Rose is love

Mawar identik dengan cinta karena mawar bisa mengungkapkan betapa indahnya cinta, betapa romantisnya cinta.

Wanita

Wanita ibarat kelembutan yang rapuh, namun wanita memiliki kekuatan yang dasyat tak terkira.

Solo

Solo atau Surakarta merupakan kota eks karesidenan di Jawa Tengah. Solo adalah kota yang sangat berkembang tak kalah bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia.

Embun Pagi

Embun menetes tiap pagi hari, menyentuh dedaunan, bunga-bunga, dan segala permukaan di bumi. Embun sungguh menyejukkan hati kita, membeningkan pikiran kita.

Kucing

Kucing adalah hewan yang paling menyenangkan. Tingkah polahnya yang lucu bisa menghalau galau dan menggantikannya dengan senyum bahkan tawa.

Tuesday, September 16, 2014

Akulah Mawar Itu

Akulah Mawar Itu

Aku tak mengerti mengapa selalu ada rasa ini untukmu 
Sebuah rasa yang menghentak-hentak dalam hatiku 
Berteriak dan menghiba ingin segera bertemu kamu 
Padahal sekali pun belum pernah kita bertemu 

Oh bagaimana seandainya Tuhan penuhi doaku? 
Doa dari seorang pencinta sejati untuk dirimu satu 
Oh bagaimana ya rupa wajahmu dan perawakanmu? 
Aku adalah pencintamu yang menjaga kesetiaanku selalu 

Seandainya kita dapat bersua muka alangkah senangnya aku 
Bercanda,memandangmu dan memelukmu adalah keinginanku 
Tapi aku takkan merepotkanmu dengan segala permintaanku 
Juga tak perlu kau bawakan aku sebuket mawar biru 

Meski mawar adalah bunga kesayanganku 
Tak perlu kau repotkan dirimu untuk itu 
Sekali lagi, tak perlu kau bawakan mawar setangkai pun 
Sebab, akulah mawar itu

Friday, September 12, 2014

Jangan Risaukan Aku ... Bapak, Ibu, Nenek

Jangan Risaukan Aku .... Bapak, Ibu, Nenek

Tadi malam aku baru berangkat tidur pukul 02.00 dini hari. Aku langsung tertidur pulas dan bermimpi. Dalam mimpiku, ketika aku mau masuk ke kamar ada tiga orang yang berdiri kaku, yaitu bapak, ibu dan nenek. Aku sadar bahwa mereka bertiga telah dipanggil Tuhan belasan bahkan puluhan tahun lampau. Aku buru-buru dengan sekuat tenaga membuka mataku. Ketika kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02.30, artinya aku baru tertidur setengah jam lalu. Aku sudah lupa dan tepatnya berusaha melupakan cerita dalam mimpiku semalam. Aku takut, itu jelas. Kemudian aku melanjutkan tidurku kembali, kali ini aku menghadap yang berlawanan dengan hadap tidurku semula. Jam 05.00 pagi harus bangun lagi, dan aku tak terlambat bangun. Ada alarm yang mengingatkan.

Tadi siang aku sudah tidur siang dua jam, tapi kepenatan pikiranku memaksaku untuk tidur lagi setelah terdengar acara Rising Star di RCTI. Dan, lagi-lagi aku bermimpi didatangi bapak. Ceritanya di rumah di sebuah kamar terlihat ada seseorang sedang tidur tapi kakinya diikat kain putih, kain kafan mungkin. Wajahnya menghadap ke kiri. Aku kira itu adalah teman wanitaku, tapi ternyata itu adalah bapak. Buru-buru aku ke rumah teman di depan rumah yang kebetulan sedang berkumpul beberapa temanku. Aku meminta mereka datang ke rumah karena aku takut sendirian. Mereka termasuk seorang teman spesial yang sedang mendiamkanku ikut datang ke rumah. Kami langsung masuk ke kamar, ternyata bapak sedang berada di bawah di samping tempat tidur. Dengan tertatih-tatih bapak menaiki tempat tidur dan tidur menelungkup seperti tadi di sampingku. Bapak sangat senang melihatku. Mungkin bapak kangen aku (itu jelas) atau ingin membantuku. Teman-temanku pun sangat ramah menyambut bapak seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya. Aku pegang jemari bapak yang ternyata sangat dingin sedingin es. Bau melati seolah menyergap hidungku ketika aku terbangun. Jam dinding menunjukkan pukul 22.05.

