Terus terang aku mulai merasa aneh dengan diriku ini. Mengapa diriku lebih suka memikirkan orang lain. Mengapa hatiku cepat jatuh kasihan dan berkewajiban membantu orang lain? Bukankah mereka adalah benar-benar adalah orang lain? Mereka tak punya hubungan darah, kekerabatan ataupun persaudaraan denganku. Kini aku mulai tersadar dari mimpi buruk sekian lama. Kesadaran terlambat yang merubah cara pandangku.
Aku tak lagi peduli pada orang-orang yang membuatku meneteskan airmata, pada orang-orang yang membuatku meratap dan pada orang-orang yang membuatku menderita. Aku akan lebih peduli pada diriku, pada hatiku dan pada jiwaku. Kikiskan segala rasa belas kasihan itu. Sebagaimana dulu aku pernah tertipu pada tipu daya yang membuatku kasihan dan melayanglah uang lima juta lima ratus ribu rupiah untuk seseorang yang mengaku sebagai polisi muda yang ganteng tapi sedang butuh uang untuk menebus SK-nya, untuk keluar dari penjara dan tipu daya lainnya. Begitupun aku tak lagi peduli pada seorang nenek renta tetanggaku si penjual gorengan keliling kampung sebab ternyata dia punya uang empat puluh juta rupiah yang tersimpan rapat di lemarinya. Juga aku tak peduli lagi pada pengemis yang menjual kesedihan di pinggir-pinggir jalan, karena kemungkinan dia memiliki segepok uang di balik di gubuk reyotnya.
Tak lagi aku terpedaya oleh wajah memelas, suara yang meminta belas kasihan dan hipnotis jahat. Lebih baik aku peduli pada kecantikanku, pada rambutku yang halus, pada perawakanku yang langsing dan pada kesejahteraan hidupku. Telah kutegak-tegakkan tubuhku, telah kugagah-gagahkan langkahku, telah kusenyum-senyumkan wajahku agar tak terlihat bahwa sebenarnya aku sedang menderita. Semua ini malah merugikan diriku, karena mereka itu menganggapku bisa berdiri di atas kaki sendiri dan tak bermasalah. Dahulu memang seperti itu, tetapi saat-saat ini aku jatuh mencium bumi. Mereka tak melihat hal itu. Mereka berlari meninggalkanku menuju pada keegoan masing-masing. Tubuhku terasa terseret-seret, tapi mereka tak melihat. Hatiku pun terasa tercabik-cabik tapi mereka tak merasa. Beginikah dunia memperlakukanku? Aku sama sekali tak meminta belas kasihan. Pengertian pun sudah cukup bagiku.
Aku bukankah ahli agama yang harus mencontohkan perbuatan baik, perkataan baik dan pemikiran baik. Aku hanyalah umat biasa, yang bila berbuat salah pun seharusnya dimaklumi.