Pertemuan dengan seseorang atau tidak dipertemukan dengan seseorang tentu di luar kemampuan kita. Maunya kita bertemu dengan seseorang, namun bila Tuhan belum berkenan tentu hal itu tidak terjadi.
Akhir-akhir ini ada hal-hal di luar nalar tentang pertemuan ini. Ada dua hal yang ingin aku ceritakan di sini tentu tentang dua orang yang berbeda. Yang satu tentang dipertemukan dengan seseorang karena Tuhau berkenan dan memang ingin mempertemukan, sedangkan tentang hal lain kukira Tuhan tidak berkenan mempertemukan aku dengan orang satu ini.
Sehabis kecelakaan tempo hari aku ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang telah menolong aku dan anakku yang telah membawa kami ke rumah sakit dengan mobilnya. Karena dia menghubungi beberapa orang dengan HPku tentu saja aku tak bisa melacak nomor HPnya. Namun Tuhan ternyata mempunyai cara lain untuk mengobati rasa penasaranku.
Suatu hari aku dan anakku ke salon bermaksud untuk cuci muka. Namun karena aku belum diperbolehkan cuci muka, maka aku hanya menunggu Dinda anakku yang cuci muka. Aku duduk di bawah sementara Dinda naik ke lantai atas. Beberapa saat kemudian Dinda SMS, katanya dia bersebelahan dengan orang yang telah menolongku waktu kecelakaan. Rupanya bapak itu mendengar suara Dinda yang mengingatkannya waktu Dinda panik tempo hari.
Kemudian aku bertanya pada mbak-mbak penjaga salon, mengorek informasi. Dari mereka kudapatkan informasi tentang alamat tempat tinggalnya yang tak lengkap, hanya kuketahui rumahnya yang di perumahan berdekatan dengan perumahan tempat aku tinggal. Juga kudapatkan tentang perusahaan tempatnya bekerja. Itu saja.
Aku kemudian menunggu bapak ini turun sehabis cuci muka untuk mengucapkan terima kasih dan bertanya tentang alamatnya untuk memudahkan sewaktu-waktu aku berkunjung memberi sesuatu.
Pada akhirnya saat memberikan sesuatu ke rumahnya, kudapati bahwa ternyata dia adalah suami dari guru Dinda sewaktu di SD Tarakanita Solo Baru. Oh ternyata dunia sungguh sempit. Orang saling kenal satu sama lain.
Aku merasa bahwa Tuhan berkenan mempertemukan kami untuk maksud yang baik. Dan, ternyata mereka juga satu "lingkungan" dengan kami bila ada acara keagamaan. "Lingkungan" adalah lingkup terkecil setelah keluarga di mana umat Katholik dapat berkumpul untuk sembahyangan atau acara keagamaan lainnya.
Satu hal lainnya adalah di mana Tuhan sudah tidak berkenan lagi untuk mempertemukan kami.
Ini cerita tentang seorang bernama Sri Rejeki atau biasa dipanggil Mbak Jeki. Dia adalah orang yang mengurusi Pak Saman, si empunya rumah yang aku kontrak. Kata orang Mbak Jeki ini cinta sama Pak Saman makanya mau melabuhkan hidupnya untuk melayani Pak Saman sampai akhir hidupnya. Mereka tidak menikah, dia hanya datang setiap pagi dan pulang waktu malam.
Karena Pak Saman sudah meninggal, maka aku terpanggil untuk membantu Mbak Jeki ini. Dia hanya bekerja beberapa jam saja di rumah tetangganya yang masih familinya dan hanya dibayar empat ribu rupiah perharinya. Tentu saja dia kekurangan untuk sekedar makan. Aku tahu itu. Maka dari itu setiap kali dia main ke rumah, aku tawarkan dia untuk makan. Yang dia makan sama dengan yang aku makan. Terkadang aku masak sendiri, kadang juga aku membeli lauk. Tak semua makanan dia mau makan. Pernah aku mengantar nasi gudeg lengkap satu renteng rantang ke rumahnya, eh dia bilang tidak suka gudeg. Duh, kenapa gak dimakan saja daripada menahan lapar. Begitulah dia suka menolak rejeki dengan menolak makanan. Emang siapa dia sih? Wong ya masih kekurangan kok belagu.