Biasanya mimpiku tak seperti ini. Hanya dulu sewaktu aku habis memperbaiki makam bapak dan nenek, kemudian aku bermimpi tentang bapak dan nenek yang sedang berjalan-jalan di sebuah taman. Mungkin mereka ingin mengucap terima kasih. Apa karena postinganku yang ini yang menyebabkan mereka merasa?

Bapak, ibu dan nenek, aku tidak apa-apa kok, aku baik-baik saja. Kalian tak perlu merisaukanku lagi. Tenang-tenanglah kalian di sana. Maafkan aku yang telah memposting cerita tentang kalian. Aku hanya ingin curhat saja di blog, bukan maksudku ingin menjelek-jelekkan kalian. 
Memang keadaanku sekarang sudah bercerai, didiamkan orang spesial dan sedang terpuruk. Bapak, ibu dan nenek tak perlu memikirkanku seperti ini, cukup doakan aku saja. Aku pasti akan melewati semua ujian ini dengan baik. Aku berjanji akan berusaha semaksimal mungkin agar hidupku sejahtera dan bahagia. Maafkan aku yang belum berhasil menjadi orang yang bisa dibanggakan.

Terima kasih untuk bapak, ibu dan nenek. 
Sungkem dan peluk dariku.

 

Thursday, September 11, 2014

Tanpa Judul

Tanpa Judul
Di saat aku mulai beranjak memulai usaha baruku secara real, ada telpon dari bagian kartu kredit yang menanyakan kesanggupanku untuk melunasi hutangku. Memang tagihanku tidak besar hanya dua belas juta saja, dan bila dilunasi hanya disuruh membayar lima juta saja. Namun sejujurnya dana untuk pos itu belum ada. Hanya dua kartu kredit saja yang belum kulunasi, yang satu lagi sebesar itu juga. Ah sunggguh berat nasibku kini. Sebagai mantan istri jaksa yang sudah bertugas selama lima belas tahun, mestinya dia bisa membantuku secara ekonomi. Entah untuk apa dan untuk siapa semua uangnya. Sampai satu setengah tahun lalu dia menyembunyikan semua asetnya. Mobil itupun tak diakuinya, begitu juga keluarganya yang tidak tahu-menahu. Baru belakangan, ketika untuk urusan sekolah harus mengisi data-data, anakku menanyakan tentang kendaraan ayahnya, dan dia mengaku mempunyai sebuah mobil. Hanya mobilkah? Kukira tidak. Mungkin aku harus istirahat dulu, kepalaku jadi pusing karena omelan debt collector tadi. Aku dengan keadaan yang seperti ini semakin merasa tak pantas untuk berdampingan dengan siapa pun juga. Aku miskin kok .......... Betapa dia, mantanku itu tak pernah sekali pun memberiku modal kerja, ketika usahaku hampir jatuh dan benar-benar jatuh waktu itu. Padahal waktu itu kata saudaranya dia sedang banyak uang, karena usaha sampingannya. Betapa dia juga tak pernah memberiku nafkah untuk istri, yang diberikan hanyalah nafkah untuk anak. “Sing penting Dinda”, begitu kata mantan mertuaku, sehingga dia benar-benar mengabaikanku. Mengapa dia suka menyiksaku secara ekonomi maupun secara batin (perempuan2 itu). Aku sudah bosan dengan semua ini. Apalagi bila orang-orang menganggapku banyak uang karena sebagai istri jaksa, waktu itu. Ini adalah sedih yang tak terkira. Sudah seringkali aku memintanya untuk ikut melunasi hutangku tapi dia tak bergeming. Toh hutangku hanya sedikit menurut ukurannya. Mengapa dia setega itu padaku? Omelan debt collector itu benar-benar membuatku terpuruk, sementara. Aku menangis dan marah-marah. Orang itu mendoakanku semakin miskin. Dia tak mengerti aku, bagaimana mungkin dia mengerti aku? Kenal juga enggak. Mungkin besok atau lusa aku akan datangi BI untuk melakukan BI cheking. Aku yakin hanya dua tagihan yang tersisa. Bila harus ada barang-barang yang dijual, apa ya? Aku butuh kedua laptop ini, aku butuh motor ini.

