Kalo ini dibilang luka, iya ini memang luka. Bagaimanapun aku tak bisa lagi menerima torehan luka sekecil apapun. Telah kupahami tentang rasanya sakit hati. Sakit hati ini masih belum sembuh benar, kamu tahu? Mengapa kau campakkan aku kemarin seharian? Tak ada kabar darimu sebentar pun. Aku galau, kamu tahu? Di mana kamu kemarin? Dengan siapa kamu kemarin? Dan, apa yang kamu lakukan kemarin? Berbagai pertanyaan di benakku yang tak bisa aku jawab sendiri.
Aku telah menitipkan hati ini padamu, hampir dua tahun lalu. Sebenarnya hanyalah robekan-robekan hati yang tak tertata. Kuharap denganmu aku bisa menata kembali hatiku yang terobek-robek karenanya, dahulu. Jadi mohon jangan kau tambahi dengan luka-luka baru. Ini sudah cukup bagiku merasa kesakitan.
Beberapa pesan singkatku yang gagal terkirim telah mengindikasikan bahwa ada yang tak beres antara kita, tapi apa? Aku merasa tak bersalah apapun. Kita memang berada dalam kondisi LDR, kita berjarak oleh tempat. Aku tak bisa melihat langsung, hanya mata hatikulah yang mencoba untuk melihatmu. Entah benar entah salah, ini kesimpulanku.
Benarkah kamu mencintaiku dan menyayangiku dengan sungguh? Bila aku bertanya demikian, kamu menjadi agak gusar menjawab. Ya, aku mencoba memahami tentangmu. Aku mencoba mengerti tentangmu. Namun hari-hari libur tanpa kabarmu membuatku berpikir yang tidak-tidak. Terus terang aku tak rela bila kamu pergi dengan yang lain. LDR ini menyiksaku.
Kapan ya tak ada lagi LDR antara kita? Mohon Tuhan berkenan mempersatukan kami bertiga sebagai satu keluarga kecil yang bahagia. Kapan ya Tuhan? Aku menunggu. . . . . .