskan tapi tidak jadi.
Asti langsung bersujud di kaki ayahnya sambil berkata mengiba :”Pak Asti minta maaf, Asti tidak bisa menikah dengan Pak Burhan apalagi menjadi istri kedua. Pak, Asti minta maaf. Maafkan Asti ya pak .....”
Pak Kasmo tidak bisa berkata apa-apa. Keputusan anaknya telah diambil. Bukankah seorang ayah hanya bisa tut wuri handayani? Apapun kemauan anak asal itu baik, orangtua sebaiknya mendorong dan memotivasi dari belakang. Itu yang kini akan dilakukan Pak Kasmo. Memaksa anak adalah tindakan yang kurang baik, apalagi bila itu hanya untuk kepentingan orangtua.
Setelah sarapan, ibu mengantar Asti sampai ke jalan desa. Distopnya angkuta desa yang akan menuju ke terminal di kota. Asti memeluk ibunya erat sambil menangis, demikian pula Bu Kasmo melakukan hal yang sama. Ini adalah perpisahan pertama yang mereka lakukan. Di dalam angkuta terlihat Asti melambai-lambaikan tangannya. Ibunya menunggu sampai angkuta belok ke kiri dan tak terlihat lagi, tertutup oleh rimbunnya pepohonan.
Di Yogya Asti segera menghubungi Nani temannya. Beruntunglah bahwa Nani masih berada di kos, belum berangkat kerja. Asti diperbolehkan beristirahat dan menunggu di kos sampai Nani pulang sore harinya. Nani segera mengirim pesan singkat ke Aryo. Nani adalah juga teman Aryo sedesa, jadi Nani memiliki nomor handphone Aryo. Aryo yang mengetahui Asti, kekasihnya berada di kotanya sangat girang.
Pagi sebelum berangkat kerja Aryo menyempatkan diri mampir ke kos Nani. Mereka berbincang sebentar baru kemudian Aryo dan Nani pergi bekerja. Ternyata di tempat Nani bekerja ada lowongan pekerjaan, sehingga Asti yang cerdas dapat diterima langsung di perusahaan tempat Nani bekerja. Dan, Asti pun tinggal bersebelahan dengan kos Nani. Mereka berangkat dan pulang kerja bersama-sama.
Aryo yang tadinya bekerja di perusahaan sablon keluar dari pekerjaannya dan memulai usaha sablon sendiri. Kini Aryo mengontrak sebuah rumah sederhana namun luas untuk usaha sablonnya. Aryo yang memang berbakat wirausaha, sangat jeli melihat pangsa pasar. Musim kampanye dan tahun ajaran baru lumayan mendongkrak penghasilannya.
Atas kebaikan hati Aryo, Asti mendapat pinjaman lunak dari bank untuk melunasi hutang orangtua Asti ke Pak Burhan. Pak Kasmo terharu dan merasa sangat bersalah telah bermaksud menjodohkan anaknya dengan Pak Burhan yang sudah beristri.
Pak Kasmo juga terbuka mata hatinya terhadap Aryo, yang meskipun masih muda tetapi dapat diandalkan.
Setiap bulan Asti juga mengirim uang untuk ibunya di desa.
Hubungan Asti dengan Aryo semakin lengket saja. Nampaknya Aryolah jodoh yang diberikan Tuhan untuknya. Mereka bersama-sama menata dan merencanakan hidup berkeluarga. Asti memegang tangan Aryo, sementara Aryo memeluk Asti dengan mesra. Pasir di Pantai Parangtritis menjadi saksinya. Bulan tersenyum menyembul di antara awan gemawan.
Cerpen yang lain : Kucing Yang Baik Hati