Sunday, September 7, 2014

Andai Saja Bisa

Andai Saja Bisa

Andai saja aku boleh mengulang hidup ini dari awal, sekali lagi 
Takkan kuulangi kesalahan dalam memilih jalan dan melangkah 
Aku akan lebih berhati-hati sebelum berucap, berpikir dan bertindak 
Tapi itu hanya seandainya saja karena hidup terus berlangsung 

Namun bukankah jalan hidup sudah tertulis sejak aku belum lahir? 
Aku hanyalah salah satu pelakon dalam drama kehidupan ini 
Aku harus mau melakukan apapun yang dikehendaki Sang Sutradara 
Yang bisa kulakukan hanyalah memohon keringanan pada Sang Sutradara 

Andai saja bisa, aku ingin agar lakonku tak selalu berurai air mata 
Andai saja bisa, aku ingin bertukar lakon dengan lakon yang penuh canda 
Sang Sutradara, berilah aku kesempatan untuk merasakan lakon yang gembira 
Tak melulu sedih, terluka, kecewa, nelangsa, gundah, dan segala galau 

Bila pun tak bisa, aku ingin Sang Sutradara meringankan lakonku 
Berilah warna lain pada lakonku agar aku tak merasa jenuh melakoninya 
Bila pun lakonku berat, ringankanlah bebanku, dampingilah jalanku 
Semoga aku selamat sampai ke tujuan akhir yang bahagia yang dijanjikan

Saturday, September 6, 2014

Ijinkan Aku Untuk Berbahagia

Ijinkan Aku Untuk Berbahagia

Kata orang, orangtua adalah wakil Tuhan di dunia. Jadi bagaimana Tuhan memperlakukan kita adalah seperti bagaimana orangtua memperlakukan kita. Itu bila aku tidak salah tangkap maknanya. 

Aku menulis ini karena aku ingin mengungkapkan perasaanku terhadap kedua ornagtuaku yang kini sudah di Surga. Aku merasa bahwa Tuhan memperlakukanku selama ini sama seperti orangtua memperlakukanku sewaktu mereka masih hidup. 

Bukan maksudku untuk mengritik mereka atau menjelek-jelekkan mereka, namun ini lebih agar aku dapat mengeluarkan uneg-unegku yang terpendam selama ini. Bahkan hal ini barangkali tidak diketahui mereka selama hidupnya. Sebelumnya mohon maafkan aku. 

Bapak dan ibuku di Surga, 

Aku tahu bahwa kalian telah berbahagia di sana, semoga demikian. Namun berbahagiakah kalian melihat keadaanku sekarang ini? 

Bahwa pendidikan semasa kecil dan remaja sangat penting bagi perkembangan seorang anak demi masa depannya itu benar adanya. Pendidikan itu tidak hanya berasal dari keluarga namun juga dipengaruhi oleh lingkungan dan tentu saja oleh sekolah. 

Bila kalian merasa sudah mendidikku secara benar, aku rasa itu pendapat yang salah. Bukan maksudku melawan kalian, tidak sama sekali. Ingatkah bahwa kalian telah mengekangku selama itu? Kalian melarangku bermain dengan teman-teman sebayaku seolah kalian mensterilkan diriku. 

Di rumah aku hanya berteman dengan kucing-kucing. Itulah mengapa kucing sangat berarti bagiku. Aku sebenarnya tak bisa lepas dari keberadaan kucing-kucing. Terimakasih bahwa kalian memperbolehkanku bermain dengan kucing-kucing. 

Suatu saat saat SMP, kucing satu-satunya yang kumiliki saat itu mati. Aku menjerit meraung-raung merasa ditinggalkan dan kehilangan. Aku protes pada nenekku yang menguburnya di depan rumah, aku bilang bahwa kucing itu belum mati. Nenekku menyuruhku agar tidak teriak-teriak nanti dikiranya orangtua yang meninggal. Aku sedih bukan kepalang. 