Kalau aku keluar rumah dia sering aku ajak. Makan di luar kalau sedang bepergian denganku itu pasti. Makanya dia senang sekali kalau aku ajak jalan-jalan karena suatu keperluanku. Dia pernah aku ajak makan di Bakso Pak Ruk, Ayam Goreng Lombok Ijo Gemblegan, Ayam Goreng Sambal Layah, Mie Ayam Pak Jangkung Solo Baru, Soto Seger Tipes, Rujak Cingur Manahan, dan masih banyak lagi. Aku tak pernah perhitungan dengan semua ini. Aku hanya kasihan saja sama Mbak Jeki ini.
Dengan cara begini aku seolah telah menggantikan peran Pak Saman, sampai akhirnya aku pindah ke rumah ini.
Mbak Jeki ini meskipun sudah dikasih makan hampir tiap hari, tak pernah ada kata terima kasih terucap dari bibirnya. Dia juga tidak aku perbolehkan membantuku memasak dan mencuci piring bekas makannya, hanya sesekali saja dia mencuci piring. Aku malas dengan ocehannya yang terkadang tak perlu. Kalo aku membantu ya membantu saja, tak diucapin terima kasih ya biar saja. Tuhan yang akan membalasnya.
Namun ada hal yang membuatku menyesal telah membantunya. Di saat aku sibuk-sibuknya mengemas barang-barang yang sedemikian banyaknya, eh dia malah duduk manis nonton televisi. Tak ada kata menawarkan bantuannya untukku. Aku pun juga tidak memintanya untuk membantuku. Tenaganya sangat mahal atau dia pemalas, aku tak tahu pasti.
Kini aku sudah tinggal di tempat yang berjarak kira-kira tiga kilometer darinya. Aku sudah jarang berjumpa dengannya. Aku masih sering main ke tetangga lamaku agak jauh, tapi tak pernah berjumpa dengan Mbak Jeki yang kata temanku juga sering main ke rumahnya. Jadi bila Mbak Jeki main duluan ke rumah tsb kemudian pulang, maka sesaat kemudian akulah yang datang ke rumah itu. Demikian juga bila aku yang duluan main ke rumah itu kemudian pulang, maka Mbak Jeki kemudian yang datang ke rumah itu. Ternyata Tuhan tidak memperkenankan kami untuk bertemu. Kami bisa bertemu di rumah tsb bila temenku memanggil Mbak Jeki yang kebetulan sedang lewat, itu saja.
Aku sudah cukup dalam membantu Mbak Jeki. Dan, karena perangai Mbak Jeki yang tidak begitu baik, kukira Tuhan tidak berkenan lagi untuk mempertemukan kami. Aku dalam membantunya tak pernah perhitungan tetapi ternyata dia tidak ringan tangan membantuku di saat yang diperlukan. Jadi, cukuplah sudah. Kini, kata temenku, dia suka datang di ibu belakang rumah lama pas ibu tsb sedang memasak. Tentu saja ibu itu tidak bisa membiarkan Mbak Jeki tidak makan di saat dia makan. Apakah hal itu menjadi kebiasaannya? Aku tidak tahu.Yang aku tahu dari temen, bahwa ibu itu mengaku agak keberatan bila hal seperi ini sering terjadi. Ibu yang baik hati ini memiliki banyak cucu, jadi kalo tiap hari berkurang jatah satu orang tentu akan terasa.
Satu-satunya jalan keluar adalah Mbak Jeki segera menikah. Tapi siapa yang mau? Yang dimaui Mbak Jeki pada tidak mau. Lagi pula Mbak Jeki pernah bilang bahwa jika dia menikah maka dia tidak akan bekerja lagi. Di jaman sekarang, hanya menggantungkan pada suami apa cukup? Kecuali kalao suaminya kaya. Tapi laki-laki kaya siapa yang mau sama dia? Aku tak perlu menyebut tentang ciri-cirinya. Yang aku tahu bahwa dia mempunyai angan-angan tentang laki-laki yang ketinggian.