"Ini buat tempat paspor", kata Dinda anakku sambil memegang sebuah dompet persegi panjang yang memang cukup untuk tempat paspor. "Hah?!" aku terkejut. "Nanti aku oleh-oleh" sahut Dinda. Pembicaraan ini berlangsung di Toko Luwes bagian pernak-pernik. Sepertinya Dinda keceplosan bicara, sebab selama ini dia tidak mengungkit-ungkit hal tersebut. Oh jadi mereka, mantanku dan anakku merahasiakan ini dariku? Oalah! Ketika aku menampakkan rasa kecewa dan tidak suka, Dinda menyahut:"Sebenarnya aku lebih suka dibeliin hp daripada jalan2". Terbersit dalam bayanganku bagaimana mereka berempat (mantanku, anakku, cewek itu dan anaknya) menikmati keindahan wisata yang mereka kunjungi. Ada rasa tidak suka dan iri, itu sudah pasti. Aku belum pernah diajak berwisata ke tempat yang memadai. Juga aku belum pernah diajak ke kota atau pulau tempatnya berdinas dahulu.
Selama aku menjadi istrinya belum pernah sekalipun aku diberi nafkah lahir. Barangkali karena dia berpikir aku bisa cari uang sendiri, waktu itu aku punya usaha yang lumayan. Dan sekarang setelah bercerai dia belum juga penuhi semua janjinya kepadaku. Maka dari itu aku hidup dengan sangat ngirit. Maklumlah akupun belum menjalankan usaha lagi, belum ada modal.
Selama ini pun dia belum pernah kasih modal untuk usahaku. Barangkali uang lebih baik digunakan untuk foya-foya daripada untuk modali usahaku. Dia mengabaikan hal yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya, terutama waktu aku masih terikat perkawinan dengannya.
Caranya yang seperti itu, mengajak Dinda keluar negri secara diam-diam sangat menyakiti hatiku secara telak. Sakit banget man. Aku di sini hidup penuh irit, sementara dia ...... waduh! Tak terbayangkan.
Jelas dia punya mobil, tapi ketika ke Semarang bersama cewek itu dan anaknya, mobil yang dibawa diakukan sebagai milik cewek itu. Mungkin saja benar, mungkin juga tidak benar. Keluarganya selalu mengatakan bahwa dia belum punya mobil, mobil yang dibawa ketika pulang dikatakan sebagai mobil temannya. Dan sekarang sudah ada cewek itu, kemungkinan semua hartanya akan diakukan sebagai milik cewek itu termasuk mobil. Seneng dong cewek itu. Dan keluarganya udah pasti percaya begitu saja semua ucapan mantanku. Biar sajalah.
Ibunya suka mengatakan bahwa mantanku belum cukup mampu. Bagiku itu aku artikan sebagai belum cukup mampu hatinya untuk ikhlas memenuhi semua kewajiban (janji-janjinya) kepadaku. Harusnya mantanku itu disadarkan bukannya dibela mati-matian. Aku ini manusia yang punya perasaan, bukan benda mati yang boleh diperlakukan seenaknya.
Kupikir waktu akan membuktikan tentang semua kebenaran. Kalo selama ini mereka percaya 100% yang dikatakan mantanku yang kemungkinan ada hal-hal yang merugikanku, aku sangat berharap semua fakta kebenaran 'kan terungkap.
Keadilan oh di manakah letak keadilan? Kurasakan ini memang tak adil bagiku. Keadilan dari hukum manusia sangat menyiksaku tanpa peri kemanusiaan.