Nyatanya saat bapak dan ibuku meninggal hampir tak setetes pun airmata yang yang keluar. Aku sangat sulit menangis waktu itu. Aku menganggap itu kejadian yang biasa saja. Aku bukanlah pemain sinetron yang dengan mudah menumpahkan airmatanya. Airmataku keluar tentu karena kesedihan. 

Entah mengapa aku tidak boleh berteman, bersosialisasi. Aku ingat di suatu petang, aku yang berada dalam gendongan nenek hanya boleh melihat teman-teman sebayaku yang sedang riang bermain dari dalam rumah dari balik kaca jendela. Bukankah aku sudah TK tapi mengapa aku masih digendong? 

Ijinkan Aku Untuk Berbahagia
Aku saat 6 thn

Aku merasakan kesedihan itu sejak kecil sejak kelas nol kecil. Tentu saja aku menjadi anak yang pemurung, pendiam dan pemalu. Tapi apakah kalian peduli terhadap perkembanganku? Jawabnya adalah tidak. Bagi kalian yang terpenting adalah bahwa aku berada di rumah. Aku memang berada di rumah, tetapi batinku meronta. 

Waktu SD ketika anak-anak lain sepedaan di jalanan di taman depan rumah, aku tidak boleh keluar. Kalau aku ikut sepedaan maka tidak akan kebagian rujak. Rujak adalah makanan kesukaanku jadilah aku menyerah kalah. 

Aku kesepian, tidakkah kalian mengerti? Mengapa tak kalian tempatkan saja aku di panti asuhan, agar aku bisa bersosialisasi, bermain, belajar dari lingkungan dan tidak kesepian? Aku pernah berpikir tentang hal ini. Bahkan aku pernah berpikir, apakah aku ini benar-benar anak kedua orangtuaku. 

Di suatu kesempatan aku yang berumur sekitar 10 tahun pergi piknik bersama orangtua, nenek dan bawahan bapakku yang para pns beserta keluarganya di Rembang-Jepara.Di lokasi piknik tak ada satu pun foto diriku, hanya pas sebelum berangkat saja aku berfoto bareng nenek di dekat bus. Namun beberapa hari kemudian aku membuka-buka album piknik ternyata aku melihat orangtuaku berfoto bersama para bawahannya sebagai latar, dan seorang anak perempuan centil di tengah-tengah orangtuaku. Aku tak berani bertanya pada mereka, yang pasti aku sangat kecewa, sedih tak dianggap. Aku memastikan bahwa orangtuaku malu mempunyai anak jelek sepertiku. Itukah juga sebabnya aku tidak diperbolehkan bermain bersama teman-temanku? Aku tak tahu pasti. 

Bapak ibuku sering memuji temanku yang pintar atau yang nampak dewasa.Aku mendengar mereka memperbincangkannya, namun aku diam saja. Di balik semua itu sebenarnya aku berontak. Kalian tidak berpikir tentang bagaimana orangtuanya mendidiknya sehingga menjadi seperti itu. Ada prosesnya, tak terjadi begitu saja. 

Di rumah tak banyak mainan yang kupunya, aku lebih suka bermain dan bercanda dengan kucing-kucingku. Hampir di setiap tahapan usiaku aku memiliki kucing yang berganti-ganti tentu saja, bisa karena mati atau karena kami pindah rumah. Kucign kuanggap sebagai teman sejatiku tempat aku berkeluh-kesah. Kucing bisa mengerti saat kuajak bicara, terkadang memandangku atau diam di pangkuanku. 

Suatu ketika aku berulangtahun, mungkin yang ke-10. Ada seorang dokter Puskesmas yang suaminya seorang pelaut AL yang sering berdinas keluar negeri. Saat itu bu dokter itu memberikan hadiah berupa sebuah boneka. Bapak mau membuka hadiah itu tapi paman bilang kalau aku sudah besar jadi lebih baik hadiahnya untuk anaknya saja yang notabene adalah saudara sepupuku. Aku hanya bisa mengiyakan saja.Jelas aku tak berani melawan. Sementara bapak sepertinya diam saja dan memberikan boneka itu pada keponakannya. Boneka itu belum sempat kusentuh sedikit pun tapi sudah diberikan pada orang lain. Di kelak kemudian hari aku tak begitu menghargai milikku, bila diminta orang lain ya aku berikan begitu saja. 

Ijinkan Aku Untuk Berbahagia
Frater, paman dan kakak tertua
Suatu ketika orangtuaku membuat pesta natal besar-besaran di rumah dinas. Romo, suster, pejabat daerah beserta jajarannya dan para tetangga diundang. Semua famili dari pihak bapak yang dari Muntilan pun diundang. Ketiga kakak tiriku pun datang (saat ini mereka semua sudah dipanggil Tuhan). Sementara famili dari pihak ibu hanya nenek saja mengingat ibu adalah anak tunggal. 
Kakak pertamaku yang jarak umurnya jauh dariku sibuk mempersiapkan pesta dengan menebang pohon cemara di dekat rumah sebagai pohon natalnya. Hiasan-hiasan natal pun ditata oleh mereka, termasuk patung-patung kecil pelengkapnya. Sementara aku membantu di dapur. Aku masih SD waktu itu, kira-kira berumur 10 tahun. 
Pesta pun dilaksanakan dengan meriah, kakak tertuaku ikut beryanyi di depan bersama frater. Pesta pun usai sudah. Dari tadi aku hanya berada di dapur saja. Seusai pesta aku melintasi ruang tengah dan melihat di sudut ruang tamu famili dari Muntilan berkumpul. Mereka tak seorang pun yang menyapaku atau mengajakku ikut serta. Aku langsung masuk ke kamar dan menangis. Bapak dan ibuku hanya mendiamkanku saja, tidak memberikan perhatian. 
Esoknya ketika kulihat foto-fotonya, memang tak ada satu pun foto tentang aku. Ya sudahlah. 
Aku heran mengapa aku tak mereka dekatkan dengan para famili? Aku merasa berbeda. Aku juga berpikir bahwa mereka, famili dari pihak bapak menyangka hidupku yang serba enak tidak seperti ketiga kakakku yang tinggal dengan nenek di Muntilan. Bagaimana bisa aku menjelaskan pada mereka? Mungkin saja aku terkesan sombong, tapi sebenarnya aku minder.

Bapak ibuku sangat otoriter, suka memaksakan kehendaknya tanpa melihat bagaimana reaksiku. Perasaanku sangat tak mereka pikirkan. Waktu SMA aku harus masuk jurusan IPA karena orangtua menginginkanku menjadi seorang dokter. Seharusnya aku masuk jurusan IPS atau bahkan BAHASA saja mengingat aku tak begitu pandai. Tentu saja aku gagal masuk FK UNDIP. Aku nganggur setahun sebelum aku diterima di FH UNDIP. 

Aku sering menangis sendirian di malam-malamku, terutama ketika aku sudah kuliah. Aku melihat banyaknya perbedaan antara aku dengan mereka. Aku tidak mengerti “merah hijaunya” dunia, yang kutahu hanyalah warna “hitam, putih dan kelabu”. Terkadang aku tak mengerti bagaimana aku harus menyikapi sesuatu hal, apakah harus marah atau diam saja. 

Sampai aku lulus kuliah pun, bapak (ibu meninggal saat aku lulus SMA) masih suka memaksakan kehendaknya. Aku masih ada tes wawancara di sebuah bank negeri ketika bapak memaksa aku ikut saudara yang sudah bekerja di sebuah bank swasta di Bandung. Aku kemudian diterima di sebuah bank swasta di Bandung. Aku gamang dan aku gagal di masa percobaan. Aku tak memberitahukan tentang hal ini, aku kemudian mencari kerja sebisaku asal aku bisa makan dan sewa tempat tinggal. Sebenarnya orangtua tak pernah mengajariku tentang kemandirian. Kemandiriaku adalah sesuatu yang aku paksakan karena kebutuhan yang mendesak.

Seolah sayap-sayapku telah kalian patahkan sejak dini. Aku menjadi tak bisa terbang bahkan berlari. Langkah-langkahku pun kecil tak percaya diri. Aku juga merasa sangat heran ketika akhirnya aku tmengetahui bahwa aku memang benar-benar disunat saat bayi. Aku kan non muslim dan juga aku kan perempuan. Mengapa kalian lakukan itu terhadapku? Atau paling tidak mengapa kalian biarkan hal itu terjadi? Saat aku dewasa aku menjadi sangat tidak terima kalian menyunatku, dalam arti yang sesungguhnya. 

Sewaktu masih di Magelang, aku kalau ke mana-mana diantar sama bapak ya pakai mobil, becak atau jalan kaki. Sebetulnya aku merasa jengah tapi bagaimana lagi? Bapak sering bertanya apakah aku malu punya orangtua seperti mereka, setiap kali aku agak enggan ditemani. Bukan begitu tetapi aku kan sudah SMA. Ke Muntilan pun ditemani, aku sampai dituduh bahwa sudah besar kok ke mana-mana diantar sama bapak. Aku ingin berteriak menjelaskan tapi bagaimana aku harus menjelaskan pada semua orang?Aku sedih, itu sudah jelas. Seakan ini adalah fitnah. 

Aku tak punya pacar saat SMA. Pernah ketua OSIS ku yang memang aku taksir datang ke rumah sendirian. Bukannya mempersilahkan duduk, bapak malah seakan menghardiknya. Aku sendiri pun tak tahu harus bersikap bagaimana, aku serba salah. Bapak, dia itu satu-satunya orang yang kutaksir yang seiman pak (Katolik). Sampai kini pun hanya dia yang seiman. Ya sudahlah. Bapak seakan tak merelakanku untuk bahagia. Sewaktu kecil untuk bersenang-senang atau bergembira bersama teman-teman pun orangtuaku tak mengijinkan, dan untuk bahagia apalagi. 

Aku seolah hidup dalam penjara, sendirian. Bila aku kecil banyak bertanya maka ibu menyuruhku untuk diam.Untuk bernafas pun seakan tak bebas. Pernah aku gagal ikut study tour di mana orang yang kutaksir sangat mengharapkan aku ikut. Ibu hanya membelikanku majalah saja sebagai penggantinya. Aku menghela nafas dalam-dalam, dan ibu menjadi marah-marah. Aku sangat sedih kehilangan momen berharga itu. Bukankah waktu SMA tak bisa diulang lagi. Ketika teman-teman bercerita tentang keindahan masa SMA-nya aku hanya meratapi nasib. Aku telah kehilangan masa kanak-kanak dan masa remajaku sekaligus. 

Jurusan hukum adalah salah bagiku. Aku tak bisa membela diriku sendiri, bagaimana mungkin bisa membela nasib orang lain? Jangan menjadi sarjana hukum bila untuk membela diri sendiri pun tak bisa, sepertiku. Gelarku hanya menjadi olok-olokan semata. Seharusnya sejak dini diketahui bakat dan minat seorang anak agar tidak salah jurusan. 

Seringnya pemaksaan kehendak yang diberikan orangtua terhadapku membuatku tak bisa ambil keputusan. Aku merasa pendapatku adalah salah, yang benar adalah pendapat orang lain. Kelak di kemudian hari aku menyerah saja di persidangan perceraianku. Aku menjadi tak percaya diri, mudah dipengaruhi, dipaksakan kehendak, bahkan ditipu. 

Bapak dan ibuku, berbahagiakah kalian melihatku seperti sekarang ini? Bila kalian berkenan, ijinkan aku untuk hidup berbahagia. Kalian sebagai orangtua adalah wakit Tuhan di dunia, untukku. Biarkan aku dekat dengan pria yang baik yang aku sayangi, dukunglah aku untuk bersamanya membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia, biarkan aku merintis segala usahaku untuk melanjutkan hidupku 

Bapak dan ibuku yang ada di Surga, 
Ijinkan aku untuk bahagia agar Tuhan membukakan pintu bagi kebahagiaanku. 
Ikhlaskan aku untuk hidup berbahagia. 
Terima kasih untuk bapak dan ibuku.